Memesan makanan dari luar solusi di kala lapar, Clay duduk sendiri di meja makan dengan ikan salmon bakar yang telah dingin sebab dipesan tadi pagi. Dia tidak berselera makan. Pikiran dan hatinya kini bercabang dua, antara memilih tetap mempertahankan rumah tangga atau pergi bersama Hanes.
Sudah lebih dari lima hari sejak kedekatan malam itu, Clay mengabaikan panggilan maupun pesan dari si teman. Dia menghabiskan hari-hari dengan berdiam diri di rumah. Merenungi segalanya. Berharap semua akan baik-baik saja.
Dahi berkerut Clay membentur meja ringan sebelum mendengus. Dia menata kembali kepingan-kepingan kesetiaan yang telah terberai. Apa yang harus dirinya perbuat sekarang? Dengan malas dia melangkah ke tempat pencucian piring.
Ketukan pintu berkala terdengar, Clay pun mengeringkan telapak tangan yang basah. Kemudian, melihat siapa yang datang. Dia mengintip dari balik lubang pintu.
"Hanes?"
Buka pintu atau biarkan saja sampai pria itu lelah dan pergi dengan sendirinya, tetapi Clay tidak tega melihat kemuraman di wajah sang teman.
Dengan segala keyakinan yang tersisa Clay membuka pintu, dia berharap bisa menyambut kedatangan Hanes selayaknya seorang sahabat. Teman akrab, meski sulit setelah semua yang terjadi pada malam dingin itu.
"Tega sekali kamu, Clay?"
"Bukan, tidak begitu, Han. Aku, masih—" Clay menjadi salah tingkah ketika Hanes memicing, mencoba menebak arah pembicaraannya. "Jangan melihatku seperti itu!"
"Kamu menyiksaku," bisik Hanes. Dia mendekati Clay, membawa tangan lembut wanita itu ke dada. "Jangan banyak berpikir, waktu baik tidak akan menunggu orang yang ragu-ragu, Clay."
"Aku sudah putuskan tetap tinggal, Han. Ini rumahku, dan sepatutnya menunggu suamiku pulang."
"Omong kosong!" Hanes geram, "sebelum ini kita sudah membahasnya dan seperti yang sudah direncanakan, kita akan kembali ke Indonesia untuk membatalkan pernikahanmu."
"Tidak bisa, memang secara hukum bisa, Han, tetapi secara agama? Tentunya, Tuhan tidak mengizinkan itu," tegas Clay.
Hanes menggeram, kesabarannya sudah sampai di ubun-ubun. Dia menerjang Clay hingga tersudut di sudut sofa.
"Han! Lepas!" rengek Clay, dia mendorong kuat-kuat pundak Hanes yang menindih tubuhnya. "Demi apa pun, menjauhlah, kalau tidak—"
"Apa? Tidak ada orang di sini!" bisik Hanes. "Lagipula tubuhmu ini bereaksi lain, Clay, kamu menginginkannya sama sepertiku."
"Aku menolakmu, Han, jangan lupakan itu!" Clay mendorong kuat sosok jangkung di depannya hingga terpundur dan dia memanfaatkan celah di antara mereka.
"Clay! Mau ke mana?" Seringai menakutkan terpampang di wajah Hanes yang tampak menyeramkan. Dia melangkah lambat-lambat seolah-olah takut mangsanya terkejut lalu kabur. "Ada sesuatu di antara kita, kamu menyambut sentuhanku dengan hangat, bahkan bibirmu memberi respons yang sangat baik. Napas kita saling memburu."
"Maaf, jika aku memberimu kesan ketertarikan. Sungguh aku tidak bermaksud begitu, Han. Dan, soal aku setuju pergi bersamamu, itu pemikiran konyolku. Otakku sedang keruh, tolong jangan dianggap serius," cicit Clay.
"Terlambat, Clay!" kata Hanes lirih.
