Clay menjawab cepat, "Ya, meski pun ten—" Dia mendongakkan kepala karena terkejut dengan arah pembicaraan temannya. "Tentang Kak Robbin?"
"Ya. Siapkan mental bajamu!" Hanes mengusap-usap dagu sebentar sebelum bercerita. "Aku kemarin malam melihat dia keluar dari tempat perjudian bersama wanita—dia—Martha, calon istrinya dulu." Suara Hanes terdengar mendramatisir.
Informasi dari Hanes menjawab semua tanda tanya dalam benaknya semalam. Aroma feminin yang sangat diingatnya sampai kini. Dada yang semula hangat oleh pelukan singkat dengan suami menjadi panas, terbakar api prasangka penuh kecurigaan. Pantas semalam pulang begitu larut, tetapi jauh di dasar hati, dia percaya kepada sang suami.
Betapa susah meluluhkan hati Robbin yang sekeras batu. Teringat dulu Clay terbang menyusul Robbin ketika bertugas ke Thailand, pria itu begitu susah didekati. Bahkan dalam pengaruh minuman keras.
Seolah-olah mimpi bagi Clay menghabiskan malam bersama Robbin dalam satu kamar seranjang. Andai saja dia tidak mabuk berat pastilah ingat apa yang terjadi. Namun, sayang dirinya hanya menemukan kertas bertuliskan pesan tidak berperasaan.
Dikiranya, Clay tidak menuntut pertanggungjawaban apa? Salah besar! Dia semakin mengejar-ngejar Robbin ke mana pun. Meski sejatinya si pria tidak menyentuhnya sama sekali.
Berbekal foto abal-abal, Clay mengadukan kejadian itu kepada Albert—sang ayah. Beliau segera turun tangan, menuntut pertanggungjawaban atas tindakan kurang ajar mantan pengawal sewaannya kepada Rocky yang merupakan bos Robbin sekaligus sahabat baiknya.
Pada awalnya, Rocky tidak mau membantu karena sejak dulu sudah berencana menjodohkan anak-anak mereka. Dengan liciknya, dia memindah tugaskan Robbin ke tempat lain.
Namun, sebagai orang berpengaruh—Albert tidak kurang akal. Dia menggunakan keluarga Robbin sebagai jaminan agar keluar dari persembunyian.
Akan tetapi, Robbin berkeras bahwa tidak pernah merusak kehormatan Clay. Diberi secara sukarela pun dirinya tidak mau. Dia cukup tahu batasan, tidak pernah memanfaatkan kerapuhan pertahanan Clay karena begitu besar dalam mencintainya.
"Clay! Clay!" Hanes mengguncang pundak yang jauh lebih pendek darinya.
Clay berjingkat samar dari kenangan dulu, lalu memandang lekat-lekat wajah tampan dan lembut di depannya. "Hemm?"
"Kukira kamu kerasukan dan mulai kejang-kejang," ledek Hanes.
"Sialan! Tapi, kan, Han. Sejauh yang kukenal Kak Robbin itu anti sekali sama wanita, apalagi orang yang sudah meninggalkannya. Dia pasti sakit hati dan membencinya."
"Catat ini dalam kepalamu, Clay! Benci dan cinta itu beda tipis, Sayang. Aku mengenal Robbin lebih dulu ketimbang kamu. Dan, aku juga kenal Martha—wanita seksi yang bisa membuat kaum pria tergila-gila. Aku berani taruhan, Robbin masih cinta mati sama Martha, kalau tidak, kenapa dia tidak mau menikah."
"Kamu tau, tidak ada seorang pun yang menolak pesonaku!" ujar Clay bernada sombong. Dia mengibaskan rambut tebal bergelombangnya ke belakang.
"Memang benar, kalau saja pria-pria itu cukup berani mendekatimu." Hanes tahu betul bahwa Albert menjaga putrinya dengan ketat. Untuk itu menyewa salah satu anak buah Rocky—ayahnya—menjadi pengawal pribadi secara diam-diam.
Sedari kecil, Clay selalu dikelilingi pria bertubuh tinggi, tegap, dan sangar hingga tidak ada yang berani mendekatinya kecuali Hanes. Itu pun karena kedua orang tua kawan lama. Namun, semakin bertambahnya usia, Clay berhasil mendapat kebebasannya.
"Aku istimewa! Ha-ha-ha, bukan sembarang orang yang bisa mendapatkan hatiku dan Kak Robbin—seluruh indraku lumpuh berada di sampingnya—dalam artian cinta sampai mati."
"Betapa beruntung pengawal itu, tapi kalau dia tidak bisa menyenangkanmu berpalinglah kepadaku," kata Hanes.
"Mulai lagi. Apa kamu sudah kehilangan akal, hem? Kita saudara, Han. Perlu kutulis di jidatmu biar ingat!"
"Sudah, nih." Hanes menunjukkan sebuah tato bertuliskan Clay, lebih detailnya nama lengkap wanita itu pada lengan sisi kanan luar.
