"Turun!" Titah Abra, Embun menggelengkan kepalanya lemah. Embun merasa asing di tempat yang baru.
Sepulang dari restoran, Abra membawa Embun pergi. Abra mengemudikan mobilnya dengan sangat cepat. Abra merasa harus segera sampai di tempat yang diinginkannya. Disinilah mereka berada, sebuah rumah megah nan indah. Rumah besar dengan halaman yang sangat luas. Rumah dengan gaya bangunan klasik nan modern. Rumah megah keluarga Abimata. Tempat tinggal Abra dan tuan besar Ardi.
Embun sekilas melirik keluar jendela mobil Abra. Dia melihat sebuah rumah megah, yang luasnya hampir sama dengan lapangan sepak bola di desanya. Sebuah bangunan besar dengan segala fasilitas megah. Rumah yang hampir bisa dikatakan seperti hotel bintang lima. Tanpa bertanya pada Abra, Embun sudah menduga. Jika rumah yang ada di depannya, tak lain rumah Abra. Calon imam yang dipilihkan sang abah. Meski dia tak pernah membayangkan Abra, walau dalam mimpinya.
"Turun!" Ujar Abra lantang, Embun menggelengkan kepalanya lagi.
Abra menghela napas, dengan emosi yang tertahan Abra turun dari mobilnya. Dia berjalan memutar, Abra berjalan ke sisi kiri. Lebih tepatnya di samping pintu tempat Embun duduk. Perlahan Abra membukakkan pintu untuk Embun. Dengan isyarat mata, Abra meminta Embun turun. Lama Embun diam, Abra merasa kesal. Akhirnya dengan kasar, Abra menarik tangan Embun.
"Lepaskan!" teriak Embun meronta, Abra tak menggubris teriakkan Embun. Abra terus menarik tangan Embun, masuk ke dalam rumah megah Abimata.
"Abra, lepaskan!" Teriak Embun, Abra menoleh ke arah Embun.
Tatapan tajam Abra, jelas menampakkan amarahnya. Embun tertunduk, dia ketakutan saat berhadapan dengan mata elang Abra. Jika ini di desa Embun, mungkin dengan sekuat tenaga. Embun akan melawan Abra. Namun sayangnya, Embun dalam posisi terpojok. Dia berada di tempat yang sangat asing. Jangankan melawan Abra, bisa keluar dari rumah ini. Akan menjadi keberuntungan bagi Embun.
"Bukankah kamu yang ingin menikah denganku. Kemarin aku sudah menginap di rumahmu. Aku sudah mengenal keluarga dan lingkunganmu. Apa salahnya jika hari ini aku memintamu mengenal keluarga dan rumahku? Aku tidak akan melakukan apapun? Aku hanya ingin menunjukkan, siapa keluarga Abimata? Agar keputusanmu tidak salah!" Ujar Abra lantang, Embun terdiam. Perkataan Abra langsung meruntuhkan benteng tinggi yang dijaganya.
Tanpa banyak bicara, Embun melangkah mengikuti langkah kaki Abra. Masuk ke dalam rumah mewah, bak istana megah sang penguasa. Embun berjalan sembari menunduk. Tak satupun bagian rumah yang membuatnya tertarik. Embun berusaha menjaga hati dan pikirannya. Tak ingin Embun menjadi pribadi yang iri akan kenikmatan orang lain.
"Jika kamu berjalan seperti itu. Bukan sampai di dalam rumah, kamu malah akan masuk rumah sakit!" Ujar Abra yang tiba-tiba menghentikan langkah kakinya.
"Awwwsss!" Teriak Embun, tangannya mengelus keningnya yang terbentur keras punggung Abra.
"Kemarikan tanganmu!" Pinta Abra, tangannya terulur menanti tangan Embun. Sontak Embun menggelengkan kepalanya. Dengan sigap Embun menyembunyikan tangannya di dalam hijab panjangnya.
