Robbin menutup mata dan menyandarkan kepala ke sandaran kursi balkon. Clay pasti berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya yang bersikap terlalu protektif. Akan lebih baik kalau Robbin menekan segala emosi diri. Suka atau tidak, dia harus bisa bersikap rasional.
Cinta tidak baik untuknya, segala hal menjadi rumit karena perasaan yang bersifat melankolis. Seseorang bisa rapuh dalam sekali waktu ketika asmara mengudara, pergi dari sisi orang yang telah terjebak dalam ikatan cinta. Robbin tahu setelah ini mustahil bisa menikmati hari dengan tenang.
"Kak Robbin," bisik Clay.
Robbin yang sedang asyik melamun terkesiap.
"Apa, Kak Robbin, baik-baik saja?"
"Aku tidak ingin kita berada sedekat ini!" jawab Robbin tegas kemudian berdiri dan menjauh. Dia tidak pernah terbiasa dekat-dekat Clay, kehadirannya terlalu menegangkan semua indra dalam diri yang menciptakan sensasi tidak karuan pada bagian tubuh tertentu.
"Mulai sekarang biasakan itu." Clay menggamit siku tangan Robbin. "Aku sudah masak sesuatu, Kak Robbin wajib coba!"
Robbin berusaha mengendalikan diri agar tidak mendesak Clay ke sudut balkon lalu menghujani sentuhan menggunakan bibir.
"Setelah urusanku selesai, kunci pintu selagi aku belum pulang." Robbin melepas paksa jari jemari lentik yang mencengkeram lengannya.
"Selarut ini? Tunda kerjaanmu sampai besok."
"Sayangnya tidak bisa, jangan coba-coba mengatur hidupku!" bentak Robbin tanpa sadar.
"Aku tahu, Kak Robbin sengaja menghindar. Apa kurangku? Lihat betapa besar cintaku! Kukorbankan semua untukmu," cerca Clay kemudian berpaling muka. Derai air mata membasahi pipi yang telah merah karena menekan kuat amarah. Ini semua memang salahnya, Robbin berhak menjauh darinya.
"Wanita cerdas sepertimu mudah sekali menganalisis sesuatu, terutama perasaanku terhadapmu."
"Hanya sambaran petir yang bisa membuat kutersadar dari khayalan tentangmu," ucap Clay terdengar seperti bisikan.
Berada di dekat Clay serasa memasukan kepala ke dalam lautan bunga penuh kupu-kupu yang memancing jiwa pujangga dalam diri Robbin keluar. Namun, dia malah berkata ketus, "Maka, hentikan khayalan itu segera!"
Clay mendongak menatap langit, sebelah tangannya terangkat ke pipi. "Hujan kali ini datang sebelum petir."
Robbin mengulurkan telapak tangan yang terbuka kemudian mendapati punggung Clay berjingkat samar. "Kamu menangis?"
Tanpa berkata-kata Clay hendak masuk ke rumah. Namun, dengan cepat Robbin menahan pundak dan memaksa tubuhnya untuk berbalik. Dia pun mendongakkan wajah dengan mata merah seraya berkata, "Pantang bagiku menangis!"
Robbin tidak bisa menahan desakan meraih pinggang Clay yang ramping dan membawanya dalam pelukan. Dia dapat merasakan ukuran tubuh istrinya berkurang.
"Semoga ini bukan trik untuk merayuku?" bisik Robbin, aroma tubuh sang istri sungguh menggoda sampai membiarkan ujung jemari mengusap lembut pipi Clay.
Ya, Tuhan, kulitnya hangat dan selembut sutra, batin Robbin. Dia ingin menyentuh setiap jengkal lekuk tubuh yang tertutup baju tidur, tangannya menyusuri tengkuk secara perlahan. Buku kuduk Clay meremang, dia membangkitkan respons sensual dari dalam diri sang istri.
"Hanya orang-orang spesial yang berhak mendapatkan air mata dariku!" bantah Clay, berusaha melepaskan diri. "Silakan pergi sebelum aku menahanmu di sini!"
"Ya, aku sudah terlambat," tegas Robbin sambil lalu. Dia kesal karena hampir terperosot ke dalam jurang cinta kasih tidak berdasar seperti dulu. Wanita muda bernama Martha berhasil menciptakan luka di hatinya. Meski begitu, dia masih pria normal yang dapat merasakan getaran kala bersanding dengan lawan jenis. Akan tetapi, selalu memastikan gairah itu tidak muncul ke permukaan.
Dengan langkah tertahan Robbin menuruni anak tangga menuju ke garasi, dia menoleh sekilas tatkala meninggalkan rumah.
"Clay menangis? Apa terjadi setiap aku tidak mengacuhkannya? Kenapa aku peduli? Dia memaksaku melakukan itu!" monolog Robbin sambil berkeliling tanpa arah tujuan. Dia menggunakan berbagai alasan karena merasa tertekan oleh keadaan. Di mana dirinya harus menahan segala rasa yang melibatkan dorongan batin.
