Clay terbangun keesokan paginya, karena suara hujan menghantam jendela balkon dan sebuah tangan berat berada di atas perutnya. Dia tidak ingin bangun di pagi yang dingin ini dan memilih bergelung makin rapat pada Robbin.
Kelopak mata Clay mengerjap-ngerjap, dia pernah berpikir akan menyesali keputusan tentang menikah dengan seseorang berhati es batu, keras dan dingin seperti Robbin. Kini semua terhempas bersama embusan napas hangat yang menerpa pucuk kepala. Aroma maskulin memeluk erat, dia menghirup kuat-kuat sebelum melihat wajah rupawan pria itu lekat-lekat.
Jari-jari lentiknya mengelus pipi Robbin, Clay menggoda tanpa berbicara lalu memberikan kecupan mesra pada kelopak mata yang masih tertutup rapat kemudian beranjak.
Diam-diam, Clay bangkit dan berjingkat-jingkat keluar dari kamar. Dia teringat ayam panggang hasil karya singkat kemarin. Seberapa susah menghangatkan sesuatu, dibandingkan keribetan ketika memasaknya. Dia mengamati punggung tangan yang menyisakan luka bakar waktu berjalan menuju dapur.
Pada hari-hari biasanya memang Robbin-lah yang bangun lebih awal. Sekarang, Clay mulai mengubah kebiasaan-kebiasaan itu. Dia harus membuka mata di pagi hari sebelum sang suami.
Selama ini, Clay tidak pernah membuatkan Robbin secangkir kopi. Dia tidak terlalu paham caranya, bermodal tekad diambilnya panci dari dalam lemari lantas menuangkan air setengahnya saja. Lalu, meletakkan di atas kompor listrik.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Robbin sambil bersandar pada pinggiran meja. Dia tersenyum samar saat Clay berpaling ke arahnya. "Sejak kapan kamu bersahabat dengan dapur?" imbuhnya, dia mengerutkan alis ketika menemukan luka di punggung tangan istrinya.
Robbin bergegas mendekati kotak kecil di samping lemari pendingin. Kemudian kembali dan meraih tangan Clay, kehangatan genggaman Robbin menghantarkan kenyamanan.
"Rasanya pasti menyakitkan," ucap Robbin. Dengan perlahan membawa punggung tangan Clay ke bibir sebelum mengoleskan obat anti bakar.
Walaupun agak terlambat, Clay gembira atas perhatian Robbin. Dia menginginkan sentuhan pria itu setiap waktu. Kebahagian yang mendera membuat Clay meneteskan air mata.
Jangan lagi, Clay. Aku benci air mata itu, batin Robbin seraya memegangi wajah sang istri dengan kedua telapak tangan. Dia mengusap air mata di pipi dengan kecupan lembut.
"Jangan memaksakan apa yang tidak biasa kamu kerjakan," kata Robbin begitu mundur sejengkal.
Clay mengulas senyum. "Aku memang payah dalam urusan dapur, tapi untuk secangkir kopi kurasa mudah."
"Aku tidak mau melihatmu terluka," bisik Robbin.
Clay menegang seraya mendongak perlahan untuk mencari kesungguhan kata-kata pria itu. Dia mencoba menyelami sorot mata gelap dan dalam Robbin.
Tatapan Clay mendorong Robbin untuk mengatakan, aku sakit ketika melihatmu menangis, tetapi urung dan dia malah berkata, "Keamananmu berarti keamanan bagi keluargaku. Jangan pernah lupa bahwa Pak Albert sampai kini menahan mereka!"
"Hanya karena itu?"
"Iyalah, kamu kira apa?" Robbin balik bertanya sembari menyisipkan kedua telapak tangan di kanan-kiri saku celana.
Sambil menunjuk pipi Clay bertanya, "Ini, ini, maksudnya apa?"
"Kamu terlalu berlebihan dalam mengartikan sikapku tadi." Sorot mata Robbin mengamati Clay dari pucuk kepala hingga ujung kaki. Ingin sekali dia mencumbui lebih dari sekadar ciuman di pipi.
Kemajuan yang baik, tinggal sedikit lagi. Cepat atau lambat, Kak Robbin pasti mengakuinya, dalam hati Clay tersenyum puas. Lalu berkata, "Bagus, bagus sekali, Kak Robbin mengingatnya."
Clay sengaja menabrakkan bahunya ke lengan kiri Robbin saat lewat sampai pria itu sedikit terhuyung. "Maaf, sengaja!" godanya sambil mengedipkan mata dan menghempaskan rambut gelombangnya ke balik bahu.
"Berhentilah merayu," desah Robbin sembari mengusap dagu Clay sekilas.
"Aku curiga kalau sebagai laki-laki, Kak Rob-bin sudah kehilangan selera terhadap wanita."