"Bodoh!" Ujar Abra, lalu menarik tangan Embun yang terlapisi hijab. Abra menggenggam erat tangan Embun. Seolah takkan pernah Abra melepaskan tangannya.
"Kelak bukan hanya tangan yang harus kamu serahkan kepadaku. Kesucianmu, harga dirimu, kehormatanmu dan kesetiaanmu. Sepenuhnya akan menjadi milikku. Percuma kamu sembunyikan tanganmu, kelak tubuhmu akan kamu perlihatkan tanpa sehelai benangpun padaku. Jadi mulai hari ini, belajarlah mengenalku dan serahkan dirimu padaku!" Bisik Abra tepat di telinga Embun. Seketika tubuh Embun bergetar, Embun ketakutan mendengar perkataan Abra.
****Gleekkk****
"Tapi bukan sekarang!" Ujar Embun lirih, sesaat setelah menelan ludahnya kasar. Abra tersenyum, sebuah senyum ketulusan yang terutas dari dalam hati Abra. Kepolosan Embun menelisik ke dalam hati Abra yang tak lagi percaya akan ketulusan.
"Terserah!" Ujar Abra final, lalu menarik tangan Embun. Keduanya berjalan menuju ruang tamu rumah Abimata.
Embun tak lagi meronta, dia pasrah akan sikap Abra. Selama sikap Abra tak melebihi batas. Embun mengikuti langkah tegak Abra. Tepat di dalam ruang tamu, Embun mendongak menatap ke seluruh ruangan. Ada rasa tak percaya dengan yang dilihatnya. Sebuah kemewahan yang tak pernah dilihatnya. Kemewahan yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar kaya.
"Ada apa?" Sahut Abra lirih, tatkala dia merasakan Embun menarik tangannya pelan.
"Kemana kamu akan membawaku?"
"Belajarlah percaya padaku mulai dari sekarang!" Ujar Abra singkat, Embun mengangguk pasrah. Tak ada lagi jalan baginya mundur. Jika bersama Abra menjadi harapan abahnya, Embun ikhlas menjalani semua ini.
"Duduklah, aku harus pergi ke ruang kerja!" Ujar Abra, meminta Embun duduk di ruang tengah.
Embun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Nampak perabotan mewah nan mahal, terpajang di setiap sudut. Perlahan Embun duduk di atas sofa. Entah kenapa ada rasa rendah diri? Sofa ruang tengah Abra, seolah ingin menunjukkan perbedaan dunia yang mereka tinggali. Embun tak pernah membayangkan, akan hidup dengan orang yang sangat berbeda dengannya.
"Siapa kamu?" Sapa Indira heran, sontak Embun berdiri. Dia menatap Indira, wanita anggun yang jelas menunjukkan kelasnya sebagai wanita terhormat.
"Saya teman Abra!"
"Tidak mungkin, sejak kapan Abra mengenal wanita kampung sepertimu!" Sahut Naura sinis, Embun menunduk. Ada rasa nyeri di dadanya. Perkataan Naura menunjukkan, status yang berbeda dengan Abra.
"Naura, jaga bicaramu. Jika memang dia teman kakakmu. Akan fatal bagimu, seandainya perkataanmu tadi di dengar olehnya!"
"Dia memang kampungan, tak selevel dengan keluarga kita. Pakaiannya kumuh dan kucel, seperti lap lantai rumah kita. Lihat tas yang dipakainya, sudah usang dan berlumut. Jelas aku tak percaya, jika dia teman kak Abra!" Tutur Naura sinis, Indira menggelengkan kepalanya.
"Cukup Naura, kakakmu bisa mendengarnya!" Ujar Indira tegas, Naura tak menggubris perkataan Indira.
