"Aku tidak yakin kita akan berhasil dalam misi ini. Oh, ini keajaiban," seru Meghan.
Robbin melipat tangan di depan dada sembari bersandar. "Merasa puas dengan satu keberhasilan saja tidak bagus untuk kemajuan kariermu," jelasnya.
Mata sipit Meghan berkedip pelan sebelum berujar, "Kamu benar, tapi ini belum selesai bukan? Benda itu harus segera berpindah tangan sebelum ada yang menyadarinya."
"Ide yang bagus, kita selesai sampai di sini." Robbin menyugar rambut tebal hitamnya lantas menyeruput kopi yang sudah hangat-hangat kuku.
"Kamu akan ke mana setelah ini?"
Robbin melihat lawan bicaranya dari balik cangkir kopi. "Ke mana pun, dan tidak butuh teman."
"Keterlaluan, aku hampir ingin ikut bersamamu," kata Meghan sambil tertawa pelan. "Sampai jumpa di pertemuan berikutnya."
"Aku berharap tidak ada kesempatan," sahut Robbin bernada arogan yang dibuat-buat. "Wanita sungguhan jauh lebih baik."
"Oh, R—Marc, itu tidak sopan. Kebersamaan ini terlalu singkat, sehingga aku tidak memiliki banyak kesempatan untuk menunjukkan jati diri. Dan, bye bye, semoga harimu menyenangkan." Meghan menjauhi meja Robbin dan terus berjalan tegas meninggalkan kafe.
Robbin memanggil salah satu pramusaji kemudian memberikan sejumlah uang. "Simpan kembaliannya," katanya, beranjak dari duduk.
Mobil hitam metalik Robbin membelah jalan pinggiran kota, dia mengamati bangunan-bangunan model kuno pada abad pertengahan. Halaman luas yang ditumbuhi pohon besar tampak begitu asri, sekitar seratus meter dia memberhentikan kendaraan di depan salah satu rumah.
Bangunan bertingkat dua itu memiliki pilar-pilar kokoh sebagai penyanggah. Serambi depannya begitu luas juga halaman berumput yang membentang.
Robbin disambut hangat sang pemilik rumah, "Wah, kejutan. Coba tebak siapa yang datang, Sayang?" seru wanita empat puluhan dengan menggendong balita di pinggulnya yang ramping.
Seorang pria paruh baya menyembul dari balik gorden pembatas ruangan. Sambil mengamati pria muda dari pucuk kepala sampai kaki, dia bertanya, "Keributan apa yang membawamu kemari?"
"Yang pasti bukan bencana alam," sahut Robbin serta menyambut pelukan persahabatan dari pria yang bernama Bima.
"Masuklah." Bima mempersilakan sebelum meminta belahan jiwanya menyiapkan kudapan. "Alice, siapkan sesuatu."
Wanita berambut pirang itu mengulas senyum singkat seraya meninggalkan dua pria beda usia itu di ruang tamu.
"Tidak pernah terbayangkan olehku, seorang penyendiri profesional sebahagia ini," komentar Robbin, dari semua orang yang Robbin duga tidak akan menikah, Bima menjadi urutan teratas mengingat saat pertemuan pertama usia pria itu tidak lagi muda dan belum menikah.
"Anak dan istri mengubah kelakuan buruk kita menjadi kebalikannya," sahut Bima.
"Aku setuju kalau wanita itu betul-betul mencintaimu," gumam Robbin. "Ha-ha-ha, bagian terburuknya adalah ketika dirimu menanggung rasa yang—bisa dibilang tidak rela wanita itu berdekatan dengan pria lain."
"Aye, itu cemburu namanya," tegas Bima disertai kekehan, dari ruangan bagian dalam seorang gadis berusia enam tahun berlari mendekat lalu menjatuhkan diri ke arahnya, "Bethany, beri salam."
"Hai," katanya dengan suara lembut khas gadis kecil yang imut. "Papa aku kesulitan untuk menyelesaikan gambar ini." Bethany menunjukan goresan pensil setengah jadi.
"Setelah kisah cinta yang sangat tragis itu, kuharap dirimu tidak alergi terhadap bau-bau pernikahan." Bima berujar di sela-sela kegiatan bersama putrinya.
"Sedikit paksaan dari gadis konglomerat cukup ampuh," tandas Robbin sembari mengempaskan punggung ke sandaran.
