"Pak Danish, jadi begini ... saya yakin Anda pasti sudah mengetahui soal kematian papah kami. Untuk itu mengenai surat yang tempo hari Anda berikan, kami sudah memberikan keputusan untuk memberikan perusahaan milik papah kepada Anda. Dengan begitu ... " Belum selesai Farhan berbicara, Danish sudah memotongnya lebih dulu.
"Dengan begitu adik kamu ini tidak jadi bekerja untuk pak Brama, bukan begitu?" Danish mudah sekali menebaknya.
"Iya, benar," jawab Farhan dengan yakin.
"Baiklah, kalau begitu. Biar besok sekertaris saya yang akan memindahkan hak milik perusahaan orang tua kalian. Dan tugas kalian mempersiapkan semua berkasnya. Paham?" jelas Danish yang kemudian bertanya pada Farhan dan Arifa.
"Apa setelah itu gak ada lagi hutang yang tersisa, Pak?" tanya Arifa memastikan kembali.
"Kita lihat saja nanti, mengingat saat ini perusahaan Zakaria memang sudah jatuh. Saya tidak bisa memastikan hutang yang ia miliki akan sepenuhnya terbayar." Danish beranjak dari duduknya.
Arifa dan Farhan mengangkat kepalanya untuk melihat laki-laki yang mulai bersikap angkuh di hadapan mereka.
"Kalian boleh pulang, sampai bertemu besok di kantor Zakaria," ucap Danish kemudian melangkah pergi meninggalkan kedua tamunya.
Farhan seketika berdiri, "Apa benar pak Brama telah meninggal?" tanyanya dengan suaraa yang lantang. Farhan hanya memastikan kalau yang dikatakan satpam tadi di depan memang benar adanya.
Danish mendesis sambil menyeringai. "Kalau kalian sudah tahu, untuk apa bertanya lagi. Sudah, lebih baik kalian pulang ke rumah," ucapnya kemudian pergi dari ruang tamu.
"Kenapa dia sombong banget sih, Kak!" celetuk Arifa yang merasa tidak suka dengan sikap Danish.
"Udah biarin aja, ayuk lebih baik kita pulang." Farhan menarik tangan Arifa untuk pergi dari sana.
Keduanya pun masuk ke dalam mobil dan pergi dari kediaman pak Brama.
...----------------...
Keesokan harinya.
Waktu terasa bergulir begitu cepat, seolah tidak ada jeda untuk beristirahat dari rumitnya dunia. Bahkan untuk bernapas saja sangat sesak, berharap hadirnya pelangi untuk bahagia.
Sejak kecil, beban dipundak tidak ada. Menangis pun jika hanya terasa sakit pada luka saat terjatuh. Kini, beban itu sangat terasa. Untuk menangis pun mungkin percuma dan bukan saatnya lagi. Itulah yang Arifa rasakan.
Saat ini, Arifa tengah berada dalam perjalanan bersama Farhan untuk pergi ke perusahaan milik mendiang Zakaria.
"Fa, kenapa? kok melamun?" tanya Farhan yang memecah keheningan di dalam mobil. Namun Arifa masih terdiam dengan pandangan lurus ke depan.
"Rifa cuma berharap, hari ini terakhir kalinya ketemu sama anaknya pak Brama itu!" tegas Arifa yang kini menoleh ke kakaknya yang sedang mengendarai mobil.
Farhan tertawa mendengar perkataan Arifa, "Jangan terlalu benci, nanti jadi bucin loh!" ledek Farhan. Seketika mendapat pukulan di lengannya.
"Apaan sih! amit-amit deh!" Arifa semakin kesal.
Tak lama, mereka pun tiba di halaman kantor. Arifa terkejut saat melihat perusahaan papahnya sepi bagai tak berpenghuni. Ia menoleh ke Farhan.
"Kenapa kantor papah kayak gak ada orangnya, Kak?" tanya Arifa yang merasa tidak percaya.
"Sebenarnya sehari sebelum papah meninggal, Kakak dapet laporan dari sekertarisnya. Kalau semua karyawan papah itu di PHK semua. Sebab, anggaran dana yang dimiliki perusahaan untuk menggaji para karyawan udah menipis. Sekertaris papah pun udah mengundurkan diri saat itu juga. Itulah kenapa papah bisa pulang larut malam terus pingsan karena kelelahan."
Arifa kini paham, namun hatinya merasa belum puas setelah mendengarkan penjelasan Farhan barusan.
"Terus kenapa selama ini Kakak gak mau bantu papah di perusahaan?" tanya Arifa kembali.
