Kemarin siang dengan kemarahan bertumpuk-tumpuk Robbin memenuhi permintaan Rocky untuk bertemu di kasino dekat kediamannya. Pria tua itu menginginkan tenaga Robbin dalam misi tersembunyi.
"Aku menerima tugas ini, Rocky," ujar Robbin mantap sambil melihat ke kejauhan. Siapa pun yang melihat ketiganya mengira bahwa mereka sedang minum-minum santai sambil menghabiskan uang di meja judi.
Rocky bersandar sambil menyulut ujung cerutu dengan korek api berbentuk pistol. "Aku suka kinerjamu. Kamu sangat menyukai tantangan, menikmati berpergian dan tipu daya. Kamu ditakdirkan untuk hidup seperti itu, Robbin."
Robbin menuang brendi ke dalam gelas lalu meminumnya hingga tandas. Sebelumnya, dia ingin menyudahi pekerjaan mengerikan yang sewaktu-waktu dapat merenggut nyawa. "Aku hanya bersenang-senang selama sebelas tahun belakangan ini. Menangkap semua mata-mata dan juga penjahat-penjahat kelas teri nyatanya membuat ketagihan."
"Bagus!" ucap Rocky sembari meniupkan asap rokok ke udara. "Kali ini kamu akan bekerja sama dengan orang baru," imbuhnya.
Penuturan Rocky membuat Berry yang berada di sana terkesiap dan mengangkat alisnya. Belum pernah sekali pun bekerja jauh dari Robbin. Ibarat kata, keduanya satu jiwa berbeda raga—ke mana-mana tiap kali ditugaskan hampir-hampir bersama.
"Tidak perlu risau Berry, aku akan menugaskanmu bersama Johanes." Rocky menjawab kegalauan hati sang anak buah sambil menuang minuman.
"Kali ini aku hanya ingin menyuruhmu mengambil kartu memori dari tangan wanita ini." Tangan besar Rocky merogoh sesuatu di balik jas hitamnya. Lalu mengeluarkan selembar foto.
Robbin mengira-ngira seberapa penting yang tersembunyi di dalam benda sekecil itu dan sebanyak apa informasi yang Rocky punya tentang wanita ini. Dia perlu mencari tahu sendiri seperti biasa.
"Akan diadakan pelelangan saham pada akhir bulan ini di ... kartu memori itu pastinya selalu dia bawa," terang Rocky sambil membisikkan bagian lokasi digelarnya acara.
Robbin mengangguk lalu meneguk brendi tanpa sisa hingga Berry yang melihat itu menatap penuh curiga. "Aku mengerti, Rocky. Kalau tugasnya semudah itu kurasa tidak perlu pendamping."
"Lebih dari yang kamu perhitungkan. Ini jauh berbahaya dibandingkan menghabisi nyawa seseorang. Dia bukan wanita sembarangan," tegas Rocky, sedikit terhibur dengan sikap percaya diri anak buah favoritnya.
"Lalu?" desak Robbin, bukannya merasa tidak yakin dengan kemampuan sendiri. Dia hanya berpikir seketat apa penjagaan wanita itu.
"Kamu butuh seseorang yang bisa menyelinap ke dalam kamar wanita itu."
Robbin mengumpat pelan karena pantang baginya menyamar sebagai perempuan untuk masuk ke kamar tersebut. Hanya membayangkan saja membuatnya bergidik. "Baiklah selama ada orang lain yang melakukan itu."
Keahlian Robbin dalam meretas perangkat lunak tidak diragukan lagi, itulah sebab tugas-tugasnya berjalan lancar selama ini.
"Kamu akan cocok dengan orang yang kupilihkan," terang Rocky sebelum beranjak dari tempat perjudian itu.
Berry mengamati kepergian bos besar, kemudian mengatakan apa yang sedari tadi ditahan. "Sebentar, bukannya tadi siang pas kamu datang sambil senyum-senyum mau semua kerjaan aku dan Jo urus dulu? Dan, hentikan. Cukup minum-minumnya, Rob!"
"Kemarilah, Ber." Robbin meletakkan botol brendi seraya mencondongkan tubuh lebih dekat ke arah si teman. "Kurasa menambah satu daftar nama target berikutnya tidak masalah. Lagian satu tahun belakangan aku hanya sibuk mengurus gadis konglomerat yang tidak cukup menantang. Tangan ini sudah gatal ingin menghajar orang. Aku, sih, berharap tidak ada baku hantam. Dan, setelah kuingat-ingat tindakan itu berujung ... aku hanya memutus hidup orang sekurangnya dua puluh atau—yah, sedikit lebih banyak dari itu kurasa ... ah, dan, kesemuanya mencoba membunuhku lebih dulu, bukan?"
