Arifa dan Farhan melihat papahnya sedang tertegun seolah sedang memikirkan sesuatu. "Papah!" ucap keduanya bersamaan, membubarkan lamunan Zakaria.
Farhan mendekati papahnya, namun tak sengaja ia melihat kertas dan amplop yang saling menindih di atas meja. Dengan rasa penasaran, Farhan pun mengambil kertas itu dan membacanya. Dan beberapa saat kemudian, ia menghampiri Zakaria.
"Apapun keputusannya nanti, mungkin itu yang terbaik buat kalian. Aku maupun Arifa gak bisa melarang dan mencegah yang udah jadi takdir kalian. Terlepas dari alasan mamah dibalik semua ini, aku cuma bisa berdoa. Semoga keputusan yang diambilnya gak akan dia sesali di kemudian hari."
Zakaria tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya setelah mendengar perkataan anak sulungnya itu. Memang benar yang dikatakan Farhan tadi. Sejatinya, tidak ada yang menginginkan sebuah perpisahan. Apalagi perpisahan itu menimbulkan efek samping yang mendalam di hati.
"Farhan, mau gak kamu bantu Papah di perusahaan? soalnya setelah adikmu lulus sekolah, ia ingin kuliah di Korea Selatan. Papah cuma berharap, dengan adanya kamu disini perusahaan bisa bangkit lagi," pinta Zakaria membuat Farhan berpikir sejenak.
"Baiklah, Pah. Tapi, mungkin seminggu ke depan aku akan kembali ke tempat kerjaku untuk mengajukan pengunduran diri dari sana."
Zakaria pun menyetujuinya. "Makasih banyak ya, Farhan." Ia memeluk anak sulungnya itu kemudian.
...****************...
Dua hari kemudian setelah surat pemanggilan diterima oleh Zakaria, kini tiba penentuan nasib pernikahannya bersama Sinta.
Suasana di ruang sidang masih sepi. Kali ini Zakaria datang bersama Arifa dan juga Farhan. Tak lama kemudian datang segerombol para perempuan sosialita memasuki ruang sidang. Satu diantara mereka ada Sinta di sana.
Manik mata Arifa memperhatikan mamahnya yang hanya memberikan lirikan mata tanpa menghampiri dirinya. Ia semakin penasaran dan bertanya dalam hati, kenapa mamahnya sekarang seakan benci padanya? harusnya dia yang membenci perempuan yang telah melahirkannya itu? pikir Arifa demikian.
Beberapa menit berlalu, sidang pun dimulai. Zakaria dan Sinta dipanggil untuk maju ke depan kemudian duduk di kursi yang berada di depan hakim ketua.
"Saudari Sinta sebagai penggugat, apa alasan Anda menggugat cerai suami Anda sendiri?" tanya hakim ketua dengan tegas.
"Selama dua puluh lima tahun saya menikah dengannya, saya sering melihatnya mabuk-mabukkan, melakukan kekerasan kepada saya, dan juga sampai selingkuh dari saya. Saya udah gak kuat bertahan dengannya Pak Hakim."
Arifa yang mendengar itu seketika emosinya tersulut. Beruntung ada Farhan disampingnya. Dengan sigap, Farhan menahan tangan Arifa untuk tidak berdiri. Padahal, kedua matanya sudah memerah. Ia merasa semakin kecewa bahkan benci dengan mamahnya itu.
Bisa-bisanya Sinta mengatakan hal yang gak pernah aku lakukan. Siapa yang telah membuat dia seperti ini? Batin Zakaria. Ia hanya terus mendengarkan apa yang akan dikatakan Sinta selanjutnya.
"Selain itu, apa ada hal lain yang menjadikan Anda bersikukuh pada perceraian ini?" tanya Hakim Ketua lagi.
"Dia sering mengekang saya. Itulah kenapa saya memilih mencari uang sendiri. Saya ingin bebas, saya bukan binatang yang bisa seenak egonya menjadikan saya sebagai pantulan dari dirinya sendiri. Sekarang, saya udah benar-benar muak dengannya. Kami juga udah pisah ranjang, dan selama enam bulan terakhir ini saya udah gak tinggal di rumahnya lagi."
Penjelasan Sinta membuat Zakaria menarik napas panjang. Kini laki-laki paruh baya itu sudah tersadar. Perpisahan baginya itulah yang terbaik. Terbukti dari apa yang dikatakan Sinta tentangnya. Kalaupun kembali baginya sudah tidak mungkin. Sakit yang ditoreh Sinta barusan menandakan Zakaria sudah bukan jodohnya lagi.