Indira Wijaya istri kedua Haykal Putra Abimata, ibu sambung Abra Achmad Abimata. Ibu yang tak pernah diakui oleh Abra, meski Indira menganggap Abra layaknya anak kandung sendiri. Wanita dengan status sosial yang sama dengan keluarga Abimata. Menantu pilihan keluarga Abimata yang sejajar. Jauh berbeda dengan Embun yang sederhana dan polos.
"Tapi dia memang kampungan, lihat saja penampilannya. Dia tidak pantas menginjakkan kaki di rumah kita!"
"Naura, sekali lagi mama ingatkan. Jaga bicaramu, jangan sampai kakakmu mendengarnya!" Ujar Indira, Naura mengerucutkan bibirnya. Dia marah akan peringatan Indira.
"Siapapun kamu? Aku harap kedatanganmu bukan untuk menciptakan keributan. Aku sudah mengenal Abra sejak lama. Sejauh aku mengenalnya, dia tidak pernah jalan dengan wanita sepertimu. Seandainya kamu sadar diri, lebih baik kamu mundur. Sebelum kamu terluka dan akhirnya membuat keributan dalam keluarga ini!" Ujar Indira tegas, Embun mengangguk pelan. Seutas senyum tersungging di bibir mungilnya.
"Sebelumnya saya meminta maaf, mungkin kedatangan saya mengganggu anda sekeluarga. Namun percayalah, kedatangan saya bukan untuk menciptakan keributan. Jika anda merasa keberatan dengan kedatangan saya. Silahkan tanya pada Abra atau tuan besar Ardi dan tolong izinkan pada mereka. Agar saya bisa pulang!"
"Siapa kamu? Sampai kamu merasa kedatanganmu begitu penting. Cara kamu memanggil kakek dan kak Abra. Seolah-olah kamu begitu diharapkan oleh mereka!" Sahut Naura sinis, Embun hanya tersenyum mendengar sikap sinis Naura.
"Aku tidak mengenalmu, jadi lebih baik kamu keluar. Sikap Naura akan semakin tak pantas. Sebagai ibu, aku tidak ingin dia dan kakaknya bertengkar hanya karena salah paham!"
"Sekali lagi saya minta maaf. Saya datang bersama Abra dan akan pulang bersamanya. Jika anda tidak keberatan, tolong tanyakan pada Abra. Kapan dia akan mengantar saya pulang!" Sahut Embun ramah, Naura tersenyum sinis. Lalu berjalan menghampiri Embun, Naura menatap seluruh bagian tubuh Embun.
"Kamu wanita kampung dan rendah. Tak pantas kamu berharap akan kebaikan kak Abra. Jangankan mengantarmu pulang, duduk di kursi mobilnya saja kamu tidak pantas!"
"Mungkin saya tidak pantas, tapi kenyataannya saya wanita pertama yang dibawa Abra ke rumah ini!"
"Kamu!" Ujar Naura, sembari menahan amarah. Indira menahan tangan Naura yang sempat terangkat.
"Sekali lagi, aku mohon keluarlah!" Pinta Indira memelas.
"Nyonya Abimata yang terhormat, bukan seperti ini cara anda memperlakukan tamu. Bukankah tamu itu rejeki yang datang ke dalam sebuah rumah. Namun sepertinya, seluruh anggota keluarga Abimata memandang rendah orang lain. Tidak terkecuali anda yang anggun dan bijak!"
"Kamu mengajari mamaku, wanita rendah tanpa martabat sepertimu. Tidak pantas mengatakan hal seperti itu!" Ujar Naura, sembari mengangkat tangannya.
"Sejak aku kecil, abah tidak pernah menamparku. Jadi tidak ada hak nona menamparku. Jika orang yang membesarkanku saja tidak pernah menamparku. Belajarlah menghargai orang lain, agar mereka segan menatapmu. Penampilanku memang kampungan, tapi aku tidak murah sepertimu!" Ujar Embun lantang, sembari menahan tangan Naura.
"Lepaskan!" Teriak Naura emosi, Embun menghempaskan kasar tangan Naura.