Clay mundur teratur, dia menyesali kebodohan pada malam itu di mana dirinya menerima tawaran Hanes dalam keadaan marah. Nomor tak dikenal mengirimkan foto kedekatan Robbin dengan seseorang, lebih pastinya wanita yang dia yakini adalah Martha.
Lima hari yang lalu dalam perjalanan pulang dari pantai ponsel Clay bergetar, itu dering pesan masuk. Dia terlalu bersemangat karena telah lama menunggu kabar dari sang suami. Namun, dirinya dibuat terbakar cemburu karena foto yang masuk melalui pesan singkat.
Robbin berpelukan begitu mesra dengan seorang wanita, bibir sensualnya tersenyum hangat. Berbeda jauh saat bersama dengan Clay, yang selalu memasang wajah jutek.
Clay memutuskan untuk pulang ke tanah air keesokan harinya, tetapi ketika berkemas dia menemukan kotak beludru merah hati. Sedikit pun tidak ada rasa penasaran mengenai isinya. Dengan marah dia banting kotak itu ke sembarang arah. Seluruh isinya keluar beserta secarik kartu ucapan.
Dengan pikiran kalut dan tidak-tidak Clay mulai menebak-nebak barang itu untuk siapa? Tentu saja hadiah spesial yang akan diberikan kepada orang paling istimewa bagi Robbin. Atau bisa jadi perhiasan-perhiasan itu kepunyaan calon istrinya dulu—Martha.
Jari jemari Clay mengumpulkan satu set perhiasan indah itu satu per satu lantas meraih kartu ucapan yang tergeletak tidak jauh dari sana.
Bulu mata lentik Clay berayun perlahan mengikut kelopaknya ketika membaca tulisan tangan di atas kertas putih itu.
...Claymira, Sayang....
...Setelah apa yang sudah kita lalui selama ini, aku ingin minta maaf kepadamu, kupikir harus memulainya dari awal lagi supaya rumah tangga ini tidak tenggelam sebelum sampai kepelabuhan. Semoga sampai tua nanti dirimu tidak pernah bosan kepadaku yang selalu membuatmu terluka dan kesal. Aku tau sebanyak apa pun rasa cintaku tidak akan pernah melebihi kemurnian cintamu. Aku berharap setelah ini kita bisa mengarungi bahtera rumah tangga yang harmonis dan penuh kasih. Terima kasih sudah mengerti aku selama ini, I LOVE YOU My Angel...
...Suamimu,...
...Robbin...
Clay tertunduk begitu dalam, perasaan menjadi tidak menentu. Jantung berhenti berdetak sesaat sebelum berpacu lebih cepat. Keterburu-buruan dalam mengambil sikap membuktikan bahwa dia memang belum dewasa. Seperti kata Robbin terakhir kali sebelum pergi.
Harusnya aku mengerti pekerjaan Kak Robbin, mungkin saja wanita itu rekan kerjanya, ya semacam itu. Tapi, Hanes, apa dia berbohong mengenai wanita yang ada di foto itu? Untuk apa? Bodoh! Bodoh sekali! Hanes mencintaiku, dia sejak dulu menyukaiku, aku tahu dan sudah memperingatkannya agar membuang jauh-jauh perasaan itu. Tapi, kenapa Kak Robbin tidak memberi kabar sama sekali? Ponselnya juga mati. Apa dia baik-baik saja di sana? batin Clay.
Sejuta prasangka menari-nari di dalam benak Clay pada malam itu, dia tidak boleh berpikiran sempit. Dia harus bisa membuktikan kepada Robbin bahwa dirinya sudah dewasa dan mampu menentukan pilihan.
Clay mencintai Robbin bahkan sebelum mengetahui dengan pasti pria itu juga menaruh hati kepadanya. Sejak awal dia sanggup menanggung resiko diabaikan begitu saja, tersebab Robbin berhati batu. Lalu, mengapa setelah sejauh ini jadi putus asa dan menyerah.
