Fajar menyingsing dengan ceria pagi ini, Clay bangun lebih awal untuk memulai hari yang panjang tanpa Robbin. Dia menarik gorden yang menutup jendela kamar supaya mendapatkan lebih banyak cahaya.
"Kenapa masih tidak mengabari?" monolog Clay seraya menggigit ringan bibir dan mendekatkan ponsel yang berada dalam genggaman ke dada. Jantung serta pikirannya menjadi tidak karuan.
Clay menegakkan punggungnya, mencoba meraih kepercayaan diri kembali bahwa Robbin tidak mungkin berkhianat. Pria itu berhati batu, alergi terhadap sentuhan wanita, inilah yang coba dia tanamkan dalam pikiran.
"Ah, ya, pastinya kemarin sedang sibuk." Clay tidak yakin suaminya serampangan dalam meletakkan barang, sehingga yang mengangkat telepon orang lain. Sebagai agen rahasia pastinya Robbin amat perhatian dengan barang-barang yang bersifat pribadi, tetapi kenyataannya berbeda. "Aku bisa memastikan lagi nanti." Lalu, meletakkan ponsel ke atas nakas.
Suara perut mengingatkan Clay pada cacing-cacing yang minta jatah makan. Perutnya terasa nyeri, asam dari lambung mendorong-dorong naik ke tenggorokan. Dia baru ingat, sejak keberangkatan Robbin belum memakan apa-apa.
Clay mengangkat kedua ujung telapak tangan menyentuh pelipis dan berusaha menguasai rasa sakit yang menerjang. Dia mengambil langkah kecil menuruni anak tangga lantas menuju ke dapur seraya mengambil ayam lalu memanaskannya ke dalam mesin. Dia mengatur waktu pada mesin tersebut, sekitar lima menit berdenting tanda waktu pemanasan selesai. Dikeluarkan makanan itu, kemudian dia letakkan di atas meja.
"Hemm, aromanya, sih, sedap," puji Clay kepada diri sendiri. Dia segera mengambil garpu dan menusukannya, tetapi benda itu tidak menembus kulit ayam. Kemudian, mencoba memotongnya dengan pisau dan susah minta ampun. Dia pun menyerah.
"Ini ayam apa karet?" gerutu Clay sambil berpangku tangan sembari bergumam, "Untung belum dicoba Kak Robbin, heemss." Dengan mengembuskan napas.
"Andai ada Kak Robbin, aku tidak akan kelaparan seperti sekarang. Dia jago masak. Yah, meski yang dimasak hanya makanan kesukaannya. Paling tidak masih bisa dinikmati," gumam Clay seraya membuang makanan ke tempat sampah, "Kak Robbin lagi apa, ya?"
Clay mencari kesibukan supaya lupa dengan beban di kepala, untuk itu dia berusaha membuat makanan. Dirinya yakin tidak bisa membuat sesuatu yang enak, tetapi layak dicoba. Ketika yang dibuat gagal total, dia menggerang frustrasi dan mendengar bel berbunyi nyaring. Dia pun membuka pintu dan mendapati Hanes berdiri di situ, "Hanes aku lapar," adunya.
"Aku tahu," sahut Hanes sembari menyelinap masuk dengan dua kantong makanan berukuran sedang ada di masing-masing tangan.
Clay tertolong dengan kehadiran Hanes. Keduanya menyantap makanan sambil mengobrol banyak hal. Pada saat pembahas menjurus ke Robbin, sebagai istri memiliki kewajiban mengalihkan. Tidak mau informasi-informasi sahabatnya itu merusak pikiran.
"Han, aku mau nyusul Kak Robbin," kata Clay, muram. "Kamu sudah dapat kabar dari Ayah Rocky, di mana suamiku bertugas?"
"Tidak lagi, Clay," kata Hanes tegas, dia benci mengetahui Clay tidak bisa hidup tanpa Robbin. Dirinya muak bila sahabatnya ini selalu mengikuti ke mana pun sang pengawal pergi. "Berpikirlah dewasa, Clay, kalau kamu nekat menyusul, itu bisa mempersulit pekerjaannya."
"Tap—"
"Kamu lupa kejadian di Thailand? Gara-gara hal itu kerjaan Robbin berantakan dan harus memulai lagi sekarang, tugas waktu itu gagal andai kamu tau," terang Hanes lantas menyuapkan sepotong daging kepada Clay, "Buka mulut, kamu harus makan sesuatu. Badanmu agak kurusan. Setelah ini, mari pergi jalan-jalan supaya pikiran dan hatimu tenang."
