Pemilik suara bariton itu bertubuh jangkung dan tampan meski bahu agak membungkuk seakan-akan memikul beban. Wajah tirusnya mirip sekali dengan sang ayah—Rocky bos Robbin— yang pasti akan tampak menawan apabila memancarkan aura kepribadian yang kuat. Sayangnya, Hanes hanya sekadar tampan. Di dekat Robbin yang berwajah rupawan dan berkulit sawo matang, Hanes itu terkesan lebih lembut.
"Bawa kembali benda itu, aku—"
"Anggap saja ini hadiah pernikahan kalian." Hanes menyela ucapan Robbin, seraya menyerahkan kotak beludru yang berisikan cincin kepada Clay.
Bergegas Clay membuka kotak tersebut, matanya berbinar kala melihat dua benda bertahta berlian di salah satunya.
Clay merasa tersanjung, dia tahu Hanes pasti turut bahagia meski tidak bisa memiliki dirinya. Dia menganggap pria itu sebatas kakak, sebab pertemanan yang terjalin sejak kanak-kanak.
"Terima kasih, Hanes," ucap Clay setelah menerimanya lantas menyerahkan kepada Robbin.
Robbin membuang muka, tidak mau mengambil pemberian itu. Emosi berkecamuk di dalam hati, kalau menerima cincin dari Hanes bukankah seperti pria ingusan itu yang menikahi Clay? Angannya melambung tinggi, ego diri menolak keras bantuan dalam bentuk apa pun.
"Silakan Saudara Robbin," perintah Pendeta.
Lamunan Robbin pun buyar, dia mengulurkan tangan dengan gamang. Lalu, meraih jemari sang istri. Senyum melengkung sempurna di bibir bergincu itu.
Sentuhan Robbin mengirimkan gelombang yang mengejutkan di sepanjang lengan Clay, dia menutup mata sedetik serta menarik napas dalam-dalam. Ujung jemari sang suami menyusuri kulit jari manisnya saat memasangkan cincin.
Aku tidak sedang bermimpi, bukan? Oh, Robbin I need you, batin Clay berbunga.
Robbin mengeram, frustrasi tercetak jelas pada wajah yang mengeras. Akan tetapi, semua orang seolah-olah tidak peduli. Pernikahan ini begitu menekan dirinya. Dia tahu setelah keluar dari kapel jalan hidupnya telah berubah, prinsip yang dipegang teguh selama ini runtuh.
Orang-orang bertepuk tangan, Robbin meradang menyaksikan wajah-wajah bahagia mereka. Bersuka-cita di atas penderitaannya. Dia segera turun dari mimbar, meninggalkan Clay di sana sendirian.
"Robbin!" bentak Albert, tetapi tidak mendapat respons sama sekali.
"Dad, biarkan," cicit Clay lalu mengikuti langkah panjang sang suami. Gaun lebar yang membungkus tubuh nyaris membuatnya jatuh ketika menuruni undakan teras.
Insting kuat Robbin menyadari kecerobohan sang istri, jemari kokohnya meraih lengan Clay dengan cekatan sampai tidak sadar wajah saling berdekatan. Selama sepuluh detik bibir keduanya bersentuhan, sama-sama terpaku oleh kejadian itu. Sampai suara tepuk tangan meriah menyadarkannya.
"Ah, romantis sekali. Mari kita pergi, pengantin baru rupanya butuh privasi," celetuk salah satu pengurus rumah.
Buru-buru Robbin menegakkan Clay dan tubuhnya sendiri, lalu menoleh ke arah Albert yang berdiri tidak jauh dari pintu kapel.
"Pak Albert, saya harap Anda tidak mengingkari janji!" dengus Robbin.
"Jangan khawatir, keluargamu aman bersamaku," jawan Albert sambil berlalu.
"Aku ingin bertemu mereka sekarang!"
"Waktunya belum tepat, Robbin, kuharap kamu bisa lebih bersabar," tolak Albert.
Jempol tangan Robbin memijat ringan pelipis kiri sebelum menyusul mertua yang tidak diinginkannya.
"Robbin, tunggu!"
Suara Clay yang mengalun lembut menghentikan langkah suaminya meski tanpa menoleh, dia berujar, "Terima kasih, Kak—Robbin." Keraguan mengiringi kalimat itu.
Kerutan di kening Robbin berangsur hilang, baru kali ini ada yang memanggilnya dengan imbuhan 'Kak' selain Monica—adiknya. Apa gadis konglomerat itu pikir bisa meluluhkan hatiku dengan mengubah sapaan? Tidak semudah itu Clay, sampai mati pun aku menolakmu! batin Robbin.
Pura-pura baik bukanlah sifat alami Robbin, bukan salahnya kalau tidak mengacuhkan gadis itu. Dia sudah menegaskan berkali-kali kepada Clay, bahwa pernikahan ini tidak akan berjalan dengan semestinya.
Clay menatap tajam punggung lebar pria di hadapannya. "Terus saja bersikap begitu! Sifat keras kepalamu terlihat seksi di mataku," gumam Clay dengan mengulum senyum. "Bukankah ini gila?"