"Kamu menantangku?" Iris mata Robbin berkilat memandang seraut wajah polos Clay yang tampak merah.
"Takut?"
"Mari selesaikan ini setelah aku pulang kerja." Robbin pergi dari sana bersiap-siap menyelesaikan urusan hari itu dengan segera supaya dapat menunjukkan kemampuannya kepada Clay.
"Kenapa nanti?"
Robbin mengabaikan pertanyaan sang istri. Dia perlu membeli hadiah sebagai ganti cincin pernikahan. Haruslah sesuatu yang istimewa, seperangakat perhiasan bertahta permata.
Dengan jantung berdebar dan hati berbunga-bunga, Robbin melajukan mobil secepat kilat menuju tempat perbelanjaan. Dia langsung turun dan memasuki gedung pencakar langit itu, mengambil langkah-langkah panjang agar segera sampai tujuan.
"Halo, apakah Anda ingin membelikan hadiah untuk orang terkasih?" sapa pelayan toko.
"Ya, apa di toko ini ada satu set perhiasan dengan batu permata? Aku ingin yang berwarna biru dengan banyak permata-permata kecil di sekelilingnya," terang Robbin sembari melihat-lihat beberapa perhiasan yang dipajang.
"Silakan ikut saya, Tuan," pinta pelayan itu ke salah satu etalase di toko tersebut, "Batu safir ini saya rasa sesuai dengan permintaan Anda."
Kekaguman terpancar dari sorot mata Robbin kala melihat satu set perhiasan yang terdiri dari kalung, gelang, dan anting-anting. Logam mulia tersebut tidak berwarna kuning, melainkan putih berkilauan.
"Bungkus menggunakan tempat perhiasan yang cantik. Di mana aku bisa melakukan pembayaran?"
"Mari, Tuan." Pelayan itu mengantar Robbin ke sisi yang lain, "Tunai atau debit?"
"Debit," sahut Robbin cepat lalu mengeluarkan kartu berwarna hitam.
Setelah menyelesaikan pembayaran, Robbin keluar dari toko perhiasan untuk membeli bahan pokok. Dia ingin membuat masakan terlezat yang pastinya Clay suka. Akhir-akhir ini, Robbin terlalu egois dengan memasak makanan yang dirinya suka saja. Berimbas pada berkurangnya berat badan sang istri. Pelukan semalam menyadarkan Robbin bahwa Clay tidak makan dengan benar.
Usai berbelanja, Robbin menemui dua temannya sebentar untuk memasrahkan tugas hari ini supaya bisa menghabiskan waktu dengan tenang bersama Clay.
Tidak sesuai perhitungan Robbin, perbincangan bersama teman-temannya memakan waktu dua jam. "Maaf, aku harus pergi sekarang. Segera kirimkan bukti itu melalui email."
"Tumben buru-buru? Dan, wajah murammu agak cerah," ledek Berry.
Robbin tidak menggubris, dia lekas pergi dari sana meninggalkan tanda tanya besar bagi kedua temannya.
Dalam suka cita Robbin menyusuri jalan menuju kediamannya. Siulan keluar dari bibir yang mengerucut dan mengeluarkan angin. "Apa Clay akan menyukainya?" monolognya sembari tersenyum kecil dan menggigit ujung bibir. Dia sudah tidak sabar sampai tujuan.
Namun, saat pandangan tertuju ke arah teras, Robbin melihat Clay berdekatan dengan Hanes tanpa jarak. Bukan berpelukan, secara jelas keduanya tampak saling bertukar napas melalui bibir.
Mata Robbin memerah, darah dalam tubuhnya mendidih karena sakit melihat kedekatan mereka. Dia ditipu mentah-mentah. Bagaimana tidak wanita secentil Clay hidup dengan satu pria saja? Tentu tidak cukup untuk memuaskan gelora jiwa mudanya.
Clay sama dengan calon istrinya dulu—Martha pergi bersama pria yang lebih muda dari Robbin—tepat pada hari pernikahan Martha meninggalkan Robbin sendirian di atas mimbar. Sehingga, kepercayaan diri terhadap pernikahan berkurang. Dia tidak ingin lagi berurusan dengan wanita yang salah.
Bodoh sekali Robbin memercayai cinta yang Clay berikan kepadanya. Dia meremas setir di depannya hingga darah tidak terlihat di buku-buku jari yang memutih. Siku-siku rahangnya menegang dan terdengar gertakkan geraham.
"Pendusta! Menjijikkan!" geram Robbin lalu memutar balik mobil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
pєkαᴰᴼᴺᴳ
kasar banget bicara nya
2022-12-07
2
👑Ria_rr🍁
rame amat pilihanmu Om, nnt pas dipakai kayak lampu pasar malam loh
2022-11-17
1
👑Ria_rr🍁
aduhai Om Robbin aku padanya 🤣🤭
2022-11-17
1