"Teteh ... "
Arifa menoleh ke arah Diana sambil menaruh jari telunjuknya di bibir, memberi isyarat supaya Diana untuk diam.
"Kamu lagi dimana, Fa? kok ada suara perempuan? itu siapa?" tanya Farhan setelah mendengar suara Diana di ujung telepon.
"Di rumah bi Lina, Kak. Tadi aku sempat ke butik mamah, niatnya mau ngajak nonton. Tapi, lihat butiknya ramai gak jadi deh. Kalau yang tadi itu suaranya Diana kak," jelas Arifa diiringi helaan napas.
"Oh gitu. Udah beda banget ya sekarang suaranya. Jadi lebih nge-bass." Farhan dan Arifa tertawa bersamaan.
"Kakak sih kelamaan di sana, suara sepupu sendiri aja sampai gak kenal!" ledek Arifa sambil tertawa.
"Iya juga ya, hehe ... ya udah, jangan sedih ya. Kan masih ada Kakak sama papah. Nanti kalau Kakak udah di rumah kita nonton deh," bujuk Farhan kepada adik perempuan satu-satunya itu.
"Tapi kan sebentar lagi Kak Farhan mau nikah, aku sendirian deh di rumah." Arifa malah menangis, suaranya sedikit terdengar lebih sengau. Sementara Diana yang duduk di sebelahnya, berusaha menenangkan dengan mengelus-elus punggungnya.
"Hei, Arifa cantik. Jangan nangis ya, toh kalaupun Kakak udah nikah. Kakak bakal tinggal di Indo kok, tenang aja. Kalau perlu Diana suruh menginap di rumah biar bisa nemenin kamu," bujuk Farhan kembali. Mendengar bujukan sang kakak, Arifa tersenyum walau Farhan tidak melihatnya.
"Oke deh Kakakku yang ganteng ... nanti kita sambung chatting aja ya, Kak. Dah, Kakak."
"Dah, Arifa."
Sambungan telepon pun berakhir. Arifa menaruh ponselnya di atas kasur lalu menatap Diana dengan senyum tipis yang ia tunjukkan.
"Gak usah sok kuat deh, Teh. Sekeras apapun wanita mencoba menjadi kuat, sejatinya kelemahan itu tetap ada. Gak apa-apa kalau Teteh mau nangis, curhat sama aku. Sebisa mungkin aku ada buat Teteh."
Diana memang masih berusia 16 tahun, tapi pemikirannya yang dewasa tidak dapat dibandingi. Sebab, Diana pernah berada di posisi Arifa. Bedanya, ayahnya lah yang meninggalkan ia dan ibunya. Saat itu usianya masih 6 tahun. Padahal, Diana dan ayahnya begitu dekat. Rasa kehilangan pun hingga saat ini masih membekas. Hingga di usianya menginjak 9 tahun, ibu Diana menikah lagi. Beruntung laki-laki yang mau menikahi ibunya itu juga sangat menyayanginya seperti anak kandungnya sendiri.
Dengan sebuah kondisi yang pelik, keadaan yang menuntutnya menjadi lebih dewasa dalam berpikir dan bersikap. Walau demikian, ia tetap menghormati ayah kandungnya yang sampai saat ini entah berada dimana, entah masih hidup atau telah tiada.
Diana yakin, suatu saat ia pasti akan bertemu dengan sang ayah. Bagaimanapun kondisinya, rasa kecewa memang masih ada. Akan tetapi, saat ia menikah kelak. Sosok sang ayah yang akan ia dibutuhkan untuk menjadi walinya, pikir Diana demikian.
Arifa meluapkan tangisannya hingga perasaannya benar-benar lega dan kedua matanya sembab memerah. Diana membiarkan Arifa di kamarnya untuk memulihkan perasaannya sejenak.
"Di, Teteh tuh gak mau mamah sama papah kayak gini. Apa mereka udah gak sayang lagi sama Teteh, Di?" tanya Arifa yang hatinya masih berkabut kesedihan. Akal sehatnya belum sepenuhnya sadar untuk bisa berpikir lebih jernih.
"Siapa sih Teh yang mau orang tua kita pisah? aku yakin setiap anak kebanyakan gak mau ada yang mau jadi korban orang tua ... Teteh mending, walaupun mamah Teteh gak satu rumah lagi, tapi tetep bisa ketemu. Kalau aku, pas bapak pergi gak tahu tuh batang hidungnya ada dimana sekarang." Tanpa disadari, Diana membuka luka lama kembali. Arifa tercekat lalu menghentikan tangisannya.
"Maaf ya, Di. Teteh gak maksud bikin kamu jadi ikut emosi," ucap Arifa sambil menghapus air matanya.
"Haha, iya Teh gak apa-apa. Santai aja. Aku cuma gak mau Teteh sedih terus. Asal Teteh tahu ya, sejak bapakku pergi, aku punya sebuah tekat yang kuat," ujar Diana dengan santainya dan penuh percaya diri.
"Tekad apa itu?" tanya Arifa penasaran.
