Dua orang beda usia itu sudah pindah ke ruang kerja sembari menikmati gin—minuman beralkohol yang dibuat dengan cara menyuling ekstrak fermentasi bijian—berharap dapat menghangatkan tubuh.
"Aku terlalu tua untuknya." Pandangan Robbin tertuju ke arah gorden yang bergerak-gerak ditiup angin tanpa betul-betul melihatnya. Dia terlalu takut untuk menatap lurus ke depan, sementara masa lalu terus saja merongrong tidak ingin melepaskan diri. "Dia lebih muda darinya."
"Usia, ya? Heemm." Bima mengusap ringan dagu yang mulai kasar sebab ditumbuhi bulu-bulu pendek bekas dicukur. "Bukannya sekarang kita sedang membahas perasaan seseorang, bukannya melakukan sensus penduduk?"
Robbin tergelak mendengar candaan garing pria paruh baya itu. "Dia menyukai orang lain, Bim. Aku pernah sekali melihatnya bermesraan dengan pria sebayanya. Itu cukup dijadikan dasar, bahwa cintanya itu hanya, yah, seperti yang kubilang, hanya sesaat."
"Tidak cukup konkret sebelum kamu bertanya kepada yang bersangkutan." Bima menghela napas sebelum kembali berbicara, "Pernah membaca kutip 'sering kali apa yang dilihat benar, belum tentu itu kebenaran. Janganlah terjebak dalam kesalahan hanya karena penglihatan mata' untuk urusan kali ini, coba bertanya kepada hatimu."
"Logika, Bim," tegas Robbin dan mendapat gelengan dari Bima. "Hatiku sudah remuk menjadi abu. Dan, perlu kamu tau—pria itu Hanes."
"Hanes?"
"Ya."
"Gimana bisa selera kalian sama?" tanya Bima menolak percaya.
"Kedua orang tua mereka berteman, karib. Aku juga baru tahu, kok, agak terkejut." Robbin terdiam sejenak sebelum berujar, "Mereka berniat menjodohkan anak-anaknya."
Mata Bima membelalak. "Tapi gadis itu malah memilihmu? Apa kamu mengambil kesempatan—menodai kesuciannya?"
"Hah? Aku bukan perusak, Bim. Bahkan kalau melihat kelakuannya, aku tidak yakin dia masih perawan. Uh, sebetulnya gadis itu memabukan. Aromanya sesegar tetesan hujan di atas tanah gersang." Mata kecokelatan Robbin mengkilap, bersinar ketika menceritakan perangai sang istri.
"Lalu?"
"Ya, semua wanita sama. Dia lebih agresif daripada—" Robbin melirik pria paruh baya itu. "Aku benci tatapan menyelidikmu, Bim."
Bima melihat cinta terpancar samar di sorot mata Robbin ketika menceritakan bagaimana sosok Clay.
"Bukan aku yang mau, Rob, ini naluri. Dirimu tau itu." Bima menghela napas sekali lagi, dia tahu pria muda di depannya sedang bingung dalam mengambil sikap. "Anggap saja ini sebuah tantangan. Melangkah ke depan jauh lebih baik daripada hidup dalam penyesalan. Kamu tidak mau bukan merelakan kepuasan direnggut paksa oleh masa lalu? Jangan biarkan kebencian mengambil alih tempat yang seharusnya dipenuhi dengan proses penyembuhan."
"Entahlah." Robbin membuang napas serta mengusap wajah kasar. Dia menuang gin ke dalam gelas kosong. "Aku tidak ingin dipermainkan, Bim. Uh, ya, sangat menyakitkan. Itu terjadi tepat di hari pernikahan, kamu ingat? Undangan sudah menyebar dan—dia pergi—dibawa oleh badai cinta baru yang pastinya lebih segalanya dariku, terutama usia. Dia bilang aku terlalu tua, pemikiran kita berbeda. Brengseekk, kan? Atau aku yang tolol mau-mau saja percaya pada kata-kata manisnya."
Robbin menoleh sekilas, mendongak sebelum menyandarkan punggung ke sofa. Dia memang pengecut bila berurusan dengan yang namanya cinta. Dirinya tidak memiliki banyak pengalaman tentang ini. Sekalinya jatuh cinta malah ditinggalkan, betul-betul menyedihkan.
"Terlalu sulit memercayai hal ini, Bim," sesal Robbin.
"Apakah kamu bercita-cita untuk mengabdikan diri kepada kebencian terhadap semua wanita setelah luka yang disebabkan olehnya?" Bima memasang wajah serius tatkala berbicara,"Kamu akan menua tanpa bisa menunjukkan apa-apa kepada orang yang telah membuatmu berkubang dalam kenangan pahit," papar Bima, selayak motivator acara televisi.
