KESUCIAN EMBUN
Fajar menyapa pagi hari yang cerah. Menghangatkan hari, mencairkan embun yang dingin. Kicauan burung menyapa sang fajar dengan nyaring suaranya. Menyempurnakan harmoni alam yang indah. Angin bertiup menerpa pohon kelapa yang tinggi. Terasa sejuk menyentuh kulit. Simfoni alam yang indah penuh dengan keajaiban.
Sebening embun pagi, nampak seorang perempuan berwajah cantik nan putih. Kecantikan alami yang dimiliki gadis desa. Seorang gadis yang tinggal jauh dari hiruk pikuk kota yang ramai. Hidup bersanding dengan alam yang indah. Embun Khafifah Fauziah, putri salah satu pemuka agama di desa. Putri kebanggaan desa, bunga desa yang membanggakan dengan iman yang dipegang teguh olehnya.
"Embun!" Teriak Nur, Embun menoleh ke arah Nur.
Tangan Embun penuh dengan lumpur. Sebuah parang erat digenggamnya. Embun berdiri menanti Nur menghampirinya. Tepat di ladang milik sang abah, Embun berjibaku memanen singkong. Tanah pegunungan yang keras dan tandus. Hanya bisa ditanami singkong atau tumbuhan umbi lainnya. Ada sebagian tanah yang mampu ditanami palawija lainnya. Namun sebagian besar, ditanami sayuran yang bisa tumbuh di dataran tinggi.
Sejak padi Embun sudah berada di ladang milik abah. Dia selalu membantu abah saat musim panen. Meski abah selalu melarang Embun, tapi sikap keras kepala Embun yang akhirnya membuat Abah kalah. Embun mungkin seorang perempuan, tapi hidup di pedesaan telah membuatnya kuat layaknya laki-laki. Walau begitu, kecantikan Embun dan kelembutannya. Mampu menghipnotis mata kaum Adam.
"Ada apa?"
"Kenapa kamu malah di sini? Hari ini akan ada seminar, kita harus segera berangkat. Balai desa sangat jauh!" Cerocos Nur dengan napas yang tersengal-sengal.
"Harus aku?" Sahut Embun acuh, sembari mengusap keringat yang jatuh di pelipisnya.
Sontak kedua mata Nur terbelalak. Dia tidak percaya, Embun lupa akan tanggungjawabnya sebagai kader desa. Lebih tepatnya calon kepala desa, sekaligus ketua karang taruna desa. Embun selalu berada fd
Embun semakin tak peduli dengan celoteh Nur yang penuh kekesalan. Embun berjalan menuju pondok yang ada di tepi ladang. Nampak beberapa pekerja tengah sibuk memanen singkong. Ladang milik orang tua Embun tidaklah luas, tapi cukup untuk membantu perekonomian keluarga dan warga sekitar. Keluarga Embun tak pernah menjual seluruh hasil panen. Sebagian hasil panen akan dibagikan ke beberapa warga yang tak memiliki lahan. Abah Embun tak pernah melarang atau marah. Jika singkong atau hasil panen pemberiannya dijual, selama itu mendapatkan manfaat. Layaknya para pekerja hari ini, mereka akan mendapatkan jatah dari hasil panen.
"Kalau bukan kamu, lalu siapa? Tidak mungkin aku datang sendirian. Wanita secantik aku, berangkat sendirian. Nanti kalau ada yang menculikku, gimana?" Cerocos Nur dengan gaya bicaranya yang berlebihan. Embun hanya bisa menggelengkan kepalanya lemah.
"Aku masih sibuk, sebentar lagi para pengepul datang. Kalau aku pergi, siapa yang akan mengawasi mereka? Kamu juga tahu, kalau mereka sering membodohi petani yang lain!"
"Jadi kamu tidak pergi!" Ujar Nur dingin, Embun diam termenung. Seolah dia sedang memikirkan jalan terbaik dari dua masalah yang berbeda.
Embun melihat jam di tangannya. Waktu masih sangat pagi. Jika tidak salah, acara akan dimulai 2 jam dari sekarang. Namun perjalanan menuju balai, tidaklah mudah. Butuh waktu yang cukup lama, karena jalan berliku dan menurun tajam. Embun seakan menemui jalan buntu. Dia harus tetap berada di ladang. Namun di sisi lain, dia harus datang di acara seminar.
"Lebih baik kamu berangkat dulu. Setelah para pengepul datang. Aku langsung menyusul!" Ujar Embun final, Nur menggelengkan kepalanya pelan.
"Kamu tidak akan datang!"
"Aku akan datang, walau terlambat!" Ujar Embun tegas, sebuah janji yang terucap begitu saja dari bibir Embun. Nur diam, tak berapa lama nampak Nur menganggukkan kepala. Tanda Nur setuju dengan perkataan Embun.
"Awas kalau kamu tidak datang!"
