"Abra, sejak tadi aku melihatmu uring-uringan. Ada masalah apa? Bukankah proyek yang kita inginkan sudah berhasil!"
"Hmmm!" Sahut Abra singkat, tangannya memainkan ponsel yang ada di atas meja kerjanya. Fahmi mengeryitkan dahinya tidak mengerti. Perubahan sikap Abra jelas terlihat, mudah tersinggung dan emosi yang selalu meledak. Memang Abra dingin, tapi sejauh Fahmi mengenal Abra. Sosok Abra pribadi yang mudah mengendalikan diri.
"Ada apa?" Ujar Fahmi, Abra terus menatap ponsel pintarnya. Tak sedikitpun Abra menggubris kecemasan Fahmi. Lama Fahmi mencoba memahami sikap Abra. Lalu tak berapa lama, seutas senyum tersungging di bibir Fahmi.
"Embun!" Ujar Fahmi seolah memanggil Embun. Seketika Abra mendongak, dia melihat lurus ke arah pintu ruang kantornya.
"Dimana dia?"
"Sejak tadi kamu memikirkan Embun. Pantas kamu hidup, tapi tak bernyawa!"
"Dia kamu!" Sahut Abra kesal, Fahmi terkekeh melihat Abra yang tengah kebingungan.
Dua minggu berlalu sejak kebersamaan Embun dan Abra. Dalam sehari, Embun telah merenggut ketenangan Abra. Mengusik jiwa dan mengisi benaknya dengan kegelisahan tak bertepi. Selama dua minggu, Abra mencoba menahan rasa gelisah. Lebih tepatnya kerinduan akan pertemuannya dengan Embun. Dua minggu yang berputar terasa lambat. Kala tak ada suara atau kabar dari Embun. Sosok yang menghilang bak ditelan bumi. Alasan kegelisahan hati Abra saat ini. Kerinduan dan keangkuhannya tengah bertarung, mencari cara agar hatinya tenang.
"Kenapa Abra? Jujurlah, jika memang Embun yang tengah kamu pikirkan!"
"Entahlah Fahmi, aku bingung. Dua minggu yang kujalani setelah hari itu. Terasa begitu berat, aku hanya ingin melihatnya. Namun sulit aku bisa bertemu dengannya!"
"Kenapa sulit? Pergilah ke rumahnya, aku yakin Embun tidak pergi kemana-mana? Dia bukan pribadi yang sering keluar!" Ujar Fahmi, Abra mengangguk pelan.
"Waktu, perjalanan ke rumah Embun sangat lama. Aku juga tidak memiliki alasan untuk menemuinya!"
"Cinta tak butuh alasan!"
"Aku tidak mencintainya, aku hanya ingin melihatnya!" Sahut Abra lantang, Fahmi tertawa. Lalu mengambil ponsel pintar milik Abra. Fahmi mengetik beberapa nomor, lalu dia memberikan kembali pada Abra.
"Cinta itu berawal dari mata. Kerinduanmu jelas nampak di kedua matamu. Hubungi Embun, itu nomer ponselnya. Namun jangan langsung marah, jika sulit menghubunginya. Sebab wilayah Embun jauh dari kota, sinyal sedikit susah di sana!"
"Tunggu Fahmi, kenapa kamu bisa memiliki nomer Embun? Aku calon suaminya, tidak memiliki nomer ponselnya!"
"Jelas kamu tidak memilikinya. Kamu selalu membantah isi hatimu. Berpura-pura tidak peduli saat dia datang. Mengacuhkan keramahan dan kehangatan yang ditawarkan Embun. Meski jelas, Embun tulus melakukan semua itu!"
"Darimana kamu mendapat nomernya!" Ujar Abra dingin, tidak peduli akan penjelasan Fahmi.
"Aku melihat dari berkas yang diberikannya kemarin dulu. Dia sempat meninggalkan nomer ponsel!" Sahut Fahmi tegas, lalu pergi meninggalkan Abra.
Kreeekkk
"Abra!" Panggil Fahmi, sesaat setelah membuka pintu. Abra mendongak menatap Fahmi.
"Ada apa?"
"Jika kamu merindukannya, pergilah ke perpustakaan kota. Embun saat ini berada disana. Aku tadi sempat menghubunginya. Jika tidak salah, setengah jam lagi di kembali ke desa!" Ujar Fahmi, Abra seketika berdiri. Spontanitas yang jelas tak dirasakan Abra.
Braaakkkk
Suara kursi yang jatuh terdorong Abra. Jelas membuktikan Abra tergesa-gesa pergi. Fahmi diam menatap perubahan sikap Abra sahabatnya. Kehangatan yang mulai ada dalam hati dingin sahabatnya. Sebuah cinta yang belum diakui Abra sepenuh hati. Dengan tergesa-gesa Abra mengambil jas. Lalu berjalan setengah berlari melewati Fahmi.
Buuugghh
"Terima kasih!" Ujar Abra, sembari menepuk lengan Fahmi pelan.
"Kita ada rapat satu jam lagi!" Teriak Fahmi, Abra menoleh.
"Batalkan, aku akan kembali besok ke kantor!" Sahut Abra lantang, terpancar jelas raut bahagia Abra. Fahmi mengangguk ikut bahagia melihat senyum sahabatnya.