Di mana Clay yang tangguh dan seteguh batu karang. Dia seharusnya menunggu sampai Robbin kembali untuk menanyakan kesungguhan surat itu.
Bimbang menyeret Clay dalam dilema, dia butuh sang ibu untuk bertukar pikiran.
"Halo, Mommy," sapa Clay kepada ibunya di seberang telepon.
Suara parau khas bangun tidur Belle menyahuti, "Ya, Sayang, apa semuanya baik-baik saja?"
"Tidak, Mom." Clay mendengar grasak-grusuk kegusaran sang ibu, seperti bergegas bangun begitu mendengar keluhannya.
"Katakan, Sayang," katanya kemudian.
Clay mengatur napas agar suaranya lebih tenang. "Kak Robbin membuka hati buatku dan—"
Ada jeda ketika Clay menceritakan masalahnya, tetapi Belle sabar menunggu sampai sang putri mau berbicara lagi.
"Dan, aku mendapati foto yang menunjukkan bahwa dia sedang bermesraan dengan wanita lain."
"Oh, Sayang, hanya itu," ujar Belle embusan napas terdengar. "Dasar sebuah pernikahan adalah kepercayaan. Gimana bisa dua orang bersatu sampai maut memisah tanpa adanya rasa saling percaya? Terkadang memang ada pertengkaran, tetapi semata-mata hanyalah bumbu penyedap suatu hubungan yang nantinya menjadi semakin erat. Dan, Sayang, jangan pernah meragukan kesetiaan pasanganmu. Coba tanyakan baik-baik, cari tau kebenaran sebelum mengambil tindakan," tutur Belle panjang lebar. "Sayang, kamu mengertikan maksud, Mommy?"
"Iya, Mom."
Percakapan dengan sang ibu membuat Clay membatalkan rencana yang sudah dibuat dengan Hanes. Dan, pria itu tampaknya tidak terima.
Hanes merasa dipermaikan, untuk itu dia datang pada hari ini. Baik dengan sukarela atau paksaan, Clay harus ikut bersamanya.
"Clay, ayo!" bujuk Hanes.
Clay memegang susuran anak tangga dengan langkah mundur. "Diam di situ, Han!" Tubuhnya menggigil ketika mendapat tatapan penuh nafsu pria di depannya.
Hanes menerjangnya hingga terjerembab ke belakang. "Bodoh sekali Robbin meninggalkanmu sendiri," bisiknya di telinga kiri Clay. Dengan ujung jari kelingking Hanes membelai leher wanita di bawah kungkungannya.
"Jangan macam-macam, Han!"
"Sst, stt, stt, diam dan nikmati saja." Jemari Hanes merambati tengkuk Clay.
"Lepas—kan—aku!" Dengan kuat Clay mengayunkan kaki hingga pekik dan umpatan keluar dari bibir pria di depannya. Dia kabur dengan segera sebelum Hanes berhasil menangkapnya.
Clay masuk ke kamar dan menghempaskan daun pintu di belakangnya kemudian memutar anak kunci yang tergantung di kenop.
Langkah berat dan lambat mendekati kamar, Hanes mengetuk dengan lembut. "Buka pintunya, Clay."
"Pergi atau kamu ingin melihat mayatku, Han?" teriak Clay.
"Clay, jangan macam-macam!"
"Pergi, Han! Pergi!"
Di tengah-tengah ketegangan, Clay mendengar langkah kaki Hanes menuruni tangga. Dia pun terkulai lemas di balik pintu. Sambil menangis pilu, merutuki kebodohan dan kecerobohan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Inru
Bener, kalau memang ada uang mending beli jika peruh sudah sangat lapar ... karena jika dipaksakan hanya akan mengamuk di dapur 🤣🤣🤣 karena nggak sabar pengen segera makan.
2022-10-13
1
Rini Antika
Semangat terus Say, aku kasih 🌹untuk Babang Robbin..🤭
2022-10-09
0
Rini Antika
So sweat nya..🤭
2022-10-09
0