Paksaan Terindah Gadis Konglomerat
"Pak Albert tentu saja sangat mengenal kehidupan saya seperti apa, bukan? Sejujurnya tidak ada hal istimewa yang bisa saya berikan untuk menjamin kebahagiaan putri Anda—Claymira," tegas Robbin tidak mau berbasa-basi, dia sudah muak menjelaskan secara halus, menilik kegigihan gadis muda di depannya.
Bukan keraguan yang tampak di wajah pria berusia separuh baya itu, Albert jelas mengangkat dagu tinggi-tinggi sebab tidak memerlukan harta benda apa pun dari Robbin. Sebagai pemilik perusahaan elektronik terbesar di Indonesia jelas mampu mencukupi kebutuhan anak semata wayangnya.
Robbin mengembuskan napas sebelum kembali berbicara, "Saya jelaskan sekali lagi, kalau Clay masih bersikukuh—" jedanya beberapa detik sambil melihat paras tanpa cela gadis itu lekat-lekat, dia sendiri tidak menampik betapa sempurna Clay sebagai perempuan. "Setelah menikah, tidak ada kemewahan yang sanggup saya berikan dan itu berarti—juga menolak semua bantuan dari Anda!" tegas Robbin.
Mata Albert seketika melebar, terkejut atas apa yang barusan dia dengar. Bagaimana mungkin dirinya membiarkan hidup Clay menderita? Ragu-ragu diraih tangan halus dan ramping sang putri.
"Clay—"
"Dad, aku mohon," potong Clay, sorot mata redupnya menyiratkan keinginan yang begitu besar. Sejak mengenal Robbin, dia telah memupuk benih-benih cinta di hati. Tekatnya sudah bulat ingin terus bersama dengan sosok rupawan yang membayangi siang dan malam.
Albert menghela napas dalam lalu memandang pemuda di hadapannya penuh percaya diri. "Apa boleh buat, tapi ingat, setetes saja air keluar dari mata Clay, maka keluargamu binasa!"
Otot-otot Robbin seketika menegang, memang sulit sekali mematahkan kuasa seseorang yang memiliki pengaruh besar. Akan tetapi, bukan saatnya menunjukkan kelemahan, dia harus menegakkan badan.
"Anda pikir saya pe—"
"Peduli! Jelas kamu peduli, Robbin. Kalau tidak mengapa repot-repot ke sini untuk bernegosiasi?" sambar Albert.
Pria paruh baya itu sudah mengetahui semua informasi tentang Robbin, mudah mendapatkan rincian latar belakang pemuda tangguh di depannya. Dia percaya Clay akan aman meski jauh dari keluarga kelak setelah menikah.
"Ronald! Ronald siapkan segala keper—"
"Tidak ada pesta!" sergah Robbin cepat.
Jemari besar Albert mengepal kuat hingga buku-buku jari memutih, sungguh ini di luar rencananya. Harus ada pesta besar-besaran untuk momen penting yang akan dirasakan putrinya sekali seumur hidup.
"Well, sudah diputuskan, Dad. Aku dan Robbin akan menikah di Kapel Santa Maria," celetuk Clay, girang. Baginya tidak penting lagi suatu pesta, dia hanya menginginkan pemuda berkepribadian tegas, meneduhkan itu.
"Apa pun untuk kebahagiaanmu, Sayang," sahut Albert lantas mengusap pucuk kepala sang putri dengan lembut. Seolah-olah Clay guci antik yang rapuh dan mudah pecah.
"Oh, Dad, terima kasih." Clay memeluk erat pinggang Albert begitu kencang lalu menoleh ke arah Robbin sepintas. Wajahnya makin berseri-seri ketika dilanda kebahagiaan.
Karena prosesi pernikahan terbilang mendadak tidak ada pembekalan pranikah. Bahkan bidston yang biasanya dilakukan sehari sebelum pemberkatan pun ditiadakan. Kendati kegiatan ini merupakan ungkapan rasa syukur dan pengharapan agar acara berikutnya berjalan lancar. Dan, memang secara umum bidston sama seperti lantunan doa dan pujian-pujian.
Clay berhasil meyakinkan orangtuanya, bahwa yang paling penting adalah pemberkatan dari sang pendeta.
Meskipun tanpa pesta meriah, Belle—ibu Clay mengundang penata rias kondang untuk mendandani sang putri. Namun, tidak memanggil desainer karena memimpikan gadis cantiknya memakai gaun pernikahannya dulu. Biar bagaimana pun akan terasa lebih sakral dan mengenang.
Clay mematut-matut penampilannya di depan cermin raksasa, dia amat puas dengan hasil sang tata rias. Gaun putih bermanik ibunya begitu pas di badan. Rambut lurus sepinggangnya sengaja dibentuk gelombang-gelombang besar, lantas diberi hiasan mutiara-mutiara kecil. Selain itu, kerudung putih tersemat di pucuk kepala lengkap dengan mahkota mungil.
