Seluruh saraf-saraf Robbin menegang saat dengan sengaja atau tanpa sengaja bersentuhan dengan Clay yang kini resmi menjadi istrinya. Dia merutuk sepanjang koridor rumah megah pengusaha elekronik terbesar sejakarta—secara garis besar kekayaannya tidak bisa ditakar—bisa dikatakan sejagat raya.
"Kapan mimpi buruk ini berakhir?" gerutu Robbin, sambil mengenang pertemuan pertamanya dengan Clay.
Semua terjadi sekitar satu tahun yang lalu, Robbin diminta Rocky untuk mengawal seorang gadis di Aussie. Pada tiga bulan pertama menjalankan tugas, dia diserang rasa jenuh, tidak banyak yang dapat dilakukan. Paling hanya menolong saat gadis itu hampir terjatuh ke jalan, karena sedang asyik bergurau dengan beberapa temannya.
"Terima kasih." Begitu kata Clay kala itu dan Robbin berlalu.
Sampai suatu kejadian benar-benar mengancam keselamatan kalau saja Robbin tidak bertindak cepat. Entah apa yang dilakukan gadis itu, sehingga memancing amarah seekor kanguru. Robbin menduga, mamalia itu kaget mendengar teriakannya.
"Oh, God, Help me!" Clay berlari zig-zag serta menjerit-jerit ketakutan, salah satu temannya terlihat berlari untuk memanggil petugas tempat wisata.
"Diamlah!" teriak Robbin seraya menambah laju larinya untuk melindungi gadis itu, dia tidak mau dipecat gara-gara hal remeh seperti ini.
Robbin akhirnya bisa menggapai tubuh kecil Clay. Dengan jantung bergedup kencang keduanya berguling ke tanah. "Demi Tuhan, kumohon diamlah, Nona!" bentaknya, sebab gadis yang ada di dekapannya masih meraung-raung histeris. Dia tahu dengan berpura-pura mati hewan itu akan berhenti menyerang.
Namun, Clay belum ingin berhenti menjerit-jerit, terlebih kini tubuh rampingnya gemetaran. Sampai gadis itu merasakan lengan berotot seorang pria memeluk kuat-kuat, menjadi perisai untuknya. Dia lebih tenang sebab merasa terlindungi, lalu menarik napas dalam-dalam.
Dekapan Robbin memengaruhi kinerja tubuh Clay, jantungnya semakin berpacu cepat. Aroma maskulin yang tercium begitu memabukkan sampai tanpa sadar menutup mata. Ketakutannya berangsur sirna.
Namun, kanguru pemarah itu tidak bisa berhenti karena berlari terlalu kencang, Robbin merasakan kuku-kuku tajam mencabik lengan kanan. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski perih menyengatnya. Binatang itu pun pergi begitu tidak mendapatkan perlawanan. Bersamaan seorang pertugas datang untuk memberibantuan.
Jari tangan Robbin berlumuran darah saat terulur untuk membantu Clay berdiri. "Apa kamu tidak apa-apa?"
"Aku—kulihat kamu yang tidak baik-baik saja," jawab Clay, raut wajahnya tampak kacau, basah oleh keringat dan debu akibat berguling-guling di tanah tadi. "Permisi, Pak, di mana bisa kami dapatkan perawatan?" tanya Clay kepada petugas yang baru tiba, karena melihat darah segar mengalir di lengan Robbin.
"Mari ikut kami. Oh, Nona, kami sungguh meminta maaf atas kejadian ini. Pihak wisata akan memberikan kompensasi," jawab sang petugas penuh rasa bersalah.
Ketiganya menuju bangunan yang tidak terlalu jauh dari pintu keluar tempat wisata. Bangunan itu tampak bersih dan terawat, ada seorang petugas wanita berambut pirang di sana.
Begitu sampai di klinik, suasana agak muram lalu petugas itu menyalakan lampu. "Kami menyesali ini, Tuan," kata perawat wanita, memasang wajah sedih.
"Keadaanku tidak terlalu berbahaya, tetapi itu hampir melukainya!" jawab Robbin seraya menoleh sekilas ke Clay, lalu melanjutkan ucapan, "Tidak usah terlalu cemas, Miss, ini tidak terlalu parah, kok."
"Apa Anda sudah mendapat suntikan anti tetanus?"
"Ya, sekitar tujuh bulan yang lalu," sahut Robbin.
Clay hanya menatap kedua orang itu tanpa melakukan apa pun sampai petugas yang mengantar tadi masuk dan menawarinya minum. Terlepas dari itu semua, dia seperti mengingat sesuatu. Pertemuan dengan penyelamatnya ini sudah terjadi beberapa kali, mungkin empat atau—lebih dari itu. "Ah, bukannya ini sungguh luar biasa?" pekik Clay tiba-tiba, hingga tiga pasang mata menoleh secara bersama-sama.
