Selepas berganti baju, Clay menyusuri anak tangga menuju ke ruang kerja sang ayah.
Ruangan bernuansa gotik itu dilengkapi meja berukuran lumayan besar, serasi dengan kursi tunggal bersandaran tinggi. Di sisi kanan terdapat sofa beludru merah hati, serta lemari besar nyaris menyentuh atap selebar tembok di baliknya. Buku-buku tebal berjajar rapi tanpa debu kendati tidak pernah di sentuh lagi.
"Ke mana perginya Kak Robbin?" monolog Clay ketika melongok ke dalam tidak menemukan orang.
"Kebetulan sekali, Nona Clay, aku mencarimu."
Suara berat dan dalam menggoyahkan persendian Clay, seluruh tubuhnya pun mengenal pemilik suara itu. Nada bicara yang serupa auman singa, membuat seluruh indranya tergila-gila. Dia tahu siapa orang itu.
"Aku tersanjung sekali."
"Berkemaslah, kita berangkat ke London besok pagi," kata Robbin.
"Bulan madu?"
"Oh, ayolah, jangan bermimpi di siang bolong!"
Tawa Clay pecah, gemas melihat ekspresi geram Robbin. Seraut wajah yang sulit sekali dilupakan, rahang tegas bersiku dan mata gelap yang dalam hampir-hampir menenggelamkan.
Clay menggamit lengan berotot sang suami tanpa canggung, lalu berjalan sama-sama menuju lantai dua. Dia sesekali mengdongak untuk melihat kekesalan di wajah tegas pria itu.
"Ke ujung dunia pun aku akan ikut denganmu, kamu tau itu, kan?" Clay menaik-turunkan alisnya.
"Karena itulah aku terjebak di sini bersamamu, tidak diragukan lagi!"
Senyum mengembang sepajang langkah menuju kamar, Clay tidak peduli tatapan geli beberapa pengurus rumah yang tanpa sengaja berpapasan. Mungkin mereka beranggapan dirinya sudah gila, karena begitu lengket pada Robbin.
"Aku persis pria jompo yang kesusahan menyebrang jalan," gerutu Robbin sia-sia sebab Clay semakin mengencangkan apitan lengan.
"Salah besar, Kak Robbin! Justru akulah yang rapuh tanpamu."
Robbin memutar bola mata tanda jengah, tidak tahu lagi cara melepaskan diri dari gadis di sebelahnya. Ibarat bumerang, dia selalu kembali saat dilempar.
Kini, keduanya sudah berdiri di depan kamar dan melangkah ke dalam. Clay bergegas masuk ke ruang pribadi khusus baju serta aksesoris keluaran merk ternama.
"Bawa seperlunya saja!"
"Aku tahu itu," sahut Clay.
Selama kurang lebih dua setengah jam si gadis konglomerat berada di dalam ruangan tanpa suara, hampir-hampir Robbin bergerak untuk memeriksanya hingga saling bertemu di depan pintu geser berbahan kaca buram itu.
"Ada apa?"
"Tidak ada," jawab Robbin sambil lalu.
Sekali lagi bibir ranum Clay mengulas senyum, kali ini lebih lebar lagi sampai terlihat gigi-gigi putih yang berjajar rapi.
Sepanjang hari, Clay hanya menghabiskan waktu di kamar, sedangkan Robbin duduk-duduk sambil merenung di taman belakang.
Dan, makan malam pun tiba, semua anggota keluarga duduk di kursi depan meja panjang berwarna cokelat tua.
"Rocky menelepon tadi siang, tentu Pak Albert tidak keberatan Clay ikut denganku."
Sendok dan garpu berdenting menghantam piring, tatapan mata Albert menyiratkan keberatan. Akan tetapi, menilik sang putri yang rela mengikuti ke mana pun Robbin pergi, hanya mendes ah pasrah.
"Tidak bisakah tinggal barang sehari?" Permohonan tersirat di balik pertanyaan Belle.
Clay menoleh ke arah Robbin guna mencari jawaban di sana, karena semua keputusan ada di tangan pria itu.
"Selamanya juga tidak mengapa, dan segera kukirim surat perpisahan," tegas Robbin sambil menikmati sesuap nasi.
Jemari Albert mengepal kuat, dasar menantu tidak tahu diuntung. Sungguh pribadi yang tidak memiliki sopan santun. Kalau saja bukan pria pilihan putrinya, Robbin sudah dilemparkan ke jalan.
Wajah merona Clay mendadak pucat, tawa sumbang terdengar samar. "Lucu, lucu sekali, Kak Robbin. Aku sudah tidak sabar menunggu esok pagi."
Robbin hanya menanggapi dengan seringai tipis, lalu menghabiskan nasi yang tinggal beberapa suap saja. "Terima kasih untuk makan malamnya, saya permisi."
