"Kakek, aku pulang lebih dulu. Ada rapat pukul 08.00, nanti aku akan meminta sopir menjemput kakek!" Ujar Abra, Ardi menggelengkan kepalanya pelan.
"Aku akan pulang, setelah aku merasa tenang!"
"Tapi!"
"Aku baik-baik saja Abra. Iman ada menemaniku. Embun akan merawatku, dia memperlakukanku seperti kakeknya sendiri!" Ujar Ardi memuji Embun. Abra diam tak menentang perkataan Ardi. Fahmi sudah bersiap di depan rumah. Perjalanan dari rumah Embun menuju kantor sedikit memakan waktu.
"Kalian sarapan lebih dulu!"
"Maaf Abah, kami sudah terlambat. Kami bisa makan di jalan nanti!" Sahut Fahmi sopan, Abah Iman tersenyum. Lalu menyodorkan satu tas plastik.
"Itu bekal untuk sarapan kalian. Embun sudah menyiapkannya tadi pagi. Dia tahu kalian akan pulang pagi!" Ujar Abah Iman ramah, Fahmi menerim tas plastik yang diberikan Abah Iman. Nampak dua kotak makan dan dua botol air mineral.
"Tenang saja nak Abra, Embun sedikit mampu memasak. Abah yakin, dia tidak akan mengecewakan. Bahkan menu yang ada di dalamnya. Bukan makanan khas desa. Embun menyiapkan makanan kota, mungkin sesuai seleramu. Dia khusus turun ke pasar sebelum subuh. Agar bisa berbelanja bahan makanan yang mungkin kamu suka!" Tutur Abah Iman menjelaskan, seolah dia tahu isi hati Abra yang meragukan masakan buatan Embun.
"Terima kasih!" Sahut Abra lirih, lalu mencium punggung tangan Abah Iman dan Ardi bergantian.
"Dimana dia?" Batin Abra.
"Embun ada urusan di kota. Sejak tadi, dia sudah berangkat bersama Ilham dan Nur!" Ujar Abah Iman, ketika melihat Abra menoleh ke kanan dan kiri. Seketika Abra tersipu malu, Fahmi hanya bisa tersenyum. Sahabatnya mulai memiliki rasa pada Embun. Raut tersipu malu Abra, jelas menunjukkan rasa cinta yang mulai mengusik hatinya.
"Saya permisi!" Ujar Abra mengalihkan pembicaraan. Ardi dan Iman mengangguk mempersilahkan. Sekilas nampak senyum di wajah Ardi. Jelas Ardi menangkap rasa yang mulai ada di hati cucunya.
"Abra!"
"Iya!" Sahut Abra sembari menoleh ke arah Abah iman.
"Maafkan perkataan Embun semalam. Dia hanya terbawa perasaan. Kasih sayangnya padaku, membuat Embun tidak terima akan perkataan kasarmu. Namun percayalah, hati Embun tak sekeras dan sekasar itu. Embun berhati bening bak gelas kaca, rapuh saat ada yang menyakitinya. jiwanya putih dan suci layaknya kertas. Akan ternoda ketika tinta hitam mengotorinya. Nanti setelah dia menjadi istrimu. Jiwa putihnya tergantung tulisan yang akan kamu tulis. Bimbing Embun agar dia menjadi istri yang sempurna. Abah titip Embun, kesuciannya sepenuhnya milikmu kelak!" Tutur Abah Iman, Abra terdiam.
Entah kenapa hati Abra terenyuh mendengar perkataan Abah Iman? Setitik air bening, seolah mendinginkan hatinya. Bagai Embun pagi yang menyejukkan di pagi hari. Abra merasa tak berdaya mendengar ketulusan perkataan Abah Iman. Jauh dalam hatinya, Abra merasa bersalah. Saat hinaannya terbalas oleh kebaikan tanpa dendam.
"Kamu kalah telak Abra!" Bisik Fahmi, Abra menunduk sembari menggelengkan kepalanya pelan.
"Jangan terkejut Abra, Iman dan putrinya tak pernah berpikir jahat pada orang lain. Bahkan mereka tidak akan membalas sikap kasar dengan kekerasan pula. Sebaliknya hinaan yang mereka terima, selalu dibalas dengan senyum penuh ketulusan. Alasan kakek memilih keluarga ini menjadi besan keluarga Abimata!"
"Kakek!"
"Iya Abra, keluarga Abimata harus memiliki menantu yang tulus. Bukan menantu yang hanya peduli akan kemewahan dan kekayaan keluarga Abimata. Embun cahaya terang yang aku pinta dari Iman sahabatku. Embun air bening yang kurenggut dari desa ini. Agar keluarga Abimata tenang dan sejuk. Kakek telah menunggu lama untuk hari. Kakek lelah melihat keluarga Abimata yang terus larut dalam kesombongan!"