Setelahnya, Clay berbicara panjang lebar dan mengatakan semua kebetulan-kebetulan yang terjadi selama ini. Dia menyadari betul bahwa Robbin selalu ada di kala dirinya dalam bahaya. Dan, sekeras apa pun Robbin menyangkal, Clay tidak percaya itu.
Kejadian nahas membongkar identitas Robbin yang sebenarnya, Clay telah mendapatkan cara untuk memojokkannya sampai membuka mulut. Dari situ juga, gadis konglomerat itu mencari-cari kesempatan untuk bisa berdekatan dengan Robbin.
Namun, sayang hati Robbin sekeras batu. Dia kerapkali menjaga jarak aman. Yah, walaupun tetap saja harus muncul di saat-saat yang dibutuhkan seperti sekarang.
Dua bulan berikutnya, Clay memutuskan pulang ke Jakarta karena telah lulus kuliah. Dia mendarat setelah terbang selama kurang lebih 6 jam 35 menit. Gadis itu terlihat menunggu di depan bagasi untuk mengambil kopernya. Kemudian, melakukan panggilan telepon entah dengan siapa. Robbin hanya mengawasinya dari kejauhan.
Alis tebal Robbin mengerut serta mata tajamnya memicing begitu insting menangkap sinya-sinyal mencurigakan, dia melihat dua orang mengikuti langkah si gadis yang senantiasa dijaganya selama ini.
Sebagai agen rahasia yang terlatih, Robbin memantau pergerakan kedua orang itu tanpa dicurigai. Orang-orang itu menggiring Clay keluar dari area bandara hingga ke tempat sepi. Mata tajamnya melihat kilau belati di balik punggung gadis konglomerat itu.
"Sial! gimana bisa aku kecolongan," umpat Robbin lirih, dia tidak mau orang-orang menyadari peristiwa yang sedang terjadi, karena hal itu akan membahayakan kliennya.
Siang itu terik matahari begitu menyentak kulit, terlebih lagi padatnya Jakarta membuat udara makin panas saja. Angin pun tidak mampu menyejukkan suasana.
Hilir-mudik orang-orang yang keluar-masuk bandara sesekali merusak konsentrasi Robbin. Dia hampir kehilangan jejak Clay.
Ketika melihat gadis itu pasrah di dekat sebuah mobil hitam, Robbin bergegas mendekat setelah menyembunyikan wajah di balik topi dan masker. "Permisi, Pak?" tegurnya.
Salah satu dari mereka terkejut, wajahnya tampak kecut lantas menjawab teguran Robbin dengan mengetatkan rahang. "Ya, Mas, ada apa?"
"Begini, Pak, saya mau—" Sengaja Robbin mengulur-ulur waktu, menunggu suasana tempat parkir agak sepi. "Emm, saya bingung mencari alamat ini," tanyanya saat menunjukkan ponsel.
Orang bertubuh tidak terlalu tinggi itu menyiratkan keraguan, dia sepertinya enggan atau menyadari kejanggalan.
Robbin bergeser ke sisi kiri, mengurangi jarak lebih banyak supaya mudah dalam taktik melumpuhkan. Dia berdeham beberapa kali saat mengamati perubahan wajah kedua orang itu, juga gadis yang masih berdiri kaku di samping pintu.
Wajah Clay yang biasanya bersemu merah kini tampak pucat pasi, bulir keringat bergulir dari dahi melewati pelipis. Sulur-sulur anak rambut yang keluar dari jepitan melekat di pipi.
"Saya—" Sekilas Bahu Clay berjingkat begitu membuka suara.
Perkataan Clay segera dipotong oleh salah satunya. "Oh, kamu bisa ambil jalan—"
Belum rampung ucapan, Robbin telah melayangkan tendangan hingga mengejutkan keduanya. Pisau yang sedari tadi berada dalam genggaman terlepas.
"Kurang ajar!" sergah salah satunya sambil menyerang.
Sepinya lokasi memudahkan Robbin saat beraksi, Clay yang ketakutan berlari untuk mencari pertolongan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
N. M. Aksan
Ternyata Robin bukan laki-laki biasa. Dia agen mata-mata cabang Jawa Timur.
2022-10-24
1
🍾⃝ͩкυᷞzͧєᷠуᷧ уιℓ∂ιzι🥑⃟𐋂⃟ʦ林
Aku mampir Thor, like dulu ya
2022-10-06
1
👑Ria_rr🍁
bucin terus sampai kau yungsep Clay 😂😂🤭
2022-10-03
0