"Paksaan terindah, pastinya." Tanpa menoleh kepada Robbin Bima menanggapi. "Ini sempurna Bethany, keren bukan?"
"Ya, terima kasih, Papa." Suara Bethany terdengar riang dan lembut. Gadis itu menghadiahi kecupan di pipi sang ayah. "Aku akan mewarnainya." Dia berlari kecil menjauhi dua pria dewasa di ruang tamu.
Alice menopangkan satu tangan ke pinggul. "Apa kalian hanya ingin terus mengobrol dan melewatkan makan malam?"
Robbin dan Bima saling tatap sepintas.
"Ayo, kita bisa bersantap santai," ajak Bima.
Ruang makan di kediaman Bima tidak kalah luas dari ruangan-ruangan yang lain. Meja panjang dilengkapi kursi di kanan kiri. Pria paruh baya itu mengambil tempat di kepala meja.
Si kecil Bethany menyusul tidak lama setelahnya. "Mama, apa ada puding susu?"
"Ya, Sayang, tetapi akan disajikan setelah kamu habiskan makan malam ini." Alice meletakkan sepiring nasi lengkap dengan sayur dan ikan.
Semua anggota keluarga termasuk Robbin menikmati makanan dengan cukup tenang kecuali Darren—anak kedua Bima yang berusia dua tahun.
"Maaf, Robbin, acara makan malam ini sedikit kacau," sesal Alice sambil membereskan makan yang telah ditumpahkan Darren.
"Itu bagus, Alice, dia sangat aktif." Robbin mengulas senyum tulus.
Alice membawa Darren untuk berganti baju. "Sayang, bisa bantu aku membersikan semua ini nanti?" tanyanya kepada Bima sebelum benar-benar pergi.
"Tentu saja," sahut Bima. "Bethany apa kamu siap menghabiskan pudingmu?"
"Ya, tapi sambil menonton TV," jawab Bethany.
"Pergilah," kata Bima, tidak perlu nanti-nanti Bethany segera pergi.
Robbin merasakan kehangatan keluarga di rumah sang teman, dia berpikir suatu hari nanti memiliki anak-anak yang cantik dan tampan bersama Clay.
"Masih bekerja dengan Rocky?"
Pertanyaan Bima membuyarkan lamunan Robbin. "Ya," jawabnya.
"Masih suka tantangan rupanya," tanggap Bima. "Ada niat untuk beralih profesi setelah menikah?"
"Bahkan sebelum menikah, sudah keseratuskali—tidak—lebih dari itu kurasa. Aku sendiri bertanya-tanya mengapa suka sekali dengan profesi sekacau ini dan cenderung mempertaruhkan nyawa. Namun, memang rasanya memuaskan setelah berhasil memecahkan kasus." Terdengar nada bangga dalam suara Robbin menyangkut bidang yang digeluti selama ini.
"Jiwa muda." Bima terkekeh, sebab dulu sekali dia sepemikiran dengan pria muda di depannya. Dia sudah lama keluar dari agensi swasta yang didirikan Rocky, hingga memutuskan berhenti setelah menikah. "Gimana kabar keluargamu?"
Kedua tangan Robbin yang ada di atas meja mengepal kuat, dia bahkan tidak tahu bagaimana keadaan ayah, ibu, dan adiknya. Apakah mereka baik-baik saja?
Tatapan kemarahan Robbin menerawang jauh hingga mengenan percakapan terakhir antara dia dan Clay di ruang tunggu bandara.
Robbin dengan tegas mempertanyakan keberadaan dan kondisi keluarganya yang ditahan oleh Albert.
"Kak Robbin, mengapa menatapku seolah-olah aku bertanduk dan berekor?" Clay merasa terintimidasi akibat hujaman tajam iris mata sang suami.
"Memang, iblis licik!" Robbin mendengus lalu meneguk es jeruk hingga tandas. "Aku masih ragu kalau keluargaku baik-baik saja di tangan Pak Albert."
"Terkadang lebih baik mempercayai suatu hal karena itu terasa melegakan. Yah, meski hanya beberapa waktu," timpal Clay sembari memutari meja untuk mendudukkan diri di samping Robbin. Dia mengapit lengan keras pria itu. "Aku hanya bercadan, bukan beberapa waktu dan mereka itu keluargaku juga, Kak Robbin, mana mungkin aku tega atau Daddy tega menyusahkan Ayah Robet. Untuk kali ini, kumohon percayalah kepadaku."