"Aku akan datang!" Sahut Embun lantang, Nur mengangguk pelan. Dia percaya, jika Embun akan datang menemuinya.
Embun pribadi yang hangat, tapi jauh dalam tenanganya. Tersimpan ketegasan dan keberanian yang tak nampak. Embun selalu memegang teguh janjinya. Tak pernah sekalipun dia mengingkari janjinya sendiri. Bahkan setelah dia lulus sekolah menengah atas. Embun tidak pernah berpikir ingin kuliah di kota. Embun ingin membangun desanya, terutama dalam hal pendidikan. Agar tak ada lagi kebodohan di desanya.
"Embun, pulanglah sekarang. Abah akan menunggu para pengepul. Seminar hari ini jauh lebih penting. Jangan buat orang lain kecewa!" Ujar Abah Iman, ayah kandung Embun.
"Tapi!"
"Embun harus menyusul Nur. Ingat Embun janji adalah hutang dan harus Embun bayar!"
"Abah, panen belum selesai!" Sahut Embun ramah.
"Jika kamu merasa berat pergi, kenapa tadi berjanji pada Nur? Sekarang lebih baik kamu pulang. Tidak perlu pamit kemari, pesan Abah cuma satu. Hati-hati bersepeda!" Ujar Abah Iman final. Embun mengangguk, tanpa bisa menolak permintaan abahnya.
Embun berjalan perlahan dihamparan ladang singkong milik Abahnya. Embun merasa gagal menjadi seorang anak. Namun tanggungjawabnya pada desa. Tidak bisa dilupakan begitu saja. Embun harus menjadi garda terdepan kemajuan desa. Sebab itu dia harus datang, agar Embun mendapatkan ilmu yang bisa disalurkan pada warga desa.
"Embun!"
"Kamu, kenapa belum berangkat?" Sahut Embun, Ilham menggelengkan kepalanya lemah.
Ilham pemuda tampan, idola kaum hawa di desa. Namun mata hati Ilham buta akan kekaguman para gadis di desanya. Embun menjadi wanita yang nampak baginya. Putra kepala desa, sekaligus sahabat Embun dan Nur. Persahabatan yang mulai diartikan berbeda oleh Ilham. Namun tidak bagi Embun yang hanya menganggap Ilham sahabat, tidak lebih.
"Aku menunggumu!"
"Dimana Nur?"
"Itu!" Ujar Ilham sembari menunjuk ke arah mobilnya.
"Aku akan berangkat sendiri, kalian pergi terlebih dahulu. Kalau kita terlambat, sangat tidak sopan. Kita tamu malah datang terlambat!" Ujar Embun tegas, Ilham terdiam.
"Tapi!"
"Kamu putra kepala desa, sudah tugasmu datang. Aku akan menyusul, tapi setelah sholat dhuha!" Ujar Embun lantang, lalu masuk ke dalam rumahnya. Embun tak peduli dengan keberadaan Ilham.
"Padahal aku berharap pergi bersamamu!" Batin Ilham pilu, seraya menatap punggung Embun yang hilang di dalam rumahnya.
Braakkk
"Kenapa marah? Embun memintamu pergi bersamaku!" Goda Nur, Ilham menoleh dengan tatapan tajam. Nur tersenyum, seolah tatapan Ilham tidak membuatnya takut.
"Embun hanya menganggapmu sahabat, kecuali kamu berani memintanya pada Abah!"
"Diam kamu!" Bentak Ilham, Nur menggelengkan kepalanya tidak percaya.
"Ilham, sampai kapan kamu menyimpannya? Jangan sampai kamu menangis, melihat Embun bersama laki-laki lain. Ingat jodoh tidak ada yang tahu kapan datangnya!"
"Embun tidak peka!"
"Bukan Embun tidak peka, hati Embun terlalu suci. Dia tidak ingin mengotori hatinya dengan cinta semu. Selama ini kita bertiga selalu bersama. Seharusnya kamu menyadari, siapa Embun yang sebenarnya? Dia tidak akan peduli akan bahagia. Satu kata Abah Iman, akan membuatnya terdiam!" Tutur Nur tegas, Ilham menunduk dengan kepala bersandar pada setir mobil miliknya.
"Haruskah aku jujur!"
"Entahlah, tapi belajarlah membuka hati. Jangan larut dalam cinta Embun yang tak bertepi!" Ujar Nur tegas, ssmbari menepuk pundak Ulham.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 237 Episodes
Comments
Neulis Saja
ya utk laki hrs berani utk mengatakan cinta agar jelas apakah bertepuk sebelah tangan Atau tdk
2023-10-15
1
KITA
baru baca awal aku mulai tertarik dengan ceritanya
2023-10-02
0
E Dnisa
aku Bru Nemu novel ini, lngsung saja aku buka. awal cerita yg bagus jga pnulisan kata-katanya yg indah jdi g bosen buat baca nya.
2023-09-08
0