"Buang semua barang-barang itu!" berang Robbin sambil membanting tas kertas ukuran besar berisi sepotong baju.
Namun, Clay mengambil tas itu lalu meletakan di atas tempat tidur dan mengeluarkan isinya. "Ini tidak murah, Kak Robbin, aku tidak mau."
"Jadi menurutmu itu lebih penting daripada perintahku?"
"Tidak ada yang lebih penting. Lagian sudah lama aku tidak berbelanja," bantah Clay.
"Oh, ya, aku hampir lupa kalau kamu gadis konglomerat yang tidak pernah hidup susah, tapi itu dulu. Sekarang, semua yang kamu kenakan haruslah dariku. Dengar itu!" Robbin berlalu setelah mengeluarkan amarah yang sejak tadi ditahan. Muak sekali menyaksikan kedekatan sang istri dengan pria lain.
Di lain pihak, Clay tersenyum-senyum menatap kepergian Robbin. Dia teringat kejadian pada masa lalu, sebuah kejadian konyol yang amat menyenangkan. Sulit dipercaya, tetapi itulah kenyataan terindah—untuk menikah dengan pria matang dan menantang itu.
Waktu itu dengan tekat luar biasa Clay terbang ke Thailand bertujuan menyusul Robbin. Bersama kedua temannya, Clay menyusuri pasar Pratunam. Dia kehilangan jejak buruannya di sana.
"Clay, sumpah ini hal tergila yang pernah kamu lakukan, dan—aku menyerah!" celetuk salah satu temannya.
"Sst, dia spesial. Baiknya kita berpencar," putus Clay, "Tenanglah aku tidak akan nyasar. Lacak aku melalui ponsel, GPS tidak kumatikan. Begitu ada kesempatan baik, lakukan dengan benar. Mengerti?"
"Okay, ada apa-apa kamu harus segera telepon."
Clay pun melakukan pencarian sendiri, dia berpikir Robbin ada di salah satu tempat hiburan malam di sana. Setelah mempertimbangkan banyak hal, Clay memasuki salah satu club' terkenal.
"Sawasdeekap!" Merupakan sapaan yang memiliki arti halo. Orang yang berdiri di ambang pintu itu seperti satpam, tetapi pakaiannya lebih santai tanpa seragam.
Clay mengulas senyum, suasana di dalam begitu sesak dan temaram. Pendar lampu menyorot tajam serta bergerak-gerak cepat. Musik hip-hop mengentak kuat, sehingga dada terasa dipukul keras.
Terkadang Clay harus memicingkan mata agar dapat mengenali wajah Robbin dengan seksama. Dia berjalan zig-zag guna memecah kerumunan. Beberapa menatapnya lapar, seperti ingin menelan bulat-bulat karena pengaruh alkohol yang mahadahsyat.
"Nah, itu dia!" Bergegas diayunkan kaki mendekati meja yang berada di sudut ruangan. Seorang pria duduk sendiri sambil menikmati sebatang rokok. Mata orang itu tertuju ke satu arah tanpa niat beralih ke tempat lain, hingga. "Robbin!"
Meski suara Clay terdengar samar-samar, orang di tempat lain itu menengok kanan-kiri, sedangkan pria bernama Robbin itu berusaha menyembunyikan diri dengan merosot di balik sandaran sofa.
"Ya, Tuhan, betapa sial nasibku!" gerutunya sambil mengusap wajah kasar lantas menatap nyalang gadis cantik yang sedang berjalan melenggak-lenggok menyerobot kerumunan.
"Kenapa kamu di sini?" Geramnya begitu Clay duduk tanpa dosa.
"A-a-aku, sedang—" Clay mengusap singkat alisnya dengan telunjuk seraya menjawab pertanyaan, "Mencarimu, apalagi?"
"Untuk apa? Aku sudah tidak memiliki kewajiban menjagamu, Nona!" sungut Robbin sembari mematikan bara api di ujung rokoknya.
"Memang, tetapi kamu telah mencuri sesuatu dariku," tuduh Clay tanpa berpikir lalu mengambil segelas sampanye yang tinggal seteguk. Karena tidak terbiasa, dia menjulurkan lidah—terasa getir di sana. "Kembalikan hatiku atau hatimu berikan kepadaku sebagai ganti," imbuhnya sembari menyipitkan mata.
Robbin mengacak-acak rambut sendiri lalu menuang sedikit sampanye ke dalam gelas berkaki tinggi. Kepalanya berdenyut-denyut letih sebab kehilangan sang target. "Berhenti mengacaukan hidupku, Nona!"
"Tidak sebelum aku mendapatkan apa yang kumau."
Robbin menyesap sampanye-nya seraya mendongak. Ini merupakan satu hal yang sangat dia hindari, bertemu dengan Clay adalah suatu bencana. Sudah cukup baginya berhubungan dengan sosok berpenampilan malaikat, tetapi hati sekelas iblis laknat.
Apa yang bisa Robbin lakukan untuk mengusir Clay saat ini? Dia meletakkan gelas kosong dan melihat jam di pergelangan tangan. Robbin duduk tegak sambil memikirkan cara untuk melepaskan diri dari gadis di sebelahnya.
"Hentikan!" perintahnya begitu Clay menuang minuman beralkohol itu lagi.
Namun, Clay sama sekali tidak peduli. Tanpa ragu meminum setengah gelas dalam sekali teguk hingga pening menyergap tiba-tiba. Tubuhnya bergidik sekilas lalu berserdawa. "Luar biasa, ini sungguh luar biasa," gumamnya kemudian menuang lagi dan memaksa Robbin menghabiskan dalam tegukan besar.