Berry menyandarkan punggung ke sofa kemudian mengusap wajahnya kasar. Ada sesuatu yang tidak beres dengan Robbin, tetapi teman yang satu ini selalu menyimpan masalahnya sendiri.
"Di sini membosankan, aku ingin sedikit bermain-main di bawah." Suara Robbin parau karena banyak minum. Dia turun untuk mengadu nasib di meja judi. Lebih tepatnya menghilangkan bayangan dua pengkhianat terkutuk yang dilihatnya bercumbu di depan rumah kala itu.
Dalam waktu singkat uang Robbin nyaris terkuras habis. Dia mengamuk dan menuduh pekerja di sana bermain curang. Hampir saja meja itu dilempar olehnya.
Pagi ini, Robbin terbangun dan teringat peristiwa kemarin yang menyisakan rasa pening. Dia mengeram sambil memijit pangkal hidung berharap bisa sedikit mengurangi rasa sakit. Dirinya tidak ingat bagaimana caranya sampai ke rumah dengan selamat.
"Kak Robbin, sudah bangun?" sapa Clay yang menyembul dari balik pintu dengan tangan membawa baki berisi wedang jahe hangat. "Semalam kamu mabuk berat. Apa masih pusing?" tanyanya sembari meletakkan bawaannya di atas meja.
Ponsel di atas nakas berdering, Robbin mengambilnya dengan malas. Lalu, menunggu orang di seberang sana berbicara. Dia mengumpat dalam hati sebelum berkata, "Aku ke sana tiga jam lagi."
Clay mengerutkan alis. "Mau pergi lagi?"
"Tunggu di bawah, kita perlu bicara setelah ini," kata Robbin, bergegas bangun dari duduknya menuju kamar mandi.
Sepuluh menit berikutnya, Robbin bergabung di meja makan. Dia menyesap sedikit wedang jahe buatan Clay. "Terima kasih, tetapi ini tidak mengubah penilaian ku terhadapmu," tuturnya.
"Maksudnya?"
"Oh, ayolah, berhenti berpura-pura. Aku melihatmu bermesraan dengan Hanes," ungkap Robbin.
"Gimana bisa? Maksudku it—"
"Bisa saja, Tuhan begitu baik bukan? Dengan menunjukan kelakuan burukmu," desis Robbin sebelum meninggalkan tatapan terkejut Clay.
"Kak! Kak Robbin! Berhenti!" Clay mengembuskan napas kasar lantas bergumam, "Aah, so sweet, Kak Robbin cemburu. Dia mencintaiku, ini kemajuan yang hebat!" pekiknya di akhir kalimat lalu melangkah riang mengikuti pria itu ke kamar.
Di dalam kamar, Robbin berdiri di samping tempat tidur sambil memasukkan beberapa potong baju ke koper. Dari arah belakang Clay tiba-tiba merangkul pinggangnya, dia agak terkejut—berhenti sejenak untuk mengatur detak jantung yang berdebar hebat—dada sang istri menekan kuat punggung hingga getaran aneh menjalari tubuh.
Napas Robbin mulai teratur. "Menjauhlah!"
"Tidak mau," tolak Clay dengan nada manja dan penuh goda.
Robbin menahan diri sekuat mungkin agar tidak melepas tautan lengan Clay dengan kasar. Masih segar dalam ingatan kedua tangan sang istri yang memegang dada pria lain. Sambil mengeram dirinya berujar, "Belajar setialah kepada satu pria saja!"
"Tanpa kamu suruh pun sudah kulakukan. Kepatuhan jiwa dan raga ini tidak terbantahkan."
Kepala Robbin mendongak sebentar sebelum melepas paksa tangan Clay. "Kamu masih terlalu muda untuk memahami ini semua," tegas Robbin seraya berbalik badan. Dengan enggan dia memandang kedua mata cerah di depannya. "Kesetia dan cinta itu sesuatu yang berbeda. Usiamu masih 21 tahun, kamu belum cukup mengerti arti sebuah hubungan. Emosimu masih menggelora dalam urusan percintaan. Belum stabil untuk menentukan pilihan."
Kelopak mata berbulu lentik itu mengerjap-ngerjap perlahan. Menggelitik hati Robbin untuk menangkup wajah menggemaskan Clay lalu menghujaninya dengan banyak sentuhan cinta. Menyisipkan indra perasanya di antara gigi kelinci sang istri.
