"Ku kira akan gagal, tapi ternyata ... mamah benar-benar mengajukan perceraian ke pengadilan. Aku gak tahu lagi harus membujuk mamah bagaimana. Mungkin, memang udah maunya seperti itu."
Arifa beranjak dari sofa menuju kamarnya sambil membawa surat panggilan sidang yang tadi diterimanya dari kurir Pos. Ia segera mengganti pakaiannya yang lebih rapih untuk pergi ke perusahaan papahnya mengantar surat itu.
Dengan perasaan yang masih kalut, sebisa mungkin Arifa tetap tenang menghadapi kenyataan yang pahit ini. Setelah keluar dari rumah, tak lupa ia mengunci pintu sebelum pergi.
Kedua tangannya agak bergetar saat memegang stang motor yang akan ia kendarai. Sling bag yang berukuran cukup besar itu, ia selempangkan di bahunya.
Haruskah aku terima, atau aku lebih keras melarangnya? Tapi rasanya percuma, nanti yang ada mamah semakin meradang.
...****************...
Setelah hampir setengah jam Arifa berkendara, ia akhirnya tiba di depan gedung yang menjulang tinggi dengan sepuluh lantai di dalamnya. Gedung itu tidak lain adalah kantor perusahaan milik papahnya.
Arifa segera melepaskan helm-nya. Lalu turun dari motor dan berjalan masuk ke dalam kantor itu kemudian. Tak lupa dengan berkas yanSaat ia hendak memasuki lobby, seorang petugas keamanan menyapa dirinya.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya petugas itu.
Arifa mengerutkan dahinya dan berpikir sejenak. Mungkin petugas itu baru dan Arifa sendiri pun sangat jarang pergi ke kantor sang ayah, itu sebabnya ia sulit di kenali sebagai anak dari pemilik perusahaan ini, pikirnya demikian.
"Saya mau ketemu sama pak Zakaria," ucap Arifa dengan santainya. Petugas yang kini di hadapannya pun merasa heran.
"Maaf, apa sudah ada janji sebelumnya?"
"Belum, Pak. Tapi ini penting untuk kelangsungan kebahagiaan saya."
Jawaban Arifa membuat petugas itu tercengang dan mengira kalau Arifa memiliki niat tersembunyi kepada pimpinannya itu. Sebelum petugas itu berbicara lagi, Arifa langsung masuk ke dalam. Tak di sangka, Arifa di kejar olehnya.
"Maaf, Anda harus ke reseptionist dulu sebelum masuk ke ruangan presdir," ucap petugas dengan nametag Dandi itu mengingatkan.
"Iya udah deh." Arifa pun pergi ke reseptionist. "Mbak, boleh pinjam teleponnya? saya mau telepon presdir," tanyanya ke seorang perempuan yang berdiri di belakang meja reseptionist itu.
Sambil tersenyum ia memberikan telepon di mejanya untuk Arifa. "Silahkan, Nona Arifa." Ternyata, perempuan itu mengenali Arifa. Petugas yang tadi sempat menghalangi pun menjadi heran.
"Kok kamu tahu namanya?" tanya Dandi pada perempuan itu.
"Nona Arifa ini anaknya pak Zakaria," jelas perempuan itu membuat Dandi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Nona Arifa, saya minta maaf ya karena tidak tahu siapa Nona sebelumnya," ucap Dandi sambil menaruh sebelah tangannya yang menyilang di dada dengan tubuh yang sedikit ia bungkukkan.
Arifa yang baru saja selesai melakukan panggilan telepon dengan papahnya pun tersenyum kepada dua orang yang bersamanya itu. "Gak masalah kok," ucapnya kemudian.
"Silahkan Nona, langsung saja ke lantai lima ya," ucap Dandi sambil mempersilahkan Arifa untuk pergi ke ruangan Zakaria.
"Oke, Pak. Mbak, saya permisi," pamit Arifa lalu meninggalkan mereka di lobby kantor.
Arifa naik ke dalam lift, tak butuh waktu lama iapun sampai di lantai tempat ruangan sang ayah berada. Sebelum masuk, Arifa mengetuk pintu ruangan bertuliskan Presdir itu terlebih dahulu.