"Oh, Mom, aku sungguh bahagia," ungkap Clay sembari tersenyum begitu anggun.
"Kuharap untuk selamanya."
"Apa yang Mommy katakan? Tentu saja. Aku teramat mencintainya, gimana aku tidak bahagia?"
"Oh, Sayang, kamu masih terlalu muda dan usia kalian terpaut jauh. Tidak semestinya terburu-buru! Hanes lebih muda dan kalian sungguh cocok. Umur kalian hampir sepantaran."
"Ayolah, Mom! Kami hanya berteman, tidak mungkin lebih dari itu. Robbin bisa menjagaku, Mom. Dia juga menaruh perasaan terhadapku, hanya saja terlalu takut mengakuinya," papar Clay penuh keyakinan.
Belle memeluk erat anak semata wayangnya. Dia hanya bisa mendoakan saja. Percaya atas segala hal yang telah digariskan, Tuhan tidak akan menyengsarakan umatnya.
"Semua sudah siap, Bu," panggil salah satu pengurus acara.
Kedua wanita memesona itu menyudahi pelukan lantas keluar dari kamar.
Gaun putih yang membalut tubuh mempelai menjuntai sampai menyapu lantai andai tidak diangkat sang penata rias. Dengan langkah gemulai Clay menyusuri koridor rumah megahnya.
Jarak rumah utama dengan Kapel Santa Maria agak jauh walaupun masih berada dalam satu pagar.
Belle membimbing Clay ketika naik ke atas kendaraan listrik beroda empat sejenis mobil golf dengan kapasitas tiga orang—satu pengemudi dan dua penumpang.
"Mom, aku sangat gugup," aku Clay sembari menggenggam erat-erat jemari ibunda.
"Mom dulu juga begitu, lalu mulai berhitung."
Clay pun menutup mata perlahan, dia berusaha menghitung detak jantung yang bertalu-talu. Dia baru membuka mata setelah merasakan tepukan lembut di pundak yang tidak tertutup.
Cuaca siang itu begitu cerah, langit biru membentang bagai samudra berhiaskan buih-buih seputih kapas. Tetumbuhan di sekitar kapel bergoyang-goyang disapa angin. Kuncup bunga merekah bak musim semi.
"Sayang," tegur Albert.
Clay mengulas senyum simpul seraya menerima uluran tangan sang ayah. Perasaan gugup seketika terbang jauh, berganti desir lembut sayap kupu-kupu yang menggelitiki hati. Hampir-hampir air mata menetes karena didera bahagia.
Dengan didampingi orang tuanya, Clay melangkah ke arah mimbar dan di mana sudah ada Robbin. Dia merasakan detak jantung berdegup hebat saat mendapat tatapan tajam calon suaminya. Beruntung keduabelas tulang rusuk ciptaan Tuhan. Seumpama buatan manusia pastilah tidak sanggup menahan gejolak di dalam dada.
Kedua mempelai kini sudah berdiri di area mimbar. Wajah masam Robbin berbanding terbalik dengan seraut paras memukau Clay. Kentara sekali kalau pemuda itu tidak senang, sedangkan sang gadis mengumbar senyum kemenangan.
Tempat duduk paling depan yang semestinya diisi sanak keluarga tampak lenggang. Pada barisan setelahnya hanya ada beberapa penjaga dan pengurus rumah.
Pujian dilantunkan bersama-sama sebagai awalan prosesi pernikahan, sebelum pemberitaan firman Tuhan. Lalu, upacara peneguhan nikah yang dipimpin langsung oleh pendeta.
Berikutnya kedua mempelai akan mengucapkan janji pernikahan, dipandu langsung oleh pendeta dan harus diucapkan secara jelas dan lantang. Di mana menyatakan kesanggupan untuk mempertanggungjawabkan hubungan suami dan istri seumur hidup.
"Saudara Robbin son Robet bisa menyematkan cincin di jari manis Saudari Claymira Marcusya," titah Pendeta.
"Sayang sekali, saya tidak membawa cincin pernikahan," kata Robbin dengan memasang wajah tanpa dosa.
"Aku membawa cincinnya!"
Suara seseorang dari kejauhan memecah hening, semua yang ada di sana menoleh serempak.
Siku-siku rahang Robbin mengeras, bahkan jari-jemari kokohnya mengepal sampai otot-ototnya terlihat tegas. Dia jelas tidak mengharapkan kehadiran orang itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
𝓓𝓮𝓪
ciee uhuk uhuk
2023-01-16
0
Zey ✨️
Yakin sekali anda Clay, dan apa yg membuatmu berpikir bahwa Robbin mencintaimu?
2023-01-15
2
A girl 👸
Segitunya Clay,padahal masih banyk di luar sana yg lebih baik dari Robbin loh
2023-01-14
1