Sejak penerbangan hari itu Robbin tidak bisa tenang dekat-dekat Clay, sistem sarafnya acap kali terganggu mengingat sentuhan lembut bibir yang seolah-olah mengandung sampanye itu.
Selama seminggu berada di London, Robbin menyibukkan diri di luar rumah. Selain untuk menghindar dari Clay, dia harus mencermati lokasi tempat pertemuan target yang dimaksud Rocky. Dia berharap semua berjalan dengan cepat.
Clay cukup pengertian karena tidak menuntut banyak hal. Menurutnya suatu kebetulan yang luar biasa, sebab selama ditinggal bekerja bisa menghabiskan waktu di taman.
Berada di London pada bulan September, cuaca sedikit lebih dingin dan dedaunan mulai jatuh karena memasuki musim gugur. Suhu yang sejuk menjadikan hari-hari Clay tidak terlalu buruk tanpa keberadaan Robbin di dekatnya. Tersebab ini waktu ideal untuk menjelajahi area sekitar dan mengagumi pepohonan ketika dedaunan berubah warna menjadi merah, oranye, dan kuning.
"Hai!" sapa seseorang yang terdengar amat familier.
Tanpa ragu-ragu, Clay memutar badan menghadap si pemanggil. Seutas senyum menghiasi wajah ayunya. Dia mendapati sang sahabat baik berdiri di sana. Refleks menghambur ke dalam pelukan pria jangkung itu.
"Hanes! Dasar penguntit!" sergahnya berhias tawa pelan. "Jangan mengada-ada tentang pekerjaan di sini."
"Aku memang tidak sedang bekerja, dan tepatnya menghabiskan waktu luang untuk jalan-jalan," terang Hanes.
"Hebat, hebat sekali. Ini baru dirimu."
"Kamu sendirian?" tanyanya.
Clay menoleh sekitar sebelum menjawab, "Apa ada yang kamu kenal di sini selain aku?"
"Harusnya ada Robbin."
"Setibanya di sini dia selalu sibuk." Seraut wajah muram tergambar jelas, Clay mengembuskan napas berat lalu menoleh dengan senyum dan sorot mata tanpa beban. "Sudah agak sore, apa kamu mau mampir ke rumahku? Kalau tidak keberatan kita akan naik transportasi umum."
"Aku bawa mobil." Hanes menunjuk mobil biru tua yang terparkir tidak jauh dari sana.
Dunia terasa begitu sempit pikir Clay, bagaimana bisa dirinya membantah setelah bertemu dengan Hanes sore ini.
Dari taman Hyde ke tempat tinggal Clay tidak terlalu jauh. Rumah bercat putih berhias lampu teras itu sama persis dengan bangunan lain di sebelahnya.
"Sekecil ini?" Pertanyaan Hanes mengandung semacam meremehkan.
Clay mengamati bangunan di sampingnya sekilas. Memang tidak terlalu besar, tetapi cukup unik dan terkesan klasik. Terdapat empat undakan kecil menuju pintu utama, di sisi kanan terdapat jendela lumayan besar. Secara keseluruhan tampak begitu tenang dan asri karena beberapa tanaman menghiasi bagian bawah jendela.
"Ini sungguh indah menurutku, Han. Ikutlah ke dalam, tapi aku hanya punya biskuit dan teh panas."
"Seharusnya kita beli dulu tadi." Sesal Hanes.
"Kita akan pesan—" Perkataan Clay tertahan begitu pintu rumah terbuka dan menampilkan sosok yang sampai kini dipuja-puja. Robbin terlihat bugar dan segar memakai kaos tanpa lengan. Tubuh jangkungnya tampak proporsional.
Dari kejauhan, Robbin menatap keduanya dengan mata menyipit. Mencoba memastikan mobil siapa yang sedang berada di depan rumahnya.
"Aku tidak ingin membuatnya mati penasaran, Han," kata Clay, "sebaiknya kita turun sekarang." Jemari lentiknya menekan tuas untuk membuka pintu, perlahan kaki jenjangnya menapak ke jalan.
"Kak Robbin sudah pulang?" tanyanya begitu badan sudah ke luar sepenuhnya.
"Kedengarannya kamu tidak senang," sahut Robbin sinis, kemudian berbalik badan.
"Pemikiran yang salah, Kak Robbin, kamu tau itu salah besar," tegas Clay sebelum menyadari Hanes jauh tertinggal di belakang. "Han, ayo!"
Hanes pun mengikuti, tatapan matanya memindai setiap sudut ruang tamu yang tidak terlalu besar, tetapi sangat tertata rapi.
"Buat dirimu senyaman mungkin, Han." Clay berujar sebelum menuju ke dapur.
Aroma sedap menguar saat Robbin mengeluarkan makanan dari mesin pemanas.