Abra berjalan setengah berlari keluar dari kantornya. Fahmi menatap penuh rasa bahagia. Dia mulai merasakan kehangatan hati Abra. Sebuah rasa yang ada sejak Embun mengusik hidup sahabatnya itu. Fahmi tersenyum penuh rasa haru. Setelah sekian lama Abra tak percaya akan cinta. Hari ini Fahmi melihat semua telah berubah. Sahabatnya mulai percaya, cinta itu ada dan bahagia itu hak semua orang. Termasuk Abra yang sejak kecil merasa hampa tanpa kasih sayang utuh. Titik kosong yang tak pernah terlihat oleh orang lain. Tergantikan dengan rasa kagum akan kehidupan nyaman dan berlebih yang dirasakan Abra.
Kurang lebih dua puluh menit, Abra tiba di pusat kota. Lebih tepatnya perpustakaan kota yang sedang dikunjungi Embun. Abra menghela napas lega, ketika dia datang sepuluh menit lebih awal dari jadwal kepulangan Embun. Namun kelegaannya berubah menjadi keterkejutan. Ketika Abra melihat Embun tengah berjalan keluar dari perpustakaan. Sontak Abra berlari ke arah Embun. Abra melihat Embun tengah berjalan menuju tempat parkir mobil Ilham.
"Kamu pulang tanpa menyapaku!"
"Abra!" Ujar Embun kaget, ketika melihat Abra tengah berdiri di belakangnya.
Ilham dan Nur tak kalah terkejutnya dengan Embun. Ada rasa kesal, saat Ilham melihat Abra datang mrnemui Embun. Nur yang baru pertama kali melihat Abra dari dekat. Seketika terdiam dengan mulut menganga. Ketampanan Abra, wibawa Abra dan penampilan Abra nampak sempurna di mata kaum Hawa. Hanya Embun yang menatap biasa kesempurnaan Abra. Tak ada sedikitpun rasa yang membuat Embun bangga mrnjadi calon istri Abra.
"Kamu ada disini!"
"Hmmm!" Sahut Abra dingin, seolah ingin menunjukkan amarahnya. Rasa kesal ketika melihat Embun datang bersama Ilham. Sebaliknya Embun hanya tersenyum melihat kekesalan Abra yang tanpa alasan.
"Ilham, kalian tunggu aku disana. Sebentar lagi aku menyusul. Ada yang harus aku bicarakan dengannya!" Ujar Embun lirih, Ilham dan Nur mengangguk pelan.
"Kamu ingin kemana bersama mereka? Aku datang jauh-jauh, malah kamu tinggal pergi!"
"Tuan Abra yang terhormat, ini jamnya makan siang. Cacing di perutku sudah menjerit. Jadi aku akan makan siang bersama mereka. Sebab itu aku minta mereka pergi lebih dulu!"
"Kenapa tidak makan siang denganku?"
"Memangnya kamu belum makan!" Ujar Embun menggoda Abra. Seketika Abra menarik tangan Embun. Kedua tangan Abra merangkul tubuh mungil Embun.
Sontak saja Embun menjerit, dengan sekuat tenaga dia menahan pelukan Abra. Embun meletakkan kedua tangannya tepat di dada. Embun mencoba menciptakan jarak, agar Abra dan Embun tidak terlalu dekat. Namun percuma, kekuatan Abra lebih besar. Embun tak mampu melepaskan diri. Alhasil keduanya berdiri dalam jarak yang begitu dekat. Hembusan napas Embun mampu terasa hangat di pipi Abra.
"Jangan menggodaku, aku bisa khilaf!"
"Lepaskan!" Ujar Embun meronta, Abra menggelengkan kepalanya.
"Tidak akan, kecuali kamu makan siang bersamaku!"
"Tapi aku sudah janji dengan mereka!"
"Artinya kamu menolakku!" Ujar Abra sembari menarik tubuh Embun lebih dekat. Sontak Embun menunduk, tatapan Abra membuat Embun malu.
"Jika kamu bersedia kita makan siang bersama!" Pinta Embun, Abra menggelengkan kepalanya pelan.
"Tidak akan, apalagi bersama laki-laki itu!"
"Lantas, apa yang kami inginkan? Aku terlanjur berjanji pada mereka!"
"Pergi bersamaku tanpa mereka. Kita habiskan hari ini!" Ujar Abra sembari tetap memeluk Embun. Suara helaan napas Embun terdengar begitu keras. Seolah permintaan Abra begitu berat.
"Lebih baik kamu ikut makan siang bersamaku. Setelah makan siang, aku akan ikut kemana kamu pergi? Namun sebelum petang, kamu harus mengantar aku pulang. Sebab ada acara pengajian nanti malam!" Ujar Embun, Abra mengangguk pelan.
"Sekarang lepaskan!" Pinta Embun, Abra melepaskan pelukannya.
"Embun!"
"Hmmmm!"
"Kapan kita menikah?" Ujar Abra tiba-tiba.
"Saat semua sudah waktunya!" Ujar Embun lantang.
"Baiklah Embun, aku bersabar menanti hari itu tiba. Setidaknya kamu sudah menjadi istriku, meski secara hukum agama. Hanya selangkah lagi, kamu akan menjadi milikku sepenuhnya. Aku tidak akan rela melihat dia mendekatimu!" Batin Abra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 237 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
beti yah antara benci dan rindu😀😀
2023-06-09
0
Nur Khomariyah
terlalu ber kelok2 gak ada senengnya, perdebatan Mulu , jadi maaf ya thoor sampe di sini saya bacanya ,, gak nyambung..
2023-02-20
0
Greenindya
maksudnya udah nikah siri gitu🤔🤔
2022-10-31
1