"Clay, Daddy bersumpah—" Albert tidak melanjutkan kalimatnya begitu melihat tatapan mengiba Clay. "Beristirahatlah, Clay, perjalan besok sangat melelahkan."
Clay berjalan memutari meja untuk memberikan kecupan selamat malam kepada kedua orang tuanya.
Rasanya begitu sesak berada di dekat Robbin, semalaman Clay tidak bisa tidur dengan tenang. Angannya melebur dalam diam, dulu yang hanya bisa membayangkan kini menjadi kenyataan. Bersanding nyaris tanpa jarak seperti sekarang, embusan napas tampak teratur.
Clay tergoda untuk menyentuh paras rupawan di hadapannya, menyusurkan telunjuk di atas hidung sampai ke bibir. Dan, mengecupnya singkat.
Namun, secara mengejutkan kelopak mata beriris hitam kecokelatan itu terbuka lebar. Dia menaikkan alis sebelah, lantas bangun dari tidur. Jemari-jemari kokoh itu mengambil ponsel di atas nakas.
"Kenapa tidak membangunkan, ku?"
"Aku terpaku, Kak, paras damaimu itu menghipnotisku. Lagi pula ini masih pukul tiga pagi."
Robbin merenggangkan otot-otot yang kaku karena tidur bagai batu, dia merasa tidak nyaman berada di samping Clay. Ada perasaan mendamba yang dengan tegas berusaha dicegahnya.
Clay sangat cantik pagi ini, rambut tebal bergelombangnya tergerai indah di sekeliling wajah dan bahu. Mata istrinya secerah matahari, berpadu sempurna ketika tertawa, berkilauan seperti embun bersahaja pada pagi hari.
"Bergegaslah, kalau tidak mau ketinggalan pesawat," titah Clay penuh semangat.
"Antusias sekali, aku berharap kamu tidak menyesali," sanjungan Robbin diwarnai dengan ejekan.
"Tentunya, Kak Robbin."
Robbin berlalu tanpa menggubris, selang setengah jam dia keluar dari kamar mandi. Aroma segar menguar memenuhi ruangan. Robbin tampak menakjubkan dalam kaos hitam tanpa kerah dan celana panjang berwarna biru tua.
"Andai air liurmu dapat diuangkan," sindir Robbin, hingga pipi tirus Clay semerah buah ceri. Kedapatan terbengong memandangi Robbin.
Robbin menolak tawaran Albert terkait sopir pribadi, dia memilih pesan jasa taksi untuk mengantar ke bandara.
Lengan Robbin terlipat di depan dada ketika mengamati bawaan, dua koper berukuran besar dan dua koper berukuran sedang.
"Kak Robbin tidak mungkin tega, kan?" Clay meyakinkan.
"Kenapa tidak?" Robbin meraih kopernya sendiri, tidak mengindahkan tatapan jengkel Clay. Sungguh pemandangan langka pada gadis yang senantiasa menyebarkan keceriaan.
Nikmati awal dari kesengsaraanmu, saatnya turun tahta, Sayang! batin Robbin. Namun, perasaan terapuhnya memaksanya berbalik badan. Lalu, menghampiri sang istri tanpa banyak berkata, hatinya tidak mengijinkan Clay menderita.
Mata Clay berbinar meski wajah datar Robbin memancarkan ketidaksukaan. "Baik, baik sekali. Apa kubilang? Kak Robbin tidak akan tega," tegasnya.
"Diamlah dan cepat kita hampir tertinggal."
Robbin bergegas mengurus koper—setelahnya menuju kabin pesawat kelas ekonomi, air muka Clay terlihat bingung. Tidak terbiasa dengan penerbangan seperti ini.
"Biasakan dirimu, Sayang!" Ejekan tersembunyi di sela-sela perkataan Robbin yang manis.
"Mudah," balas Clay sambil menggamit lengan kokoh Robbin, senyum ceria terpancar jelas di wajah manisnya.
"Sikap percaya diri yang patut dipuji."
Tanpa ragu-ragu, Clay mendaratkan bibir ke pipi Robbin. "Senang bisa bersamamu."
Ledakan panas menggelora, menjalari setiap inti sel-sel dalam tubuh yang tegang. Seolah-olah merespons sesuatu yang primitif dalam diri. Secara spontan, Robbin mendorong bahu Clay. Dia mencoba mematahkan keinginan kuatnya untuk merengkuh sang istri dalam dekapan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
pєkαᴰᴼᴺᴳ
harusnya tidur dengan nyenyak clay
mimpi indah jadi kenyataan
2022-11-17
3
𓂸ᶦᶰᵈ᭄🇪🇱❃ꨄ𝓪𝓢𝓲𝓪𝓱࿐
robin ente ya kadang kadang
2022-11-08
1
N. M. Aksan
Ciah ... Robin so jual murah.
2022-10-30
0