"Kenapa harus aku?"
"Kakek tidak memaksa kamu menikah dengan Embun. Ibra akan menggantikanmu, jika memang kamu menolak. Jika kamu bertanya, kenapa harus kamu bukan Ibra? Jawabannya sangat sederhana, kamu dan Embun dua sisi yang berbeda. Embun lembut dan hangat, kamu keras dan dingin. Embun ramah penuh kesopanan, kamu kasar penuh amarah. Embun teduh penuh ketenangan, sedangkan kamu panas penuh ketegangaan. Kalian berdua tidak sama, tapi akan saling melengkapi bila bersama. Sejatinya dua tangan akan saling menggenggam, ketika keduanya saling mengisi sela jari yang kosong!"
"Jika aku menolak!" Ujar Abra lirih, Kakek Ardi menatap dingin Abra. Sedangkan Iman tersenyum mendengar penolakan Abra. Sebuah senyum yang tak memiliki amarah sedikitpun. Seolah Abra tidak pernah ingin menyakiti Embun putri tunggalnya.
"Besok kakek akan mempertemukan Ibra dengan Embun. Bahkan mungkin hari ini, kakek akan menjadikan Embun menantu keluarga Abimata!"
"Kakek tidak pernah memikirkan perasaan Embun!" Sahut Abra lirih.
"Jika seorang wanita masih bersedia menyiapkan sarapan, untuk laki-laki yang menghinanya. Peduli akan lapar orang yang meragukan ketulusannya. Gelisah akan sakit yang dirasakan laki-laki sepertimu. Mungkinkah wanita seperti itu akan menyakiti kepercayaan ayah yang sangat dihormatinya!"
"Tapi Embun berhak bahagia!" Sahut Abra lantang, Ardi mengangguk pelan.
"Dia akan bahagia bersama Ibra!"
"Darimana kakek tahu, Embun akan bahagia bersama Ibra?" Ujar Abra semakin lantang.
"Karena Embun dan Ibra pernah bertemu. Mereka telah mengenal, saat mereka sekolah. Sifat penyayang Ibra, akan mampu membahagiakan Embun!"
"Kakek bercanda, Embun tidak mungkin mengenal Ibra!"
"Ibra pernah datang menemui Embun di desa ini. Mereka saling mengenal di SMU. Namun janji suci Embun padaku, menghalangi pertemanan mereka lebih jauh. Embun tak ingin mengenal laki-laki, kecuali Ilham putra kepala desa. Dia sudah selayaknya kakak bagi Embun!"
"Seharusnya kakek membawa Ibra, bukan aku!" Ujar Abra lirih.
"Besok malam, katakan keputusanmu Abra. Jika kamu kembali ke rumah ini. Artinya kamu menerima perjodohan ini. Namun seandainya kamu menolak, Ibra yang akan datang menggantikanmu. Pikirkan baik-baik, Embun hanya akan menetes di satu hati. Mendinginkan satu jiwa yang haus akan kasih sayang. Kesucian Embun takkan kamu temukan di hati wanita yang selama ini mengisi hidupnya. Tidak ada paksaan dalam perjodohan ini. Embun telah setuju, buat keputusanmu layaknya pengusaha yang tidak takut rugi. Seperti perkataan Embun, pernikahan bukan bisnis yang mampu kamu takar untung rugi. Jangan jadikan pikiranmu sebagai jalan memutuskan, melainkan hatimu. Tanyakan pada hatimu, Embun ada atau tidak dalam hati dinginmu!" Tutur tuan Ardi tegas dan bijak. Abra menunduk tanpa kata, Abah Iman menatap calon menantu yang penuh kebimbangan. Namun hati kecil Iman mengatakan, Abra akan menjadi imam terbaik putrinya.
"Abra, jangan jadikan semua ini beban. Pikirkan dengan hati tenang. Aku percaya, kamu laki-laki yang penuh tanggungjawab. Jika kamu menolak, artinya hatimu belum siap terikat. Sebaliknya jika kamu menerima, artinya kamu mampu bertanggungjawab akan kesucian putriku. Embun tak sebaik itu, tapi kesucian Embun tak perlu kamu ragukan!" Ujar Abah Iman ramah penuh kasih sayang.
"Haruskah aku menikah dengannya!" Batin Abra bimbang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 237 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
kamu tuh cuma merasa tinggi hati aka sombong Abra
2023-06-09
0
Aliya Jazila
kata2 othor bena2r halus & bijaksana..
2023-05-13
0
Puji Ustariana
embun menjadi gadis yg bijak dan berakhlak yg akhlak yg baik krn didikab ayahnya ternyata sungguh didikan ortu itu mmg menjadi landasan bagi seorg anak
2023-01-16
0