Robbin belum siap menanggung derita lama. Dia masih memegang teguh gagasan tentang wanita baik-baik sebagai pendamping hidup. Seseorang yang berhati suci dan berkelakuan baik. Dan, itu jauh dari kepribadian Clay—dia gadis muda yang penuh semangat dalam percintaan. Sama sekali bukan tipenya.
Spidometer kendaraan Robbin berkedip-kedip, tidak terasa bahan bakar tinggal segaris. Sebelum memutuskan untuk pulang dia melihat jam di pergelangan tangan.
"Pastinya Clay sudah tidur sekarang," gumam Robbin, keyakinan yang dimiliki menambah kecepatan laju kendaraan. Seharian ini, dia tidak cukup tidur, lelah menggerogoti seluruh tubuh.
Selang sepuluh menit, Robbin telah memasuki kawasan tempat tinggalnya. Kemudian, mengarahkan mobil ke garasi yang telah dibuka menggunakan remot kontrol.
Robbin memasuki rumah dengan cara mengendap-endap bak kucing yang sedang mengintai tikus kecil. Dia langsung terpaku mendapati Clay tidur meringkuk dan kepala bertumpu di atas meja.
Dengan gerakan lambat Robbin menyentuh punggung ketika akan memindahkan Clay ke kamar, tetapi tidak berhasil.
"Kak Robbin sudah pulang?" tanyanya sambil meregangkan otot-otot yang kaku seraya mengucek mata, dia mengimbuhi, "Sebentar kuhangatkan dulu makanannya."
"Aku tidak lapar!" kata Robbin datar, padahal bukan itu yang diharapkan keluar dari pita suara.
"Baiklah, ingin kopi?" tawar Clay.
"Kamu lelah, aku juga lelah. Tidur jauh lebih baik," tolak Robbin berbalut rasa kasihan karena Clay rela menunggu kedatangannya.
"Apa, Kak Robbin butuh menyegarkan diri? Biar kusiap—"
"Aku tidak ingin gejala reumatikku bertambah parah," sela Robbin sambil menatap lekat-lekat seraut wajah sendu yang dulu selalu ceria.
Tawa Clay pecah sambil berkata, "Kak Robbin belum terlalu tua."
"Penyakit tidak memandang usia, dan memang usiaku sudah cukup tua untukmu pastinya."
"Sebelas tahun bukan jarak yang berarti bagiku, Kak Robbin," bela Clay.
"Kenapa kamu selalu mendebatku? Pergi tidur sekarang!"
"Baiklah." Clay pun menyerah sambil lalu menuju anak tangga dan diikut Robbin. Rasa lelah berlebih mengikis kekuatan yang ada, sehingga dia tidak bisa menahan berat badan sendiri. Gerakan motorik refleks bekerja cepat, lengan Robbin menahannya supaya tidak jatuh.
"Kukira, aku sudah aman." Ucapan Clay mengejutkan Robbin yang sedang mencermati garis wajahnya seperti pencinta karya seni bernilai tinggi.
Buru-buru, Robbin mengalihkan pandangan, bahkan di bawah lampu temaram kulit kuning langsat Clay tampak halus dan bersinar. "Lain kali hati-hati."
Senyum mengembang sempurna di bibir Clay. "Terima kasih, Kak Robbin," katanya seraya mengecup singkat pipi sang suami, hingga pria itu terbengong.
Tanpa sadar senyum Clay menular, bibir Robbin melengkung sempurna sampai terlihat sederet gigi yang berjajar rapi. Dia berjalan teratur mengikuti langkah ringan sang istri.
"Aku bisa ambil sendiri." Robbin menghentikan tangan Clay yang sedang membuka lemari baju.
"Kak Robbin," sela Clay, "Setidaknya ijinkan aku menyiapkan segala keperluanmu."
Robbin memegang erat siku tangan Clay dan menariknya lebih dekat. "Berpikir dulu sebelum membantah, Sayang, pergi tidur sekarang!"
Mata Clay membulat napasnya tiba-tiba sesak dipanggil begitu dan suara tegas Robbin menyadarkannya bahwa berdebat sama saja sia-sia. "Sesuai perintah, My Lord."
Clay segera berbaring ke kasur, sedangkan Robbin sibuk mengeluarkan baju tidur kemudian menuju ke kamar mandi. Lima menit berikutnya, dia keluar dengan baju berbeda.
Robbin pun membaringkan tubuhnya di samping Clay, tidak lagi meletakkan guling sebagai pembatas. Dia amati kelopak mata yang tertutup itu tanpa henti, Clay tampak cantik malam ini—seperti hari-hari biasanya. Sang istri menggeliat lebih dekat, membuat jantung Robbin berdetak cepat
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
pєkαᴰᴼᴺᴳ
bisa bisanya kamu clay
2022-12-07
0
👑Ria_rr🍁
itu namanya anu Bin, dah ih jangan sok² an sana bawa dia pergi ke pojokan rumah🤭🏃🏃🏃
2022-11-17
1
👑Ria_rr🍁
rumitnya cinta bagai benang yg kusut
2022-11-17
1