"Kurasa tidak," sahut Hanes, tiba-tiba berdiri di belakang Clay.
"Hanes! Kamu tau dari mana kalau hari ini aku menikah?" tanya Clay, merasa heran sebab tidak membocorkan kabar terkait acara penting yang sedang berlangsung sesaat lalu.
"Oh, God!" pekik Clay ketika melihat di kejauhan. "Sungguh tajam intuisi awak media. Coba tengok, Han. Apa di rumahku ada mata-mata?"
"Kalau kamu menginginkan mereka pergi sebaiknya segera membuat klarifikasi," tutur Hanes.
"Ah, biar Daddy yang mengurusnya, yuk!"
Clay pun menuju rumah utama dengan mengendarai mobil milik Hanes. Karena terburu-buru pemuda itu membawa kendaraannya sampai ke depan teras kapel.
Selagi Albert memberijawaban atas beberapa pertanyaan awak media, anggota keluarga yang lain menikmati santap siang di ruang makan.
"Mommy, jahat sekali!" pekik Clay begitu menyadari keberadaan sang ibu di sana. "Dad sedang bertempur di luar, sedangkan—ya ampun, Mom."
"Sejauh yang Mommy tau, Daddy lelaki paling tangguh," sanggah Belle.
"Kak Robbin di mana, Mom?"
Alis Belle yang tertata rapi mengerut sebentar sebelum menjawab pertanyaan. Pasalnya sang putri tidak pernah bertutur semanis ini. "Di lantai atas, mungkin di kamarmu," katanya kemudian.
"Baiklah aku—"
"Temani Hanes makan dulu, Sayang, lihat dia hampir layu berdiri di situ," potong Belle sambil menunjuk Hanes.
Wajah berseri Clay berubah muram, dia tidak mau membuat kesalahan pada hari pertama menyandang gelar Nyonya Robbin Son Robet.
"Tidak masalah, Tante, sudah saatnya saya pulang," kata Hanes meski sulit berucap.
"Manis, manis sekali. Kamu saudara terbaikku Hanes," ucap Clay tulus sebelum berjalan menuju ke pintu ruang makan.
Sejauh dua puluh langkah ada tangga, Clay memegang susuran saat melangkah ke tiap-tiap undakan. Semakin dekat dengan kamar semakin menambah rasa tegang di perutnya yang datar. Dia sangat amat gugup sekarang.
Clay mengamati gorden-gorden penutup jendela di koridor lantai dua yang melambai ditiup angin, kain berwarna putih itu mengusap lembut wajah cantiknya.
"Andai ini tangan Kak Robbin, rasanya tentu lebih menyenangkan," celoteh Clay begitu memikirkan sentuhan suaminya.
Kini, Clay sudah berdiri kaku di depan pintu bersepuh emas setinggi dua meter setengah. Hanya dengan membayangkan berada dalam satu ruangan bersama Robbin, seluruh indranya meremang.
Setelah menyemangati diri, Clay membuka pintu dengan pasti.
"Wao! Ini dia tokoh utamanya, coba pikirkan apa yang bisa aku katakan kepada mereka?" tanya Robbin sembari menujuk para awak media.
"Apa pun, tetapi mereka akan menganggapmu pembohong!"
"Gadis kecil yang licik!" hina Robby sebelum mengatakan kalimat yang lebih pedas lagi, "Kamu tentu sadar bahwa ini sebuah pemerasan. Sikapmu ini membuatku mual, wanita yang sudah tidak memiliki harga diri lagi!"
Bukannya emosi justru Clay tertawa keras-keras dan memang terkesan tidak waras. "Oh, jangan menyangkal, Kak. Coba pandang aku dan katakan dengan lantang bahwa Kak Robbin tidak memiliki sedikit pun rasa terhadapku!"
Clay mengambil langkah perlahan, ekor gaun putihnya menyapu lantai marmer bermotif kayu. Kini, jarak di antara dia dan Robbin hanya dua jengkal saja. Lengan yang tidak tertutup kain itu semakin cerah diterpa cahaya dari jendela, Clay mengulurkan tangan lantas jemari telunjuk menyusuri dada bidang di depannya.
Senyum samar tersemat, Clay berbisik penuh goda sembari mengusap lembut bibir Robbin dengan ibu jari, "Sepertinya tubuh ini lebih jujur ketimbang mulutmu."
"Singkirkan tanganmu dari situ!"
"Ha-ha-ha, sungguh suami tidak sabaran. Apa kamu ingin membantuku melepas gaun ini?"
"Segera periksakan otakmu ke dokter!" bentak Robbin sebelum pergi.
"Seksi, seksi sekali," gumam Clay.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
𝓓𝓮𝓪
hus pergi jgn ganggu
2023-01-16
0
💙 Ɯιʅԃα 🦅™ HIATUS
Clay bucin banget sama Robin tapi Robin malah cuek bebek
2023-01-15
2
☾⃟ℳoon - Moon 🌙
kasihan Clay.
Gini nih awalny benci eh nanti jadi suka
2022-12-07
2