Robbin tertegun selama lima belas menit di dekat jendela lantai dua, hingga gemuruh langkah di koridor membuyarkan lamunannya sesaat lalu tentang masa lampau.
Tiga orang pengurus rumah terlihat mengambil langkah panjang menuju ke kamar Clay. Laksana petugas upacara, mereka bergerak seirama. Berduyung-duyung ingin segera melaksanakan tugasnya. Robbin tahu benar kalau sang istri diperlakukan selayak putri kerajaan. Sampai untuk berganti baju pun dipersiapkan, bahkan dibantu untuk mengenakan.
"Permisi," sapa mereka dan dibalas Robbin dengan anggukan sekadarnya.
Sekarang sorot tajam matanya mengawasi ketiga pengurus rumah sampai berjajar rapi di depan pintu kamar, Robbin tidak habis pikir bagaimana bisa seseorang diperlakukan seperti bayi padalah sudah sebesar itu. Dia ingat betul saat di Aussie Clay bisa mengurus diri sendiri, atau bisa jadi ini sisi lain gadis konglomerat itu yang tidak dirinya ketahui.
Salah satu dari mereka mengetuk pintu secara berkala, beriktikad baik dengan menunggu sahutan dari dalam kamar.
"Pergilah! Dengar ini, aku bukan anak kecil lagi!" teriak Clay.
"Tapi, Nyonya meminta kami untuk—"
"Ya ampun, gimana aku lupa kalau Mommy pun masih membutuhkan kalian setelah menikah. Masuklah!" putus Clay, pintu besar berdaun pintu ganda itu pun terbuka. "Dengar! Aku memerlukan kalian karena melepas gaun ini begitu susah. Dan, lihat suamiku hanya berdiam di sana tanpa berniat menawarkan bantuan jadi—" Perkataannya tertahan sebab di tatap nyalang oleh Robbin dari ke jauhan. Dia tahu pasti sang suami marah disindir seperti itu, tetapi kalau diperhatikan lagi hanya daun telinganya yang tampak merah. Malu, Clay beranggapan Robbin malu-malu kucing.
"Ah, sudahlah, ayo!"
Mereka pun menurut lantas masuk ke kamar, menutup pintu rapat-rapat sampai berdebam.
"Suka atau tidak, kelak aku akan menurunkanmu dari menara gading tertinggi, Nona Claymira Marcusya!" gumam Robbin seraya mengusap wajah dengan telapak tangan kanan, sedangkan yang kiri berkacak pinggang.
Robbin melemparkan pandangan ke jendela dengan lemah dan melihat para awak media sudah tidak ada. Dia memutuskan untuk mencari keberadaan Albert—sang mertua, guna memperjelas kondisi ayah, ibu, dan sang adik yang telah dijadikan alat untuk menekannya menikah.
Jemari kokoh Robbin terselip di saku celana hitam panjang, dada bidangnya tercetak jelas di balik kemeja putih. Dengan mantap dia menuruni anak tangga dan mencari-cari keberadaan tuan rumah.
Pertama-tama menyusuri area ruang makan, berlanjut ke ruang kerja. Bangunan megah sejakarta ini lebih pantas disebut kastil karena kemewahannya. Patut Robbin akui bahwa kekayaan Albert tidak pernah habis meski lebih dari tujuh turunan.
Kalau di dalam rumah tidak ada, pastilah Albert sedang berada di luar, mungkin taman depan atau belakang. Udara panas disapu angin sejuk dari arah timur, sinar matahari berpendar hingga menyilaukan pandangan. Pohon-pohon trembesi tumbuh berjarak dua sampai tiga meter di sepanjang jalan batu granit.
Benar dugaan Robbin, sang mertua tengah duduk santai bersama istrinya. Ada dua orang pengurus rumah berdiri tegak di belakang mereka, siap sedia di kala sang majikan memerlukan bantuan.
"Selamat siang, Pak Albert," tegur Robbin begitu tiba di gazebo tempat kedua mertuanya duduk.
"Robbin, jangan terlalu formal, sekarang kita keluarga," sahut Belle lembut, khas ibu mertua yang baik hati.
Robbin tidak menyahuti sama sekali, malah membuang muka ke arah lain.
"Sayang, kurasa di sini terlalu terik," ucap Albert tiba-tiba sebagai isyarat agar sang istri pergi dari sana.
