Arifa merasakan tidurnya sudah cukup lama semalaman ini. Dilihat jam dinding di kamarnya telah menunjukkan pukul enam pagi. Arifa pun menggeliatkan tubuhnya yang masih berada di dalam selimut merah jambunya itu. Namun sepertinya ia enggan beranjak dari tempat tidur.
Tubuhnya ia miringkan sambil memeluk guling dengan posisi ternyaman. Pandangannya tak sengaja berhenti pada satu bingkai foto yang tertata rapih di atas meja belajarnya. Foto itu diambil saat sehari setelah wisuda Farhan di Yogyakarta. Di dalam bingkai itu, tampak empat orang tersenyum bahagia saat melihat kamera yang akan memotret mereka. Sungguh keluarga yang sempurna.
Akan tetapi, Arifa yang melihat itu justeru hatinya terenyuh. Rasa kecewa terhadap mamahnya itu muncul kembali. Ingin rasanya membenci, tapi tidak bisa. Ingin rasanya memaki, tapi enggan. Rasa serba salah yang kini Arifa rasakan.
Setiap dihadapan Sinta, ia ingin selalu bertanya kenapa? Ada apa? Dan apa yang terjadi sebenarnya? Haruskan sebuah perpisahan sebuah akhir dari kesabaran itu? Tak bisakah kesempatan kedua itu diberi untuk sang ayah?
Tanpa terasa buliran air mata menetes lalu mengalir melewati hidungnya yang mancung dan membasahi sprei di guling yang sedang di peluknya itu. Sebuah air mata yang mengisyaratkan kalau dirinya sulit untuk meluapkan emosinya. Hanya itu yang bisa Arifa lakukan.
Sejak kecil, Arifa memang anak yang periang dan banyak bicara. Apapun hal yang ada di depannya pasti ditanyakan olehnya. Semakin tumbuh dewasa, emosi perasaannya pun berubah. Ia menjadi lebih peka dengan apa yang bisa membuatnya sedih. Maka dari itu, Arifa menghindari rasa cinta kepada lawan jenisnya.
Dan saat ini, seketika dirinya seperti diam di tempat gelap nan sunyi. Yang biasanya setiap pulang untuk liburan sekolah ada mamahnya, kini berbeda.
Tok,tok,tok. Suara ketukan pintu membuatnya terkesiap. Arifa segera menghapus air matanya lalu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Kemudian, ia pun beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu kamarnya.
"Eh, Kak Farhan," ucap Arifa sesaat setelah pintu ia buka. "Ada apa Kak?" tanyanya kemudian.
"Baru Kakak mau ajak sarapan, eh ternyata kamu belum mandi, Fa?" Farhan melipat keduat tangan di dadanya dan menunjukkan raut wajah seolah-olah marah pada adiknya itu.
"Hehe, aku baru bangun Kak. Semalam kan tidur larut banget," jawab Arifa sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum menunjukkan barisan giginya yang putih dan rapih.
"Mandi sana! Ditungguin loh buat sarapan bareng," titah Farhan membuat Arifa berdecak lalu memajukan bibirnya.
"Iya, iya. Rifa mandi kok habis ini."
"Ya udah, tapi jangan lama-lama ya!" ujar Farhan lalu meninggalkan Arifa yang masih berdiri di depan pintu kamar.
Setelah Farhan menghilang dari pandanganya, Arifa masuk dan menutup pintunya kembali. Ia segera bergegas untuk mandi supaya tubuhnya lebih segar.
Setengah jam berlalu, kini Arifa telah selesai dengan kegiatan mandi dan juga memakai pakaian santainya. Ia segera pergi ke ruang makan, karena tidak ingin Zakaria dan Farhan menunggu lama.
"Pagi semuanya," sapa Arifa dengan santainya.
"Pagi Tuan Putri," sahut Zakaria. Sementara Farhan tertawa mendengar papahnya berkata demikian.
"Yuk makan, Tuan Putri sudah datang. Jeng jeng jeng jeng ...." Farhan menirukan suara para prajurit sebuah kerajaan. Arifa langsung menepuk Farhan yang sudah duduk di kursi sejak tadi.
"Aduh! sakit, Fa," keluh Farhan sesaat setelah Arifa tepuk punggungnya.
"Hehe, padahal pelan loh Rifa nepuknya. Lebay deh Kak Farhan!" cibir Arifa sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan kakaknya itu.
"Hahaha, udah ah makan. Laper nih!" ucap Farhan seraya mengambil sarapannya yang tersedia di atas meja.
...****************...
Setelah sarapan, Farhan dan Zakaria bersiap untuk pergi ke perusahaan bersama. Sedangkan Arifa sibuk mencuci piring-piring yang kotor dan juga merapihkan meja makan serta dapur.
Walau ini yang pertama kalinya bagi Arifa, tapi ternyata dia cukup cekatan melakukannya. Setelah ia selesai, Zakaria dan Farhan pun hendak berangkat.
"Kamu hari ini gak kemana-mana kan, Fa?" tanya Zakaria.
"Enggak kok Pah. Rifa mau cari refrensi tempat kuliah," jawab Arifa dengan santainya.
"Kalau bisa cari yang masih satu kota ya, biar bisa Papah antar jemput," usul Zakaria, akan tetapi Arifa sendiri masih belum bisa memastikan bisa atau tidaknya. Arifa tampak berpikir.
"Nanti Rifa usahain deh, Pah. Kalau dapatnya di luar kota gimana?" tanya Arifa dengan sedikit perasaan takut tidak diperbolehkan.
"Ya apa boleh buat, kamu udah dewasa. Udah harus tahu mana yang baik, mana yang buruk. Apapun keputusan kamu dimana kamu akan menempuh ilmu akan Papah dukung."