"Sejak tadi aku berusaha menghargai kalian. Namun sepertinya keramahan dan kesopananku tak pantas kalian dapatkan!"
"Jaga bicaramu!" Ujar Indira, Naura mendekat hendak menampar Embun lagi. Namun langkahnya terhenti, ketika Embun menunjuk ke arah kedua mata Naura.
"Jangan pernah berusaha menamparku lagi. Jika tidak ingin melihat sifat asliku!" Ujar Embun sinis, Naura terdiam dan Indira berdiri mematung tepat di samping Naura.
"Abra, turun!" Teriak Embun lantang. Indira dan Naura menatap tajam Embun. Teriakan Embun jelas menggema di seluruh bagian rumah.
"Diam kamu!" Ujar Naura marah, Embun meletakkan telunjuknya tepat di tengah bibirnya. Isyarat meminta Naura diam dan tidak ikut campur urusannya.
"Abra turun!"
"Abraaaaaaaa!" Teriak Embun lebih keras.
"Ada apa? Kenapa berteriak?" Sahut Abra santai, Embun menghampiri Abra. Dia berdiri tepat di depan Abra.
"Aku ingin pulang!"
"Kenapa?"
"Aku ingin pulang!" Rengek Embun, Abra tersenyum melihat sikap manja Embun.
Abra mengalungkan kedua tangannya tepat dipundak Embun. Abra menempelkan keningnya tepat di kening Embun. Keduanya sangat dekat, kedekatan yang membuat Naura dan Indira terdiam.
"Mereka orang-orang yang harus kamu temui. Jika kelak kamu menikah denganku. Sekarang katakan padaku, masihkah kamu yakin menikah denganku!" Ujar Abra lirih, Embun mengangguk pelan.
"Bukan mereka yang akan menjadi bagian hidupku. Melainkan kamu yang menjadi imamku. Jika mereka menindasku, kewajibanmu melindungiku!"
"Kamu yakin aku akan melindungimu!"
"Jika kamu tidak peduli padaku. Bukan hari ini kamu membawaku ke rumahmu, tapi nanti setelah menikah. Agar aku tak bisa mundur dari pernikahan!" Ujar Embun lirih, lalu menarik tangan Abra. Melepaskan diri dari kurungan Abra.
"Antar aku pulang!" Pinta Embun, Abra menggelengkan kepalanya pelan.
"Aku lelah, aku ingin pulang!"
"Istirahatlah di kamarku!"
"Tidak!" Sahut Embun lantang dan tegas. Abra langsung menarik tangan Embun, dia tidak peduli akan penolakan Embun.
"Abra!" Ujar Embun kesal.
"Tidak ada yang meminta pendapatmu!" Ujar Abra, lalu menarik tangan Embun. Keduanya berjalan melewati Naura dan Indira.
"Abra!" Panggil Indira, Abra menoleh ke arah Indira.
"Dia Embun, calon istriku!" Ujar Abra dingin.
"Kakak bercanda!"
"Tidak ada yang butuh pendapatmu!" Sahut Abra dingin.
"Apa lagi?" Sahut Abra, ketika tangan Embun menarik ujung bajunya.
"Dimana aku sholat? Aku tidak membawa baju ganti!" Ujar Embun polos, Abra menghela napas panjang.
"Akan kusiapkan tuan putri!" Sahut Abra kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 237 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
mulai naik tensi ketegangan ceritanyanya nih
2023-06-09
1
Itha Fitra
kt ny fanatik ama laki" walau pun calon suami,tp di rangkul n minap di rmh calon suami udh mau
2023-02-18
0
Puspa Rumaisha
What?? dan embun diam saja? tdk berusaha menghindar menjauh ato berontak??? jilban yg besar dan gamis yg longgar tapi tdk menjaga batasan interaksi dgn lawan jenis???? padahal ini aturan baku bagi seorang muslimah.
2022-11-05
0