Belle mengulas senyum simpul lantas menepuk ringan punggung tangan Albert sebelum beranjak dari duduk. "Sepertinya, aku butuh minuman dingin. Mer, Net, bantu aku membuatnya," katanya dan mengajak kedua pengurus rumah itu.
Tatapan teduh Albert tertuju ke punggung ramping Belle, lalu menoleh singkat pada Robbin sambil menarik napas dalam seolah-olah benda besar memenuhi rongga dada.
"Kurasa ini waktu yang tepat untuk berjumpa dengan keluarga saya, Pak Albert," kata Robbin cepat ketika ketiga wanita tadi berjarak lumayan jauh.
"Duduklah dulu! Jangan—"
"Buru-buru sejujurnya bukan sifatku, Pak Albert, tetapi untuk urusan yang satu ini bisa dibilang lebih cepat lebih baik, bukan begitu kalau hal ini terjadi juga kepada keluarga Anda?" tanya Robbin memancarkan sarkastis.
"Tentu saja, keluargamu, keluargaku juga. Sebelum kamu memastikan hidup putriku aman, waktu yang tepat belum dipastikan."
"Tidak saya sangka, Anda tergolong orang yang mudah memutarbalikkan kesepakatan."
Albert tersenyum sinis lantas memandang ke kejauhan. Dia tidak mungkin membiarkan satu orang pun mengetahui keberadaan keluarga Robbin. Bukan tanpa alasan, ini semua semata demi keselamatan besannya. Karena pembatalan janji dengan Rocky—sang karib—bisa saja memancing kemarahan. Dirinya tahu betul tabiat temannya yang tidak mau menyerah begitu saja. Terlebih mengenai kebahagian sang putra, sama seperti dirinya sendiri yang rela melakukan apa saja untuk Claymira—putrinya.
"Licik sekali!" sergah Robbin, merasa ditipu oleh pria paruh baya di depannya. Emosi dalam diri membuat cuaca panas semakin membara. Dia pun pergi dari tempat itu dengan murka.
Belum pernah sebelumnya Robbin merasa tidak berguna seperti sekarang, perannya sebagai anak berbakti dan kakak terbaik telah hancur. Dengan mudah ayah dari gadis konglomerat itu menjungkir balikkan kehidupannya.
Kalau susah memaksa Albert, tentu Robbin harus memikirkan cara lain. Jalan buntu tidak benar-benar ada bukan? Dia sebaiknya memberi sedikit tekanan kepada Clay. Akan lebih mudah membuat gadis yang menjadi istrinya kini buka mulut. Paling tidak untuk mengorek-ngorek informasi dari sang ayah.
Namun, belum sempat mencapai rumah utama ponsel berdering. Dengan malas Robbin mengeluarkan dari saku celana dan nama yang tertera di layar membuatnya tergesa-gesa mengangkatnya.
"Ya, halo," ujarnya kemudian mencari tempat tersembunyi agar lebih leluasa berbicara dengan orang di seberang sana.
"London?" pekik Robbin, masalah satu belum rampung masalah baru menyusul. Akan tetapi, kalau yang ini tidak dikerjakan kepercayaan dirinya akan lebih hancur lagi. Setelah mendengar kata-kata dari seberang, Robbin menyela, "Baiklah aku mengerti, maafkan aku Rocky—terpaksa kamu tahu itu. Ini tidak mudah untuk aku ceritakan kepadamu. Andai aku tau rencana yang dibuat, tentu lebih kuat lagi menolaknya. Hanes akan menemukan wanita sempurna tanpa cela, Rocky. Dirimu tidak pernah tahu betapa liciknya keluarga ini," ungkapnya dan menjeda untuk mendengar tanggapan dari penelepon.
"Iya, Hanes kemari, aku sungguh terkejut atas kehadirannya yang begitu tiba-tiba."
Demi Tuhan, haruskah aku berkata jujur. Lalu, gimana Rocky bisa mengatasi ini? Apa aku harus percayakan masalahku sendiri kepadanya? Tapi, Bima, dia selalu mengingatkanku agar berhati-hati kepada semua orang, sekali pun itu teman. Robbin mengerang, sebenarnya ini bukan waktu yang tepat untuk meninggalkan Indonesia, tetapi tugas adalah tugas, suka tidak suka dia harus mengerjakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
.
licik kamu robbin
2023-01-15
0
N. M. Aksan
Apa itu Rocky yang sama? atau dua tokoh yang berbeda?
2022-10-30
0
👑Ria_rr🍁
bener Clay, jangan mau kalah
2022-10-30
0