Robbin meneleng cukup lama guna mengamati keseriusan di wajah sang istri. Kelopak mata berbulu letik itu mengedip-ngedip lembut, seolah-olah melambai, mengoda agar Robbin mendekat dan memberi kecupan.
"Kak Robbin, ini bukan tempat yang cocok untuk melakukan itu," goda Clay, sukses merusak kesenangan Robbin. Dia bisa membedakan tatapan mendamba dan biasa. "Sepulang dari bertugas, kita bisa menghabiskan malam-malam panjang berdua."
Bibir sensual Robbin melengkung samar, butuh kejelian untuk menyadari itu. Dia tidak ingin terlihat meleleh di depan sang istri. Tidak sebelum semua masalah di antara mereka berakhir.
"Percaya kepadaku, Kak Robbin!" Clay meyakinkan dengan menggenggam erat tangan besar Robbin dan itu mengantarkan ketenangan.
Ingatan tentang Clay semakin mendesak Robbin supaya lekas pulang. Membereskan semua kesalahpahaman yang ada—tentang keluarga, kedekatannya dengan Hanes. Semua, dia ingin meluruskan segalanya.
"Mereka baik-baik saja, Robbin?" tanya Bima.
Dan, Robbin tersentak dari lamunan akan percakapan terakhir dengan sang istri.
"Ya, mereka baik-baik saja."
"Nada suaramu menegaskan kebohongan," celetuk Bima.
"Gimana aku bisa lupa kemampuan itu, menyesal aku datang kemari," kata Robbin pura-pura marah sebab Bima tahu kegelisahan hatinya. "Mereka sangat licik, Bima. Keluarga kaya itu menggunakan Ayah, Ibu, serta Monica untuk memerasku."
"Dan, kamu menyerah? tunduk begitu saja? Aku jelas tidak percaya. Mustahil!" Bima terlompat dari duduknya, mengingat Robbi pribadi yang nyaris tanpa kelemahan. "Apa ini alasanmu menerima paksaan gadis konglomerat itu?"
"Ya."
"Kamu mencintainya?"
Robbin menunduk dalam, berusaha menyembunyikan perasaan yang dimiliki. Dia tidak ingin ada yang tahu. Dirinya sediri menolak mengakui. "Tidak, sama sekali!"
"Bukankah ini lucu?"
"Apanya?" Mendengar itu Robbin mendongakkan kepala dengan cepat, sampai senyum terpancar di raut wajah pria paruh baya itu.
"Akui saja anak muda, dan kurasa gadis itu sangat gila sebab menaruh suka terhadapmu. Melihat dari kegigihannya untuk menyeretmu sampai ke atas altar. Ha-ha-ha, gadis yang cukup berani. Siapa nama gadis tidak waras itu?"
"Clay—Claymira. Dia terlalu muda dan terlalu obsesif menurutku. Semacam keingingan kuat yang bersifat sementara."
"Ya, kalau sikapmu manis kepadanya," sergah Bima.
"Manis?" Robbin membeo, lalu melanjutkan kalimat dalam hati, Kasar sangat tidak menyenangkan. Aku mencoba menjaga jarak, sedikit hardik dan bentakan ternyata tidak berguna. Clay justru semakin lengket saja. Apa dia memang tulus mencintaiku, setelah apa yang telah dia lakukan di belakangku? Hanes, Clay menikmati kedekatan itu.
"Sikap yang manis sampai semua wanita rela bertekuk lutut di kakimu? Dan, itu bukan lagi sifatmu setelah kegagalan pernikahanmu dengan Martha."
"Sebaliknya," sahut Robbin, mengaku kalah. "Aku benci mengungkitnya. Nama itu terdengar sumbang!"
Bima tahu sekarang, Robbin masih takut memulai sesuatu dari awal—ikatan pernikah seakan-akan jadi momok yang menakutkan. "Gadis itu bukan dia. Uen, Mira—Claymira, kan? Aku menduga dia sudah berkorban banyak hal?"
"Tidak terhitung."
"Cinta, itu yang dia harapkan darimu. Bodoh kalau kamu menyia-nyiakannya," tutur Bima.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Inru
Bener kata Robbin..
2022-10-17
0
Rini Antika
🤣🤣🤣🤣 ucapan Clay lucu..🤭
2022-10-10
0
Rini Antika
seseorang bisa berubah karena cinta..🤗
2022-10-10
0