Tok, tok, tok. Baru saja Arifa hendak memegang handle pintu. Disaat yang sama, pintu itupun terbuka. Rupanya sekertaris papahnya juga hendak keluar dari ruangan.
"Eh, Arifa ya?" tanya laki-laki itu pada Arifa yang terkejut melihat kehadirannya di sana. Arifa hanya mengangguk sebagai jawaban. "Silahkan masuk, papahmu ada di dalam," sambung laki-laki itu sambil memberi jalan untuk Arifa supaya bisa masuk ke dalam.
"Makasih, om Evan," ucap Arifa kemudian masuk ke dalam ruangan papahnya. Evan pun pergi ke ruangannya.
Di dalam ruangan, ada Zakaria yang masih berbicara pada sambungan teleponnya. Tapi, Arifa tidak melihat kehadiran kakaknya disana.
"Pah, kak Farhan mana?" tanya Arifa saat Zakaria telah menyelesaikan panggilan telepon.
"Oh, tadi dia bilang mau ke restoran. Pacarnya ingin ketemuan," jawab Zakaria dan Arifa pun mengangguk paham.
"Emangnya kak Farhan beneran mau nikah dalam waktu dekat ini, Pah?" tanya Arifa penasaran, iapun duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Sedangkan Zakaria masih duduk di kursi kebesarannya.
"Papah juga belum tahu pasti, Farhan cuma bilang kalau ia ingin segera menikah. Tapi ... Papah sendiri juga belum dikenalin tuh sama pacarnya."
Mendengar hal itu, Arifa merasa sedikit aneh dengan kakak kandungnya. Atau mungkin karena akhir-akhir ini ia sedang banyak pikiran? Arifa segera menghempas prasangka buruk itu.
"Oh iya, omong-omong tumben kamu kemari. Ada apa, Fa?" tanya Zakaria yang baru ingat menanyakan tujuan Arifa menemuinya.
"Ini ... sebentar Pah ... " Arifa segera membuka sling bag yang sejak tadi ia pakai. Lalu mengeluarkan sebuah amplop berukuran standar dan memberikannya kepada Zakaria.
"Apa ini?" tanya Zakaria sambil melihat tulisan pengirim dokumen itu dari pengadilan agama kota D. Perlahan ia membukanya dan Arifa duduk kembali di sofa tadi.
"Mamah benar-benar mau pisah sama Papah. Itu panggilan sidang pertama. Apa Papah tahu alasan mamah melakukan ini?" Arifa merasa jenuh lalu menarik napasnya dalam-dalam.
"Enggak ... Papah juga gak tahu kenapa mamahmu bisa melakukan ini. Sampai detik ini Papah masih terus berpikir keras, apa semua ini salah Papah yang gak pernah Papah sadari?" Zakaria beranjak dari kursi kebesarannya itu, dan berjalan ke arah jendela besar yang ada di ruangannya. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana dengan pandangan yang melihat ke luar jendela.
Arifa pun ikut beranjak dan menghampiri papahnya dengan berdiri bersebelahan.
"Jujur, Rifa kecewa banget sama mamah. Tapi Rifa juga gak tahu apa yang sebenarnya mamah rasakan ... Pah, boleh gak kalau Rifa kuliah di luar negeri? Ada jalur prestrasi yang bisa Rifa tempuh." Arifa memposisikan tubuhnya menghadap Zakaria. Laki-laki dengan rambut yang mulai memutih itu menoleh ke anak perempuannya.
"Apa kamu yakin, Fa?" tanya Zakaria memastikan.
"Iya, aku yakin, Pah," jawab Arifa dengan pasti.
"Lantas kampus di negara mana yang kamu minati, Fa?" tanya Zakaria lagi yang sebenarnya ia tidak ingin jauh dari anak bungsunya itu.
"Korea Selatan."
Mendengar jawaban Arifa, Zakaria langsung bisa menebaknya alasan dibalik keinginan anak bungsunya itu untuk kuliah di sana. Iapun tidak bisa menahan tawa.