"Wah, kebetulan sekali, aku bisa mengajak Hanes makan bersama." Mata Clay berbinar ceria.
Senyum miring tersungging di bibir Robbin. "Gagasan paling buruk."
Sisi posesif dalam diri Robbin menyeruak, ada perasaan tidak suka kalau pria lain berada di dekat Clay. Keinginan terbesar saat ini adalah mengusir anak dari bosnya.
"Kak Robbin," panggil Clay agak keras.
Ketika jemari lembut mengusap lengan, Robbin merasakan sensasi-sensasi luar biasa menjalari kulit. Mendesak diri agar meraih tubuh ramping Clay ke dalam pelukan yang memabukkan.
Akan tetapi, begitu sadar Robbin justru menjauh cepat, menghindari tatapan lembut Clay menuju lemari untuk mengambil piring dan garpu.
"Ada masalah?" tanya Hanes yang tiba-tiba berdiri lumayan dekat Clay.
"Ya, bantu aku membawa nampan ini," pinta Clay lalu mengangkat benda lebar berisi tiga teh kepada Hanes, tetapi karena kurang fokus baki itu terlepas.
"Oh, sial. Ini panas sekali," pekik Clay, matanya terlihat berkaca-kaca.
Hanes yang berada lebih dekat mengusap lembut kulit kaki Clay yang merah, sedangkan Robbin menatap tajam karena tidak bisa apa-apa. Terlalu gengsi untuk mencurahkan perhatian kepada Clay.
Sambil menggeram Robbin bergumam, "Terkutuklah tangan itu!" Dia berlalu dari sana tanpa menoleh dan menuju ke kamar. Debuman keras terdengar begitu pintu di tutup keras.
Selama Hanes di sana, Robbin mengurung diri di kamar. Bahkan tidak keluar saat anak dari bosnya itu berpamitan. Dan, anehnya membuat hati Clay berbunga-bunga karena senang.
Dengan lembut Clay mengetuk pintu, karena tidak ada sahutan dia masuk begitu saja. Robbin terlihat duduk tenang di atas tempat tidur sambil mengerjakan sesuatu di laptop.
"Aku tau ada yang cemburu," bisik Clay sambil melingkarkan lengan di pinggan Robbin.
Sentuhan tiba-tiba Clay membuat jantung Robbin berpacu lebih cepat, hasrat tertahannya berharap lebih dari sentuhan sederhana.
"Mengapa tidak berinisiatif menolongku tadi?" desak Clay, hingga Robbin menutup layar laptopnya.
"Bukannya kamu sudah punya pria sempurna untuk membantumu, dan pastinya itu bukan aku." Robbin berusaha keras agar suaranya tetap tenang, dan ternyata gagal.
Clay berayun ke atas pangkuan Robbin tanpa canggung, dia menggelayut manja dengan menyampirkan lengan di atas pundak datar dan kokoh pria itu.
Hentikan ini atau aku akan memakanmu sekarang juga! kata Robbin, tentu saja di dalam hati. "Menyingkirlah penggoda!"
Lengan Robbin berada di punggung Clay, sedangkan satunya berada di balik lutut. Memindahkan tubuh ramping dan ringan itu ke atas kasur kemudian menegakkan badannya sambil berkacak pinggang.
"Oh, kemarilah, sentuh aku," ucap Clay diiringi tawa girang, dia suka sikap sok jual mahal sang suami. Sebuah tantangan yang tidak mudah ditaklukkan.
"Tidak akan!"
"Mode martirmu, Kak Robbin, sampai kapan itu bertahan?" tanya Clay beranjak untuk meraih ujung baju Robbin. "Aku tidak akan menyesatkanmu!"
Tubuh tinggi dan kekar Robbin umumnya tidak akan tumbang dalam sekali tarikan gadis sekecil Clay. Namun, apa yang terjadi ini sungguh di luar kendali. Dia terjatuh pasrah di atas tubuh indah sang istri. Binar mata secerah matahari itu menariknya dalam pusaran penuh damba, ingin menyapukan bibir pada kelopaknya. Sampai ....
Clay bereaksi lebih dulu, meraih tengkuk Robbin dan menekan bibir mungilnya tanpa aba-aba. Memberi sedikit impresi menggemparkan hingga dunia berhenti berputar. Dengan mata terbuka keduanya tenggelam ke dasar intimasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
N. M. Aksan
Tidak! kesucian Robbin ternoda.
2022-12-23
0
pєkαᴰᴼᴺᴳ
clay agresif 😳😳
2022-11-25
2
𓂸ᶦᶰᵈ᭄🇪🇱❃ꨄ𝓪𝓢𝓲𝓪𝓱࿐
salah sendiri sok jual mahal kau robin
2022-11-08
1