Perut Clay serasa melilit karena tidak terisi makanan berat sesuap pun. Namun, meski begitu, betapa beruntung dirinya masih dapat membasahi bibir dan tenggorokan yang kering dengan air minum. Dia biasa menyiapkan di samping lampu meja, berjaga bila malam-malam kehausan, jadi tidak perlu mengambil ke dapur.
Clay tidak berani keluar dari kamar. Dia masih ngeri mengingat tatapan penuh hasrat Hanes terakhir kali. Dan, itu yang menjadi alasan mengurung diri. Menahan lapar selama dua hari ini. Akan tetapi, dirinya sudah tidak tahan lagi, perutnya betul-betul sakit.
Setelah mempertimbangkan dan tidak mendengar pergerakan dari luar kamar, Clay menarik kesimpulan bahwa Hanes besar kemungkinan sudah pergi dan belum datang lagi.
Tentu saja, ancaman Clay kala itu terbukti ampuh meski perbuatan Hanes terbilang nekat. Tetap saja keduanya merupakan teman akrab, pria itu tidak mungkin tega mendesak Clay terlalu jauh. Tidak untuk saat ini, pemikiran dan tabiat orang bisa berubah sewaktu-waktu.
Dengan hati-hati Clay memutar anak kunci, kemudian menyelinap keluar dari kamar penuh kewaspadaan. Dia menuruni anak tangga secara perlahan, pula ketika menuju ke dapur.
Clay menghela napas lega sebab tidak ada tanda-tanda keberadaan Hanes di rumahnya. Keadaan cukup aman untuk sementara waktu. Dia harus segera mengambil beberapa makanan dari lemari pendingin.
Sebelum melangkah lebih jauh, Clay memeriksa ruang tamu. Kepalanya menoleh sekitar. "Syukurlah, lindungi aku Tuhan," gumamnya sambil mengelus dada.
Kini rasa takut sedikit berkurang, Clay buru-buru melanjutkan maksudnya keluar dari persembunyian yang nyaris menghilangkan kesadaran, mulai lemas.
Clay membungkuk saat mengeluarkan susu kaleng dan buah apel. Indra pendengarannya menangkap suara langkah kaki seseorang samar-samar.
Penyerangan yang dilakukan Hanes tempo hari menyisakan trauma mendalam. Clay membeku dalam kebisuan, hingga lengan kokoh memeluknya erat-erat dari arah belakang.
Kelopak mata Clay seketika menutup rapat, dia terlalu takut untuk bergerak atau sekadar mengisi paru-paru dengan udara sekitar. Tubuh lelahnya gemetaran, keringat dingin bercucuran melalui pori-pori kulit.
Apa yang ditakutkan Clay terjadi, Hanes kembali lagi. Pria itu memang berjiwa pantang menyerah.
Oh My God, kenapa datang lagi? Kak Robbin, help me. Kapan pulang? Apa yang harus kuperbuat sekarang. Badanku sudah kehilangan banyak tenaga. Aku tidak sanggup lagi melawan Hanes, batin Clay kalut. Pikiran dan jiwanya semrawut.
Isak tangis lamat-lamat terdengar bersamaan dengan pundak Clay yang berguncang. Dia merasakan pelukan lengan kokoh di bahu melonggar. Kemudian telapak tangan besar dan hangat itu membalik tubuhnya.
Clay mendadak pusing, seluruh badannya menggigil, dia kekurangan energi untuk melakukan penolakan.
"Hai, kenapa menangis?"
Suara berat dan dalam orang itu menyentak kekalutan Clay. Dengan kewaswasan, kelopak matanya terbuka.
"Apa aku menyakitimu?"
"Kak Robbin!" seru Clay tersedu-sedu seraya membenamkan diri ke dalam dada bidang sosok yang diharap-harapkan pulang.
"Apa aku terlalu kuat saat memelukmu?" tanya Robbin, cemas, khawatir barangkali emosi yang menggebu tatkala melingkarkan lengan terlalu kencang, sehingga menyakiti sang istri.
"Tidak, tidak sama sekali, Kak Robbin."
"Kamu demam," kata Robbin, merasakan panas pada telapak tangan ketika menyentuh kulit Clay. Dia membimbing istrinya supaya duduk ke kursi, lalu mengambilkan susu kaleng yang tanpa sengaja terjatuh tadi. "Kamu sudah makan?"
Clay menggeleng lemah, tengah berusaha mempertahankan kesadaran. Tidak ingin membuat Robbin semakin cemas.
"Tunggu sebentar," pinta Robbin, segera mengeluarkan bubur instan di lemari lalu membukanya, menuangkan sedikit air panas dari dispenser. "Maaf, aku tidak sempat beli makanan."