"Itu pasti menyakitkan, Han. Kapan kamu membuatnya?"
"Sudah lama, setelah aku menyadari perasaanku terhadapmu." Mata keabu-abuan Hanes berkilat-kilat. "Kupikir kamu juga merasa nyaman denganku."
"Aku nyaman bersamamu, Han, sebagai kakak. Maaf." Clay tertunduk, terlalu takut melihat kesedihan di mata pria di sebelahnya.
Tanpa terasa, keduanya sudah tiba di parkiran tempat mobil sport Hanes berada. "Kita jalan-jalan dulu, okay!"
"Lupakan, aku tidak mau. Kak Robbin memintaku membuang semua barang-barang darimu," tolak Clay.
"Pengawal sialan!"
"Hanes! Dia suamiku!" rengek Clay, "Itu wajar, Kak Robbin menaruh cemburu terhadapmu. Bahkan saat—" Ujung jari-jemari lentiknya menutup bibir. Dia tidak mau mengungkit-ungkit dan ingin melupakan sikap memalukan Hanes kemarin siang, yang menjadi akar kemarahan Robbin sehingga menghabiskan waktu untuk bermabuk-mabukkan dan bermain dengan ....
Apa yang dikatakan Hanes benar? Martha, calon istri Robbin sebelum dirinya—apa tujuan wanita itu kembali ke kehidupan suaminya? Clay bertanya-tanya dalam hati. Kelopak berbulu lentiknya mengerjap cepat untuk menghilangkan air mata yang nyaris tumpah.
"Ada apa?"
"Tidak, bukan apa-apa, sudahlah mengemudilah dengan benar," sahut Clay lalu melempar pandang ke jendela. Pikirannya melanglang buana tidak tentu. Antara percaya atau menyangkal penuturan Hanes.
"Boleh aku tebak?" tanya Hanes tanpa menunggu jawaban dari Clay, "Kamu mencemaskan Robbin, bukan?"
"Culas, culas sekali," kata Clay kemudian duduk menyamping, mengamati raut wajah Hanes lekat-lekat. "Kamu hanya memanas-manasiku, kan? Tidak mempan, Han! Seperti aku tidak tau saja kebiasaanmu. Setiap kali ada pria yang mendekatiku, kamu selalu mengarang-ngarang cerita. Dasar!"
"Cih, masih ingat saja. Itu, kan, dulu saat masa-masa SMA. Lagian aku waktu itu disuruh daddy-mu," elak Hanes sembari mengulas senyum.
"Sama saja, kalian menyebalkan!"
Hanes menoleh dan menelengkan kepala dengan muram sekilas lalu menatap lurus ke depan. Membiarkan kebisuan menguasai dan dia hanya butuh kesabaran ekstra. Memulai dari awal lagi merupakan solusi, cepat atau lambat strateginya pasti berhasil.
"Han—" panggil Clay agak ragu-ragu, dia ingin tahu seperti apa sosok Martha itu sampai-sampai Robbin trauma dengan ikatan pernikahan, tetapi urung. "Bisa kita mampir ke sana sebentar." Tunjuknya pada bangunan megah di seberang jalan.
"Tentu saja." Hanes memutar balik mobilnya di tikungan, lalu menepi secara perlahan.
Mereka turun dari mobil dan menyusuri tempat parkir menuju pintu masuk, lalu mencari tempat di antara kursi-kursi panjang yang berjajar rapi.
Clay menutup mata perlahan, kelopak berbulu lentiknya bergerak-gerak ringan. Dia tautkan kedua telapak tangan yang saling menggenggam di depan dada. Bibirnya memang tertutup rapat, tetapi hati berbicara kepada Tuhan-nya.
Tuhan, jaga hati Kak Robbin untukku, jangan biarkan wanita dari masa lalunya mengganggu pernikahan kami. Kuatkan aku, Tuhan, dalam menjalani liku-liku hidup ini. Amin.
Kelopak mata Clay terbuka perlahan lantas mengembuskan napas pelan. Seakan-akan telah mengeluarkan segala kegundahan di hati.
"Han!" Clay tidak terlalu terkejut melihat kebiasan pria di sampingnya. Hanes tampak santai sambil bermain ponsel, bisa dia duga, bahwa sahabatnya ini tidak berdoa.
"Sudah?" Hanes bertanya apakah Clay telah selesai berdoa.
"Belum," jawab Clay sambil memelotot, tetapi orang yang dilihat justru menaikkan sebelah alisnya. "Kamu yang belum, Han!"
"Dih, aku sudah," sahut Hanes sambil memasukkan ponsel ke saku celana.
"Iya! Ya, ya, aku percaya kebohonganmu karena aku tidak melihatnya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
pєkαᴰᴼᴺᴳ
sudah buat tato, kalau tidak jodoh gimana wkwkwk
2023-02-15
2
Rini Antika
Amin
2022-10-05
0
Rini Antika
km harus lebih percaya sama suami km, meski pun Hanes teman km tp dia kan punya rasa, siapa tau dia sengaja melebih"kan..🤭
2022-10-05
0