"Sekali-kali, gunakan hati untuk mengamati sesuatu. Logika terlalu tega mematahkan perasaan orang. Apa yang kita lihat belum tentu sebuah kebenaran pun sebaliknya," papar Clay.
Pemaparan Clay membuyarkan angan-angan Robbin. Dia memegang kedua sisi bahu dan mendorong lebih jauh pesona mematikan di hadapannya. "Kita butuh waktu untuk memikirkan ulang hubungan ini. Aku tidak mau kamu menilai perasanmu sendiri dengan terburu-buru."
"Kali ini Kak Robbin ditugaskan ke mana? Keluar dari London?"
"Sedikit informasi yang kamu dapat, maka semakin baik untuk keselamatanmu," sahut Robbin lalu berbalik seraya menutup kopernya. "Tetap di rumah selagi aku pergi. Kurangi kebiasaan jalan-jalanmu ke taman."
"Gimana—Kak Robbin tau aku punya hobi baru?" tanya Clay saat mengikuti langkah Robbin menuju pintu kamar. "Aku ikut ke bandara."
Robbin berhenti. "Persetujuanku tidak pernah berarti bagimu, bukan begitu Nona pemaksa?"
"Ha-ha-ha, Kak Robbin cepat belajar," puji Clay riang. Dia kembali mengikuti langkah Robbin menuju garasi kemudian masuk ke mobil.
Untuk sampai ke bandara internasional di negara itu, membutuhkan waktu dua puluh delapan menitan. Dari tempat tinggal Robbin menempuh jarak sejauh lima belas mil.
"Kak Robbin, boleh peluk sebentar?" tanya Clay sebelum Robbin melewati pintu masuk menuju ke landasan pesawat.
Robbin menaikkan sebelah alisnya lalu mendekati Clay, meraih pinggang ramping istrinya, dia merasakan usapan lembut di punggungnya yang lebar.
"Berapa lama?"
"Apanya?"
"Pelukannya!" jawab Robbin masih memeluk tubuh Clay, harum sampo menggelitik hidung yang begitu dekat dengan pucuk kepala wanitanya. "Pikirkan baik-baik selama aku pergi."
Clay mendongak dan menemukan paras rupawan Robbin, seperti biasa, dia menghadiahi pipi pria itu dengan kecupan lembut. "Buang ragumu, Kak Robbin, sampai nanti pun pikiran dan hatiku tertuju kepadamu," ucapnya lantas berusaha mengeluarkan kalung bersimbol agamanya, yang tergantung di lehernya ke atas kepala. "Ini simpanlah sebagai pengingatmu akan diriku. Di mana pun kamu berada, bawa serta Tuhan, maka hidupmu aman."
Robbin tidak menanggapi, dia hanya mengulas senyum samar sambil mengusap pucuk kepala istrinya. Lalu, berbalik ke arah pintu masuk landasan pesawat.
"Bye, bye, Kak Robbin, I miss you!" seru Clay sambil melambaikan tangan.
"Hai!"
Tepukan di pundak mengagetkan Clay. "Hanes! Penguntit ulung!"
"Aku akan mengantarmu pulang." Hanes menawarkan tumpangan.
"Tau dari mana aku di sini?"
"Cih, apa kamu lupa, dia itu anak buah Ayah," jawab Hanes dengan nada merendahkan. Selagi Robbin pergi dia ingin lebih dekat dengan Clay. Dasar bodoh! Robbin pikir bisa merebut Claymira darinya? Seribu satu cara sudah disiapkan untuk memutus paksa pernikahan mereka, dan ini salah satunya. "Seingatku, Ayah tidak menyuruhnya ke luar negeri. Apa kamu tau tujuan Robbin ke mana?"
"Sama sekali tidak, dia cukup tertutup dan kenapa tidak kamu tanyakan kepada Ayah Rocky?"
"Semoga yang kudengar ini hanya gosip murahan," gumam Hanes.
"Cowok, kok, bergosip," ledek Clay sambil cekikikan.
"Semoga kamu tidak sekarat mendengar gosip ini!" Hanes mencuri-curi pandang untuk melihat perubahan pada raut wajah wanita incarannya.
"Aku tidak peduli."
"Meskipun ini tentang Robbin?" Tantang Hanes.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
pєkαᴰᴼᴺᴳ
namanya juga judi harus menerima kekalahan Jangan ngamuk
2022-12-16
3
Inru
Robbin, semoga suatu saat pindah pekerjaan ya..
2022-10-05
0
Rini Antika
iya sayang, aku pasti akan sll setia..🤣🤣🤣
2022-10-04
0