"Ayo, makan dulu, setelah itu minum obat." Robbin mendekatkan sesendok bubur ke mulut Clay. "Selama aku pergi, apa ada hal buruk?"
"Kak Robbin," bisik Clay. "Sebenarnya—" Apa kamu akan marah atas segala hal yang terjadi antara aku dan Hanes? lanjutnya di dalam hati. Terlalu riskan untuk menceritakan semua secara gamblang. Dia tidak mau sang suami berpikir macam-macam, menganggapnya tidak setia.
"Ya, aku menunggu," sahut Robbin sambil menyuapi Clay bertahap hingga habis tidak bersisa. "Eem, sebentar kuambilkan obat dulu. Kamu harus istirahat setelahnya."
Clay mengamati perubahan sikap sang suami, dia tidak mau ceritanya nanti merusak segalanya. Yah, ini lebih baik. Apalagi kalau mengingat betapa cemburu Robbin melihat kedekatan dirinya dengan Hanes.
Ini bisa menumbuhkan prasangka yang tidak-tidak di hati dan pikiran Robbin. Kejadian itu jelas memperkuat dugaan sang suami, bahwasanya ada hubungan lebih dari pertemanan biasa.
"Minumlah."
Sesudah memastikan Clay makan dan minum obat, Robbin membopong tubuh sang istri ke kamar.
Robbin membaringkan Clay pelan-pelan dan menarik selimut sampai sebatas perut. "Aku mau mandi dulu, tidurlah."
Clay memandangi punggung lebar pria itu dengan mata berkaca-kaca sampai efek dari obat itu membuatnya mengantuk.
Ponsel milik Clay yang tergeletak di atas nakas berdering. Dia pun tidak jadi tidur, tangannya terulur untuk meraih benda canggih itu. "Halo," sapanya tanpa melihat nomor si penelepon.
Clay memang tidak memakai mode pengeras suara, tetapi peringatan dari orang di seberang sana terdengar jelas. "Sayang sekali pengawal sialan itu telah kembali, dan aku akan menceritakan kedekatan kita kepadanya!"
Jemari lentik Clay mencengkeram gagang ponselnya cukup erat. "Kamu pikir aku takut, Han," bisiknya geram.
"Seharusnya begitu, dia pasti membencimu. Menjauhimu, bahkan yang paling buruk mengakhiri hubungan kalian, tapi kamu tidak perlu risau. Aku bisa menggantikan posisinya."
"Hentikan ocehan tidak masuk akalmu itu, Han! Dengarkan ini baik-baik! Kita tidak ada hubungan apa-apa. Dan, kamu pikir Kak Robbin percaya dengan semua omong kosongmu?"
Tawa renyah Hanes membuat Clay mual, dia memijat ringan pelipis kiri. "Han, kamu merusak segalanya. Jangan coba-coba menggangguku lagi!"
"Tidak bisa sebelum pengawal sialan itu menceraikanmu," tungkas Hanes di seberang.
Pundak Clay terasa berat. Dia melirik tangan besar yang kuat menangkup bahunya. Kendati takut merayapi, Clay berusaha bersikap santai saat menoleh sekilas.
Sudah berapa lama Kak Robbin berdiri di belakangku? Apa dia sudah mendengar semuanya? batin Clay sembari mematikan ponsel.
"Siapa?" tanya Robbin.
Ketakutan masih tersisa dalam diri Clay, tetapi dia berusaha berbicara dengan santai.
Robbin bertanya sekali lagi. "Hanes, ya?"
Meski rasa lelah menyerang, Clay memaksakan diri bersandar ke kepala tempat tidur. Tebakan pria itu selalu tepat sasaran. "Ya."
Baru kata 'ya' yang keluar, rahang Robbin sudah menegang, sorot matanya menggelap. Pria itu jelas membenci jawaban itu. Clay benar dengan mengambil keputusan, mengubur dalam-dalam kedekatannya bersama Hanes saat Robbin pergi.
"Kemarilah, Kak Robbin," pinta Clay bernada lembut membujuk.
Robbin pun menurut, tanpa aba-aba Clay merengkuh tubuh tegang pria itu. Jantung keduanya berdetak cepat, tangan Robbin terangkat perlahan kemudian mengusap rambut Clay lembut.
Dalam gerakan lamban, Robbin membaringkan tubuh Clay. Dia merapalkan doa sebelum menyelinap di balik selimut sebagai pertahanan. Belum saatnya untuk bertindak lebih jauh. Tubuh suam-suam kuku wanitanya beringsut lebih dekat, dia pun menghela napas dan larut dalam rangkul.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Inru
Jahat banget si Hanes, jangan jadi pebinor dong!
2022-10-24
0
Rini Antika
sepertinya Hanes mulai terobsesi kepada Clay
2022-10-12
0
Rini Antika
tuh kan benar dugaanku..🤭
2022-10-12
1