"Jangan bilang karena ada Haechan di sana?" tanya Zakaria dengan kedua mata yang sengaja ia sipitkan dan tubuh yang sedikit ia condongkan ke arah Arifa
"Yups! itu salah satunya," jawab Arifa sambil tersenyum dengan menunjukkan barisan giginya yang putih dan rapih.
"Tidak bo-leh." Zakaria melarangnya dengan tegas. Seketika membuat Arifa membuka matanya lebar-lebar.
"Boleh ya, Pah ... please," ucap Arifa dengan raut wajah yang sengaja ia buat sedih supaya Zakaria mengizinkannya.
"Gak bisa, gak bisa! nanti yang ada kamu malah gak fokus belajar, Fa," sergah Zakaria membuat Arifa melemas sambil menjatuhkan punggunggnya menjadi agak membungkuk.
Arifa merasa sedikit kecewa, iapun berjalan kembali ke sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sana. "Ya udah, aku mau pulang aja!" Arifa marah dengan papahnya. Diraihnya sling bag yang tadi sempat ia lepaskan lalu menaruh di bahunya.
Zakaria pun menghela napas, mencoba untuk melunakkan hatinya sendiri dan menghilangkan kekhawatiran berlebih pada Arifa. Kali ini, ia harus mengalah demi masa depan anaknya itu.
Saat Arifa beranjak dari sofa dan mulai berjalan menuju pintu, Zakaria mengatakan hal yang akan membuatnya terkejut.
"Boleh."
Arifa menghentikan langkahnya lalu membalikkan tubuhnya ke arah Zakaria. "Boleh apa, Pah?" tanyanya memastikan.
"Kamu boleh kuliah di Korea Selatan." Arifa bahagia bukan main saat papahnya berkata demikian. Iapun berlari kecil kemudian memeluk Zakaria dengan suka cita. "Tapi ingat, kamu udah dewasa. Tahu mana yang baik dan buruk. Bergaul boleh, tapi harus pintar memilih teman di sana. Papah gak mau anak gadis papah ini sampai salah pergaulan," titah Zakaria dan Arifa pun menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat.
Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka cukup lebar. Arifa melepaskan pelukannya dari sang ayah dan ikut melihat ke arah pintu.
"Loh kok Kakak sendirian? pacarnya mana? gak mau dikenalin ke kami?" tanya Arifa dengan rasa penasarannya.
"Udah putus, tapi baik-baik sih. Ya, mungkin itu demi kebaikan kami berdua," jawab Farhan sambil menutup pintu dan menjatuhkan tubuhnya di sofa.
Arifa maupun Zakaria yang mendengar hal itu saling bertukar pandang.
"Bukannya kamu bilang mau segera menikah, kenapa putus?" Kali ini Zakaria yang bertanya pada anak sulungnya.
"Dia bilang sih sebulan yang lalu udah dilamar orang lain, terus baru sempat bilang ke aku pas banget aku ada di sini. Ya udah, mungkin bukan jodohku. Nanti aku cari lagi, kali aja ada yang mau."
Mendengar ucapan yang sangat pasrah dari mulut Farhan membuat Arifa merasa iba. "Kasian, semoga nanti jodoh Kakak bisa lebih baik dari pacar ... eh salah mantan pacar Kakak, aamiin," ucap Arifa mencoba memberi Farhan semangat.
"Iya, aamiin," sahut Farhan dengan senyum tipisnya.
Berbeda dengan Zakaria, ia hanya terdiam. Seketika pikirannya pun terhenti pada nasib pernikahannya yang berada di ujung tanduk. Bukan di ujung lagi, melainkan sudah di akhir perjalanan. Sebab, pada persimpangan jalan Zakaria dan Sinta, tujuan keduanya pun sudah tak sama lagi.
"Papah!"
...Bersambung ......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
ᴍ֟፝ᴀʜ ᴇ •
💗💗💗
2022-11-02
1
Elisabeth Ratna Susanti
maaf baru sempat mampir di sini 😍👍
2022-10-21
1
Titik pujiningdyah
ada yg datanf kah
2022-09-14
1