Tanpa sadar Robbin terus saja mengusap-usap bandul kalung pemberian Clay.
"Puji Tuhan, dirimu sudah sadar," seru Bima begitu menyadari gerakan samar sang teman. "Bisa kutebak itu darinya—Claymira."
"Ya, gadis yang cukup religius," aku Robbin, mengingat sang istri yang selalu menyuruhnya mendekat kepada Sang Mahakuasa. "Saat menjaganya dulu. Beberapa kali—hampir tidak pernah dia melewatkan pertemuan dengan-Nya. Manis sekali, di balik sikap buruk gadis itu tersimpan sisi positif."
"Buruk? Aku tidak setuju! Sungguh gadis yang malang karena tertarik kepada orang yang salah. Ha-ha-ha," gurau Bima, menepuk mantap pundak sosok di sampingnya.
"Sial!" balas Robbin, lalu meminum seteguk gin, "Apa yang harus kulakukan sekarang, Bim?"
"Pulang, peluk dan cium dia." Bima mengatakan itu dengan gerakan penuh penghayatan. "Orang akan menjadi bodoh saat jatuh cinta." Kenang Bima terhadap diri sendiri.
"Ya, itu terdengar menyenangkan sekaligus menggelikan," sahut Robbin, memasang wajah seolah-olah merasa geli. "Terima kasih untuk hari ini, Bim. Aku harus cepat pulang dan memang pesawatku akan terbang malam ini," jelas Robbin sembari meletakkan gelas kosong ke atas meja.
"Percayalah, bahwa cinta tidak pernah salah dan selalu membawa kebahagiaan," tutur Bima saat mengantarkan pria muda itu melewat koridor rumah megahnya.
"Di mana istri dan anak-anakmu?" tanya Robbin karena ingin berpamitan.
"Tidur cepat, Alice biasanya turut terlelap saat menemani mereka," terang Bima.
"Sampaikan salamku kepadanya."
"Tentu, berhati-hatilah. Dan, sembuhkan luka hatimu, cintai istrimu."
Dengan keteguhan hati Robbin berjanji akan mencintai Clay sampai mati. "Ya, terima kasih, Bim. Selamat malam," pamit Robbin.
"Selamat malam."
Mobil hitam metalik Robbin keluar dari pelataran rumah Bima. Dia melajukan kendaraan roda empat itu ke tempat penyewaan, lalu memesan sebuah taksi untuk mengantar ke bandara.
Robbin melihat arloji yang ada di pergelangan tangan, waktu keberangkatan masih 10 menit lagi. Namun, dia justru menjauhi jalur yang sesuai dengan tiket di tangannya.
Dua orang dari arah kanan dan belakang tampak mengikuti Robbin sejak tadi. Sesaat pandangan mereka bertemu, Robbin pun berbelok ke toilet. Dia berdiam di salah satu bilik kosong.
Insting dalam diri Robbin tidak pernah meleset, ada ancaman yang datang. Dua orang tadi masih mengikuti. Sepasang mata kecokelatan Robbin mengawasi langkah keempat kaki dari balik pintu.
Sesuai dugaan, salah seorang menendang pintu. Gerakan cepat Robbin menghindar dengan tepat. Dia tidak memberi kesempatan orang itu menyerang lagi. Namun, yang lain menghadang, spontan tubuh Robbin meliuk untuk menghindari tinjuan.
Ketika berhasil menghindar, Robbin segera menendang punggung orang itu. Lalu, bersambung dengan tinjuan yang tidak putus-putus hingga lawannya limbung.
Pada saat itu, Robbin sigap meraih lengan orang yang ada di dalam bilik. Kemudian, mengarahkan lutut ke wajah orang tersebut.
"Siapa yang menyuruh kalian?" bentak Robbin seraya mendesak penyerangnya ke salah satu sudut, tetapi sebelum memberi jawaban, tiba-tiba kepala orang itu tertunduk dalam.
Robbin menjatuhkan tubuh lemas si penyerang, dia pun mengamati sekitar. Beruntung toilet dalam keadaan sepi. Dia bergegas keluar dari sana untuk melanjutkan perjalanan.
"Oh, ya, ampun, terlambat," geram Robbin ketika menyadari pesawat yang hendak ditumpangi mengudara. Dia harus memesan tiket penerbangan berikutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Inru
Harus beli lagi deh.
2022-10-24
0
Inru
Duh, sayang uang terbuang sia-sia buat beli tiket pesawat awal.
2022-10-24
0
Inru
Move on, dan berdamai dengan masa lalu.
2022-10-24
0