"Mabuk bisa merusak akal sehat, Clay!" Robbin tidak menolak.
"Ha-ha-ha, bagus, bagus sekali, bukan? Kita bisa bersenang-senang." Clay semakin mendekat dan melekatkan bibirnya begitu cepat, sehingga Robbin tidak sempat mengelak. Sensasi ciuman panas membuat darah mendidih, menyadari betapa ingin menarik pinggang ramping itu dan mendesakan tubuh kepadanya.
Sebelum pertahanan goyah, Robbin menarik diri hingga Clay menyandarkan kepala di pundak. "Ini tidak akan mudah," desisnya, karena jarak di antar mereka begitu dekat sampai embusan napas gadis itu menerpa leher. Sembari menghubungi seseorang, dia menyandarkannya ke sofa. "Halo, Ber, target keluar dari club beberapa saat lalu. Aku ada urusan." Ponsel dimatikan dan dimasukkan ke saku jaketnya.
"Jangan pergi, Robbin, kumohon," rancau Clay seraya menggeliat.
"Mari kita bermain-main dengan cantik malam ini, Nona Clay," bisik Robbin, bersiap untuk membopong tubuh gadis itu. Kebetulan Club ini menyediakan kamar bagi tamu yang ingin menginap.
Keramaian club sedikit menahan langkah cepat Robbin menuju ke kamar yang telah dipesan.
"Uh, ini sesuai dengan postur tubuhnya. Lenganku nyaris patah kalau saja lebih lama lagi mengangkatnya," gerutu Robbin setelah membaringkan tubuh terkulai Clay ke tempat tidur.
"Kalau saja!" geram Robbin mengingat kegagalan yang disebabkan oleh Clay tadi.
Sebagian diri Robbin berkeras untuk mencekiknya sementara bagian lain ingin menyentuh ujung rambut yang menutup sebagian wajah Clay. Perlahan disisihkan surai lembut itu ke belakang telinga. Dia berusaha sebaik mungkin untuk tidak melakukan lebih dari ini. Sungguh sulit mengenyahkan pikiran liar setelah sentuhan bibir sesaat lalu.
Clay beringsut sambil memegang perut, rintihnya terdengar bersamaan seluruh isi perut yang dimuntahkan.
"Oh, sial!" umpat Robbin, meski enggan dia tetap membersihkan kekacauan yang dibuat Clay.
"Robbin," rancau Clay. "Jangan coba-coba lari dari—" Dia mengerjap-ngerjapkan mata berusaha meraih sesuatu, tetapi terlalu lemah untuk menjangkau lengan Robbin.
Pagi harinya, Clay mendapati diri terbungkus selimut dengan kepala yang sedikit pusing. Berusaha bangun dari tidur dan menurunkan kaki dari kasur.
"Aku di mana?" monolog Clay parau, sambil memijit ringan pelipis kanan. Mata redupnya memindai sekitar untuk mencari-cari keberadaan Robbin, lamun hasilnya nihil.
Rasa mual kembali menyerang, Clay bergegas ke kamar mandi. Wajah pucatnya memerah saat mengeluarkan sisa makanan dalam perut. Sesudahnya bersandar ke dinding untuk menjaga keseimbangan. Dia sadar betul bahwa alkohol bisa mengambil alih kesadarannya, tindakkan semalam memang terbilang tekad tanpa perhitungan.
Agar pikiran lebih segar, Clay membasuh muka dan membasahi pucuk kepala. Namun, ketika menatap cermin dia menemukan kejanggalan. Baju yang dikenakan semalam berubah menjadi kemeja yang panjangnya di atas lutut.
Kepanikan segera menerjang, secepat kilat Clay mencari tas jinjingnya dan menemukan tergeletak di atas meja.
"Aku harus—" gumam Clay tidak berlanjut mendapati bukus alat pencegah kehamilan terjatuh di kakinya. Tiba-tiba seluruh indra dalam diri meremang. Dengan teliti, dia memeriksa kondisi tubuh, kemudian membaca catatan yang diyakininya tulisan tangan Robbin.
"Terima kasih atas kenikmatan semalam. Jangan khawatirkan kehamilan, sebab aku sudah pakai pengaman."
Mata bulat Clay berkilat-kilat setelah membaca pesan dari Robbin. "Akan ada waktu yang tepat untuk membuatmu bertekuk lutut di bawah kakiku!"
Gadis konglomerat itu pun membereskan barang-barangnya lantas menghubungi seorang teman. Dia harus bergerak cepat sebelum Robbin benar-benar pergi.
Kalau diingat-ingat sekarang, drama alat pencegah kehamilan itu patut diapresiasi. Biar bagaimanapun Clay sangat takut dan malu setengah mati. Sampai kini, belum berani tanya kepada Robbin siapa yang telah mengganti pakaiannya.
"Trik paling gila," gumam Clay usai mengenang tempat yang menjadi saksi bisu cinta keduanya bersatu—mungkin hanya Clay yang merasakan itu. Betapa dia sangat menginginkan Robbin, hingga membuat skandal besar yang berimbas pada reputasi keluarga. "Sisi baiknya, aku dan dia kini telah resmi menjadi suami-istri."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
pєkαᴰᴼᴺᴳ
gagal dong robin
2022-12-01
0
👑Ria_rr🍁
perlu belajar aku sama Othor satu Iki, untuk bikin part cembekuran🤭
2022-11-05
0
👑Ria_rr🍁
uhui makin brutal cembekurnya 🤭
2022-11-05
1