"Teteh diem ya, dengerin baik-baik," perintah Diana sambil mendekatkan wajahnya di telinga Arifa. Sementara itu, Arifa pun menurutinya.
Duuuud prepetprepet cussss
"Dianaaaaaa! jorok! astaga! bi Linaaaaaa ... anaknya nih jorok banget ampun dah!" teriak Arifa sesaat suara musik alam bersenandung. Diana tertawa terbahak-bahak bahkan tubuhnya sampai terpingkal di atas kasur. Apalagi saat melihat ekspresi wajah Arifa yang sebelumnya sangat fokus sekali.
"Tuh kan, Teteh terlalu serius sih jadi perempuan!" ujar Diana kembali yang kemudian berdiri di samping kasur. "Ingat Teh, perempuan hanya harus fokus pada 3 hal. Saat mengendarai kendaraan, saat makan dan saat berjalan tengah malam sendirian. Selebihnya, percaya boleh pada hal apapun di dunia ini, tapi jangan pernah terlalu mengharapkannya. Cukup sama Tuhan aja kita berharap dan meminta, sekian pidato dari saya selebihnya mohon maaf. Selamat siang."
Arifa ternganga mendengar perkataan Diana barusan. Ia pun ikut berdiri lalu memegang kening sepupunya itu dengan pungung tangan kanannya kemudian mengeleng-gelengkan kepalanya dan bertepuk tangan.
"Hebat loh, padahal gak panas. Dapet kata-kata itu darimana, Di?" tanya Arifa yang masih tidak percaya.
"We O we, Wow! itu hasil improvisasi pelajaran PPKN dari ini, Teh."
Arifa semakin tidak menyangka, sebab selama ini jika bertemu dengan Diana, anaknya sangat pendiam. Ya, memang pertemuan mereka tidak selama sekarang. Sebelumnya, pasti bertemu ketika sedang ada acara keluarga saja selebihnya mereka sibuk dengan sekolah masing-masing.
"Ada ya, improve pelajaran kayak gitu? Teteh baru denger loh, Di."
"Tuh kan, Teteh belajar juga terlalu serius dan fokus sama kata-kata di buku pasti. Kalau aku tuh ya, saking bencinya pelajaran PPKN karena kebanyakan kata-kata, aku ubah aja dari pola pikir menangkap pelajaran itu. Tapi ya, emang bener. Ternyata ada hubungannya juga sama kehidupan sehari-hari. Kecuali, kalau sama gurunya suruh jawab essay dan harus plek ketiplek sama di buku. Udah deh, paling males aku."
Penjelasan Diana hanya ditanggapi dengan satu kata "Oh" oleh Arifa karena tidak tahu lagi harus jawab apa.
"Omong-omong, makan dulu yuk Teh, laper bestie abis mikir tadi di sekolah," ajak Diana sambil meraih tangan Arifa dan berjalan ke arah pintu.
"Iya, iya." Arifa pun mau tak mau mengikuti sepupunya yang sekarang ia anggap konyol itu.
...****************...
Hari sudah beranjak sore, Arifa ketiduran setelah makan siang tadi di kamar Diana. Pintu kamar yang tiba-tiba ada yang buka, membuat Arifa terbangun. Ia melihat waktu pada jam dinding yang ada di kamar sepupunya itu telah menunjukkan pukul 4 sore. Kemudian ia menoleh ke arah pintu. Seorang anak laki-laki yang mengendap-ngendap masuk ke dalam untuk mengambil sesuatu.
Arifa pun duduk di atas kasur dan memperhatikan anak itu yang tak lain adalah Zaki.
"Ngapain Zaki?" tanya Arifa membuat Zaki terkejut.
"Mau ambil mainan Zaki, Teh," jawab Zaki sambil mencari-cari mainan yang ia maksud di sana.
Diana yang mendengar suara Zaki di kamarnya langsung terperanjat duduk.
"Mainan apaan sih Zaki?"
Kali ini Zaki semakin terkejut. Ia pun hanya tersenyum sambil menunjukkan barisan giginya yang rapih itu.
"Itu, Teh ... mainan yang kemaren Zaki lihat Teteh bawa-bawa pulang sekolah."
"Ya ampun inget aja lagi ini anak!" Diana menepuk keningnya. "Itu mainan temen Teteh, Zaki ... buat eksperimen pelajaran Sains."
"Eh, kirain itu buat Zaki ... Zaki sampe tanya emak ulang tahun Zaki kapan. Kata emak tahun depan."
Diana dan Arifa saling bertukar pandang lalu tertawa bersama. Sedangkan Zaki yang merasa malu juga ikut tertawa.
"Eh, Di. Udah sore, Teteh pulang dulu ya. Oh iya kamu ada Whatsapp? sini aku minta!" titah Arifa lalu menyalakan layar ponselnya dan membuka aplikasi yang ia maksud. Begitu pula dengan Diana. Keduanya saling bertukar nomor melalui scan barcode. "Nanti kalau mau main lagi Teteh WA kamu ya," sambung Arifa.