Mendengar ucapan Zakaria, hati Arifa pun bahagia bukan main. Manik matanya pun berbinar.
"Makasih banyak, Pah." Arifa memeluk sang ayah yang juga ikut tersenyum.
Laki-laki paruh baya itu sudah tidak bisa lagi mengekang Arifa untuk mengikuti kemauannya. Selama ini, Arifa sudah menjadi anak yang penurut untuk kedua orang tuanya. Kali ini, sudah tiba saatnya untuk bisa membebaskan menentukan pilihannya sendiri, pikir Zakaria demikian.
"Sama-sama ... ya udah kami pergi dulu ya. Kamu di rumah baik-baik, kalau ada apa-apa segera hubungi Papah atau gak Farhan ya , Fa," ucap Zakaria.
"Siap, Bos!" jawab Arifa sambil memberi tanda hormat dengan telapak tangan yang ia taruh di ujung alisnya.
Farhan yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya pun membuntuti Zakaria, ikut pergi meninggalkan Arifa sambil mengacak-acak rambut adiknya itu.
"Kakak!" teriak Arifa membuat Farhan berlari kecil keluar dari rumahnya sambil tertawa.
Setelah kedua laki-laki itu pergi, Arifa menutup pintu rumah yang tak lupa ia kunci. Lalu pergi ke kamarnya kembali.
Sebelum Arifa membuka laptop untuk mencari perguruan tinggi terbaik sesuai dengan jurusan yang akan diambilnya, ia memilih pergi membuka sebuah pintu geser yang mengarah ke balkon rumah di lantai dua ini.
"Hah, segarnyaaa ... sejuk banget cuaca pagi ini," ucap Arifa sambil melebarkan kedua tangannya ke samping. Ia pun berolahraga ringan untuk melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku.
Dari ujung pandangannya, Arifa melihat sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan baju singlet yang menampakkan kedua otot dilengan hingga tangan serta celana training panjang dan sepatu sneakers-nya.
Tampan. Itulah yang tersirat di benak Arifa. Walau laki-laki itu tampak sangat dewasa, tapi aura yang dimiliki cukup memikat kaum hawa. Arifa pun bertanya-tanya di dalam hati.
Siapa laki-laki itu? Aku baru lihat dia di sekitar kompleks rumah. Apa dia warga baru di sini?
Tak ingin tertangkap basah oleh laki-laki itu bahwa dia sedang memperhatikannya, Arifa segera masuk kembali ke dalam kamar dan tak lupa menutup pintunya.
Huft! hampir aja.
Arifa mengambil laptopnya yang berada di atas meja belajar, lalu membawanya ke atas tempat tidur yang masih berantakan. Ia mulai menyalakan laptop tersebut. Sambil menunggu, Arifa membuka sosial medianya untuk mengecek Haechan sedang live streaming atau tidak.
Arifa sedikit kecewa kalau Haechan ternyata sedang off saat ini. Tapi di sisi lain sebenarnya beruntung, karena jika ia sudah fokus menonton idolanya itu. Rencana untuk mencari refrensi perguruan tinggi pun bisa gagal.
Setelah laptop menyala dengan sempurna, barulah Arifa mulai mengetik di kolom pencarian google. Tak hanya itu, ia juga sambil membuka grup obrolan teman satu kelasnya untuk mendapat info.
...****************...
Tak terasa pagi mulai beranjak siang, Arifa sudah menemukan beberapa tempat perguruan tinggi yang ia pilih sesuai minatnya. Tinggal nanti di diskusikan kembali dengan papah dan juga kakaknya itu.
"Udah jam satu ternyata, tidur siang dulu ah," ucap Arifa bermonolog sambil mematikan kembali laptopnya dan ia taruh ke tempatnya semula.
Namun saat ia hendak merebahkan tubuhnya, tiba-tiba suara bel rumah pun berbunyi.
"Permisi, paket!"
Teriakan laki-laki yang terdengar seorang kurir pun mengurungkan niat Arifa. Sang penghuni pun bergegas turun dari lantai dua untuk membukakan pintu.
Ceklek. Setelah pintu terbuka, benar saja. Seorang kurir berompi warna orange dengan tulisan Pos Indonesia tengah berdiri di depan pintu rumah Arifa.
"Kak, ada paket dokumen atas nama Zakaria dengan alamat Komplek Permata Timur nomor dua puluh sembilan, apa benar ini rumahnya?" tanya kurir itu pada Arifa.
"Iya benar, Pak. Dokumen apa ya? Ada keterangannya gak?" tanya Arifa kembali.
"Maaf, Kak. Disini hanya tertulis dokumen rahasia, jadi saya juga tidak tahu isinya dokumen apa," jawab kurir, Arifa pun menghela napasnya sambil menerima dokumen yang di antar kurir tersebut. "Minta tolong untuk tanda tangan penerima disini ya, Kak," sambungnya sambil menunjuk ke arah kolom di kertas yang harus Arifa tandatangani.
Arifa pun langsung menandatanganinya. Setelah itu kurir pun pergi. Arifa menutup pintunya kembali. Dengan rasa penasaran, ia pun duduk di sofa ruang tamu. Dibukanya perlahan dokumen yang di kemas sangat rapih itu.
Setelah berhasil dibuka, dengan teliti Arifa membacanya. Hatinya tersentak, matanya pun mulai berkaca-kaca dan tanpa butuh waktu yang lama air mata itu sudah membendung di ekor matanya yang siap sewaktu-waktu bisa jatuh kapan saja.
"Ku kira akan gagal, tapi ternyata ... "
...Bersambung ......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
lanjut
2023-02-15
0
Elisabeth Ratna Susanti
triple like 👍👍👍
2022-10-16
1
Titik pujiningdyah
surat cerai ini
2022-09-13
1