"Bukan gak mau, papah sendiri yang gak bolehin Kakak gabung di perusahaannya. Malah Kakak itu disuruh gak usah kerja terus diminta untuk lanjut kuliah S dua."
"Oh gitu, Kak."
Tiba-tiba sebuah mobil sedan Mercendez Benz berwarna hitam metalik parkir di sebelah mobil yang Farhan kendarai.
"Kak itu siapa?" tanya Arifa saat keduanya masih berada di dalam mobil. Farhan pun menoleh ke arah yang Arifa maksud.
Lalu turunlah seorang laki-laki yang memakai setelan jas biru langit dengan kemeja putih tanpa memakai dasi, serta sepatu pantofel berwarna hitam.
Farhan mengenali orang yang baru saja turun dari mobil mewah itu.
"Itu pak Danish!" pekik Farhan kemudian segera bersiap dan kemudian turun dari mobil. Tak lupa tas kerja yang berisi berkas yang Danish minta kemarin.
Sementara itu, Arifa turun dengan santainya saat Farhan telah menghampiri Danish.
"Rifa, ayuk!" panggil Farhan saat dirinya hendak menyusul Danish masuk ke dalam kantor. Arifa mengangguk pelan sambil berjalan menghampiri Farhan yang masih menunggunya di ambang pintu.
Akan tetapi, karena jalan Arifa terlalu santai, akhirnya Farhan pun menarik tangannya.
...----------------...
Tiba di sebuah ruang meeting. Di sana telah ada Danish, sekertarisnya, Arifa dan juga Farhan.
"Baiklah kita mulai saja penghitungan jumlah hutang dan harga perusahaan milik Zakaria," ucap sekertaris Danish.
Detak jantung Arifa berdebar menunggu hasil perhitungan itu. Tanpa disadari, kuku di ibu jarinya telah digigit oleh Arifa sendiri.
Danish yang melihat kelakuan Arifa, menganggap gadis yang ada di depannya itu anak kecil. Pandangan Danish ke arah Arifa pun tertangkap basah oleh Farhan.
"Rifa, jangan gigitin kuku jempol kamu. Gak enak tuh dilihatin pak Danish," ucap Farhan yang berbisik pada adiknya itu.
Sudah diberi peringatan oleh Farhan, namun Arifa tidak memperdulikannya.
"Oke, perhitungan telah usai. Menurut kalkulator yang saya miliki, hasilnya itu masih kurang lima persen dari hutang pak Zakaria itu sendiri," kata sekertaris Danish.
Arifa terkejut mendengarnya. "Masa besar sekali Pak kurangnya? salah kali itu kalkulatornya. Coba pakai kalkulator di hape saya!" ucapnya dan kali ini membuat semua yang hadir di ruangan itu terkejut bukan main.
Farhan yang tidak enak hati akhirnya bertanya, "Maaf, Pak ... boleh saya lihat penghitungannya?"
Sekertaris Danish pun memberikannya pada Farhan. Dengan seksama dan penuh ketelitian, Farhan mencoba menghitung kembali. Namun ternyata memang benar adanya, sesuai yang dihitung sebelumnya.
"Jadi bagaimana kalian melunasi lima persen kekurangan itu?" tanya Danish.
"Biar saya yang melunasinya. Tuliskan saja nomor rekening Anda di berkas itu. Setelah tanda tangan kesepakatan pelunasan hutang, masalah diantara kita selesai," jawab Farhan dengan tegas.
Danish mencoba mempercayai itu. "Oke, To beritahu dia nomor rekening perusahaan kita," ucapnya kepada Rinto, sekertarisnya.
Farhan membuka aplikasi mobile bank di ponselnya dan mulai mengirimkan uang sesuai yang tertera dalam berkas.
Satu jam kemudian, proses pelunasan pun telah usai. Mereka saling berjabat tangan. Napas lega pun dikeluarkan oleh Farhan maupun Arifa.
Danish lebih dulu pergi dari sana, lalu disusul oleh Arifa dan juga Farhan. Mobil keduanya pun kini telah pergi dari halaman kantor.
"Kak, darimana Kakak dapet uang sebanyak itu? bukannya Kakak baru dua tahun bekerja?" tanya Arifa yang kini penasaran dengan uang yang dimiliki Farhan.
"Mau tahu ya?"
...Bersambung ......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
taburan like 👍 untuk Karya keren ini 😍
2022-10-21
1
Titik pujiningdyah
jangan sampai hutang bank keliling ya han🤭
2022-09-20
1