"Ashiaap!"
Arifa bersiap-siap untuk pulang ke rumah.
"Zaki mau kemane? mandi dulu udeh sore!" Teriakan Lina terdengar saat Zaki tiba-tiba pergi ke luar rumah.
"Sebentaran doang, Mak! ada temen Zaki nyamper, ntar Zaki balik lagi," sahut Zaki kemudian hilang dari pandangan Lina.
"Emang bener-bener tuh anak ye cepet banget ilangnye, bukannye mandi malah main!" kesal Lina pada anak bungsunya itu.
"Kebiasaan emang tuh Mak si Zaki," sahut Diana yang bersama Arifa menghampiri Lina di ruang tamu.
"Eh, Arifa rapih amat. Mau pulang?" tanya Lina.
"Iya, Bi. Udah sore," jawab Arifa kemudian.
"Ya udeh, bae-bae ye naik motornye. Jalanan rame banget soalnya jam segini. Pasti macet noh di perempatan depan," ucap Lina mengingatkan Arifa.
"Iya, Bi. Arifa pulang dulu ya ... Di, Teteh pulang dulu. Daah."
...****************...
Setibanya di rumah, Arifa langsung lekas mandi. Dikiranya Zakaria sedang berada di kamar, ternyata sampai ia selesai mandi rumah itu masih sangat sepi. Waktu pun telah menunjukkan pukul 6 sore. Arifa bergegas menyalakan semua lampu di rumahnya. Tak lama, terdengar suara mobil berhenti.
Arifa melihat ke luar jendela. Ternyata papahnya baru saja sampai, wajah laki-laki berusia hampir setengah abad itu tampak lelah. Arifa segera menghampiri papahnya dengan membukakan pintu.
"Eh, Arifa ... gimana mainnya hari ini? tadi Lina sempat kasih tahu Papah di Whatsapp kalau kamu ada di sana katanya. Kok kamu gak bilang sama Papah?" sapa Zakaria pada anak perempuannya itu.
"Maaf, Pah. Aku terlalu sibuk lihat Haechan di Instagram, hehe .... "
"Duh, kamu ini ... Papah ke kamar dulu ya, kamu udah makan belum?"
"Belum, Pah. Tadi ketiduran di kamar Diana sampe sore, maklum bi Lina masak banyak banget terus harus suruh di makan. Aku kekenyangan, eh terus ketiduran."
Zakaria tertawa mendengar cerita Arifa. "Ya udah, kamu pesan makanan lewat Ojol aja ya. Papah capek banget kalau keluar rumah lagi, habis banyak kerjaan soalnya di kantor," perintah Zakaria sambil memijat lehernya.
"Oh iya, Pah. Memangnya Papah mau makan apa? biar Rifa yang pesenin sekalian."
"Ikut kamu aja deh, harus ada sayurnya ya!" jawab Zakaria sebelum akhirnya pergi meninggalkan Arifa untuk ke kamarnya.
"Oke."
...****************...
Para geng sosialita tengah seru mengocok sebuah tabung kecil yang mereka beri lubang sebesar sedotan di atasnya. Sepertinya mereka yang berjumlah 10 orang itu tengah asik berkumpul untuk sebuah arisan.
Satu diantaranya adalah Sinta. Dirinya ikut deg-deg-an serta berharap kali ini ia yang dapat. Mayoritas geng itu para ibu-ibu berpenghasilan jutaan dalam satu bulan. Serta penghasilan itu adalah hasil dari kerja keras mereka sendiri tanpa bantuan dari seorang suami.
Tanpa sepengetahuan Zakaria, sebenarnya Sinta telah bergabung dalam geng itu sejak Arifa masuk akademi. Gaya hidup yang mewah, baginya menjadi hal yang lumrah saat ini.
"Ayok, kocok kocok. Semoga aku yang dapat."
"Aku dong jeng, semoga aku."
"Hei, udah udah. Mari kita lihat siapa yang dapat malam ini."
Sebuah gulungan kertas kecil pun keluar dari tabung itu. Satu orang lainnya mengambil lalu membukanya.
"Siap ya ... eh tapi tunggu! yang dapet kali ini kita makan atau liburan?" tanya perempuan berpakaian nyentrik dengan perhiasan yang berkilauan di lengannya.
"Liburan dong!" jawab mereka serempak.
"Sekarang kan udah makan-makan jeng," sahut salah seorang laki-laki yang juga bagian dari mereka.
"Oke ... siap ya, satu ... dua ... tiga! eng ing eng ..."
...Bersambung ......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
ᴍ֟፝ᴀʜ ᴇ •
jangan larut dalam sedih arifa, yakin ada hikmah dibalik ini semua
2022-10-31
2
ᴍ֟፝ᴀʜ ᴇ •
ppkn teh? jamanku udah ganti pkn🤭
2022-10-31
1
ᴍ֟፝ᴀʜ ᴇ •
apaan tuh di🤣🤣🤣
2022-10-31
0