Seperti biasa, Hanes selalu bisa mengubah suasana hatinya. Persis yang dilakukan saat ini, membuat Clay terhibur dengan kisah-kisah penuh bualan, jelas berkedok tipuan hanya sekadar untuk membuatnya tertawa.
Hati Clay mulai bimbang, ada rasa tidak biasa ketika bersanding dengan Hanes. Dia merasa dicintai sepenuh hati, diperlakukan sangat istimewa sepajang pertemanan mereka.
"Han, terima kasih," ucap Clay lirih.
Telapak tangan menyentuh jemari lentik Clay, Hanes mengusapkan ibu jari ke punggung tangan wanita cantik di depannya dengan lembut. Dia melayangkan tatapan begitu dalam sampai Clay dibuat tidak nyaman.
"Apa kita jadi pergi, Han?"
"Tentu saja," jawab Hanes agak menyesal, seperti terganggu oleh pertanyaan Clay yang tiba-tiba.
"Tunggu sebentar, tidak sampai lima menit aku turun," janji Clay seriang mungkin saat meninggalkan Hanes di ruang makan. Dia menghindari pergolakan batin akibat sentuhan penuh kasih dari sang teman.
Entah karena terburu-buru atau tidak banyak yang diperlukan, Clay telah selesai bersiap-siap. Rambut gelombang tebalnya diikat longgar ke belakang selayak ekor kuda, celana jin serta kaos putih polos dan kardigan membalut tubuhnya yang ramping.
Hanes melajukan mobilnya dengan santai, menyusuri jalanan yang tidak terlalu ramai, hingga tiba di sebuah taman. Tempat yang digunakan Clay untuk mencari kenyamanan. Bahkan, sang sahabat tahu keinginannya saat ini. Pria itu turun lebih dulu lalu membuka pintu untuknya.
Untuk pertama kali, Clay merasakan sesuatu yang tidak beres dalam diri. Kehangatan dari tangan Hanes mengantarkan gelombang emosional ke dalam hati dan jantungnya berdebar-debar tidak beraturan. Mungkinkah, dia terlambat menyadari perasaan ini. Ataukah semua rasa sebelumnya tersamarkan oleh status persahabatan.
Tidak, ini salah, Clay tidak boleh bereaksi saat disentuh oleh pria yang bukan suaminya. Dia berharap bisa senaif dan sepolos dulu, semoga Hanes tidak melihat rona merah di pipinya. Kemungkinan sepajang hari ini, Clay harus mengendalikan dirinya agar tetap berada dalam lingkaran semestinya.
Keduanya berjalan beriringan menuruni jalan setapak yang agak landai, kemudian memutuskan duduk di bawah pohon rindang. Clay memandang dua ekor kupu-kupu, mereka terbang memutari satu sama lain. Seperti saling menggoda. Senyum simpul tanpa sadar tersungging pada bibirnya yang ranum, hingga sentuhan lembut mengagetkan. Meremangkan bulu-bulu halus di sekujur tubuh.
"Han!"
"Angin merusak tatanan rambutmu," bela Hanes, mencoba bereaksi senormal mungkin. Padahal ingin sekali menarik tengkuk wanita itu dan memberi sedikit sentuhan semanis madu dengan bibir. "Apa sudah lebih baik sekarang?"
"Ya." Jawaban Clay terdengar ragu-ragu, ada apa ini, mengapa suara yang keluar tidak selantang biasanya? Dia masih gemetaran akibat jari-jari Hanes yang merambati pelipis hingga ke balik telinga. "Sudah mulai terik, sebaiknya kita pulang."
"Kamu benar dan—" Hanes sengaja menggantung kalimatnya berlama-lama. Lalu, menarik ujung jaketnya untuk melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. "Bersiaplah, nanti malam aku akan menjemputmu."
Kening Clay berkerut. "Ke mana?"
"Hanya makan malam berlemak dan lezat, Clay. Ya, ampun, lihatlah kondisimu setelah menikah dengan Robbin!" Hanes mengangkat tangan Clay tinggi-tinggi lalu memutar tubuh wanita itu. "Menyedihkan."
"Tidak seburuk itu, Han. Aku hanya perlu membiasakan diri tanpa—yah, sedikit kemewahan," aku Clay sembari menunduk sebentar lalu mengangkat dagu, "Aku yang dulu terlalu—sedikit gemuk kurasa."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Inru
Saat tidak mendapat kabar dari orang terdekat, memang akan berpikir yang tidak-tidak terkadang, takut saja jika terjadi sesuatu.
2022-10-08
0
Rini Antika
Nah lho, jgn" Clay mulai ada bintik" merah sama Hanes?
2022-10-07
0
Rini Antika
kurang N Robbi nya say..🤭
2022-10-07
0