"Untuk kedua anak-anak Anda, harus tinggal dengan siapa?"
"Saya sendiri menyerahkan ke mereka, sebab mereka udah besar dan bisa menentukan pilihannya sendiri," jawab Zakaria dengan sikap tenangnya walau hatinya sangat terbakar api amarah.
"Untuk harta gono gini, apa sudah di tentukan?"
Dengan cepat Sinta menjawab, "Saya gak butuh harta dia, toh harta saya juga udah banyak!"
Zakaria menghela napasnya. Sebenci itukah Sinta kepadanya? sampai sepanjang jalannya persidangan, Sinta bahkan enggan untuk menatap laki-laki yang pernah bersamanya selama dua puluh lima tahun itu.
Di belakang, Arifa terus menangis tanpa suara di pelukan sang kakak. Siapa yang tahu, perasaan Farhan pun sebenarnya kalut. Saat cintanya juga telah berakhir, kini melihat akhir dari perjalanan kedua orang tuanya itu. Tangis yang ingin dikeluarkan Farhan pun sengaja ia tahan. Karena tidak ingin melihat adik semata wayangnya itu tambah bersedih, terlebih Zakaria.
"Lalu, bagaimana perasaan Anda, Pak Zakaria dengan gugatan yang diajukan oleh istri Anda. Apakah Anda keberatan?"
"Awalnya iya, tapi setelah mendengar semuanya dari mulut istri saya sendiri. Saya jadi yakin, kalau cerai adalah jalan terbaik untuk kami berdua," jawab Zakaria sambil menatap Sinta yang pandangannya terus lurus ke depan.
Secara tidak langsung Zakaria telah menjatuhkan talak di depan hakim untuk Sinta. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya hakim pun memberikan keputusan.
"Saya sudah mendengar baik dari penggugat maupun tergugat. Keduanya sudah sama-sama berlapang dada untuk bercerai ... baiklah dengan ini permohonan penggugat untuk bercerai dikabulkan." Hakim ketua mengetuk palu sebanyak dua kali. "Berhubung sudah selesai, sidang saya tutup. Terima kasih dan selamat siang," sambung Hakim ketua sambil mengetuk palu sebanyak tiga kali.
Sidang pun selesai, Sinta beranjak dari kursi itu dan berjalan menghampiri teman-teman sosialitanya kemudian keluar ruangan tanpa bertegur sama baik dengan Zakaria maupun kedua anaknya. Sebab, rasa puas pun telah ia rasakan setelah hakim mengabulkan permintaannya.
Sementara itu, Arifa langsung menghapus air mata yang sejak tadi mengalir sampai membasahi baju Farhan dan bangkit dari tempat duduk untuk menghampiri Zakaria. Dipeluknya sang ayah dengan erat, sedangkan Farhan mengelus lengan laki-laki paruh baya itu sebagai isyarat kalau papahnya harus lebih kuat setelah ini.
...****************...
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Farhan telah siap untuk berangkat ke negara tempat ia bekerja. Arifa yang masih belum bangun pun akhirnya ditinggal sendiri di rumah. Sebab, Zakaria yang akan mengantarkan Farhan ke bandara dan setelah itu langsung pergi ke kantor.
Pukul delapan pagi, Arifa pun terbangun. Ingatannya masih berasa hari kemarin. Mamahnya kini sudah tidak akan kembali ke rumah ini lagi, pikirnya dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih. Kedua kelopak matanya pun terlihat sembab hingga matanya hampir rapat.
Diliatkan tubuhnya, lalu turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Sebelumnya, Arifa menyalakan shower dengan setting-an air hangat. Ia bercermin sejenak untuk melihat dirinya dari pantulan cermin itu.
Kenapa sih nasib kamu gini banget, Fa? Padahal kamu cantik, harusnya kamu bahagia. Punya orang tua yang lengkap dan harmonis. Punya kakak yang sayang sama kamu. Punya teman-teman yang baik. Hah! ya udahlah. Toh udah terjadi, walau aku korban dari broken home. Aku pastikan, rumah tanggaku kelak akan bahagia seutuhnya.
Arifa berbicara pada dirinya sendiri. Setelah itu, iapun mulai melakukan ritual mandinya.
...Bersambung ......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Titik pujiningdyah
Itu si sinta gitu amat yaa😂
2022-09-15
1