Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi. Di kafe tempat Sinta berada semakin siang menjadi semakin ramai. Kekesalannya terhadap Keenan sulit untuk diluapkan. Akhirnya Sinta pun pergi dari sana setelah sebelumnya membayar menu yang telah ia pesan.
Dilajukannya mobil sedan vios berwarna abu-abu sambil menyalakan musik yang sangat menyentuh hati. Air mata Sinta pun membendung di ekor mata hingga akhirnya terjatuh dan mengalir membasahi kedua pipinya.
Sepanjang perjalanan, Sinta hanya meluapkan apa yang tengah dirasakannya saat ini. Kemudian tak sengaja, ia melihat sebuah taman yang tampak sepi. Sinta pun menepi lalu menghapus air matanya dan memilih pergi ke taman itu.
Suasana di sana terasa tenang dengan suara gemercik air dari aliran sungai kecil di tengah taman. Sorotan sinar matahari pun kebetulan belum begitu menyilaukan mata. Sinta duduk di sebuah kursi dengan pemandangan menghadap ke aliran sungai itu. Dipejamkan kedua matanya, mencoba untuk menenangkan emosinya, dan berusaha untuk sadar.
Perlahan, pikirannya mulai tenang. Tiba-tiba teringat masa dimana saat Farhan yang masih berusia 5 tahun dan ia sedang mengandung Arifa. Sinta menganggap kalau anak-anaknya itu sebagai kekuatan untuknya. Di sisi lain, ia pun teringat akan sosok Zakaria. Laki-laki yang menikahinya sudah lebih dari 25 tahun tapi sangat sulit ada waktu untuknya.
Seketika mata itu terbuka, Sinta kemudian menangis tergugu sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Hatinya terasa seolah tertusuk duri dan menyesakkan dada. Pernikahan yang awalnya sempat ia rasakan bahagia, kini sudah berada diujung tanduk.
Sebenarnya ia tidak ingin, tapi karena rasa lelah menjadi seorang istri yang seolah kehilangan sosok seorang suami. Mau tak mau, keputusan itu harus ia ambil. Sebab ia ingin bahagia, ingin merasa dicintai dan disayangi.
"Tinggalkan dia, atau kamu tidak akan pernah bahagia dengan pernikahanmu!"
Kata-kata itu selalu terngiang di telinga Sinta. Dan seiring berjalannya waktu, seolah perkataan itu benar adanya. Padahal sejak lama orang yang mengatakan itu telah tiada.
Dan orang itu tiada lain adalah ibu kandung Sinta sendiri. Sebab sang ibu pernah memergoki sikap Zakaria kepada Sinta seminggu sebelum pernikahannya berlangsung.
Entah kenapa, hatinya bilang kalau keputusan yang akan ia ambil saat ini sudah sangat yakin. Sinta menghapus kembali air matanya, lalu berdiri dan pergi dari taman itu. Ia pun melajukan mobilnya kemudian.
Sampai tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 12 siang. Ia memilih untuk mengisi perutnya yang sudah terdengar keroncongan itu ke sebuah pusat perbelanjaan.
Setelah memarkirkan mobilnya, ponselnya tiba-tiba berdering. Tertera nomor butik di sana. Sinta segera menjawabnya.
"Ya, hallo."
"Bu Sinta dimana? ini ada orang yang mau konsultasi soal gaun pernikahan sama Ibu. Dari tadi saya telepon Ibu gak dijawab-jawab."
Sinta menghembuskan napasnya sambil memijat keningnya. "Maaf, saya lagi ada urusan dan ini juga mau makan siang dulu. Orangnya udah lama di butik?"
"Udah dari setengah jam yang lalu, Bu."
Sinta mengusap kasar wajahnya. "Peny, tolong sampaikan permintaan maaf saya ya. Terus tanyain bisa di reschedule gak gitu."
"Iya, Bu. Sebentar."
Kening Sinta mengernyit saat mendengar asisten butiknya berbicara dengan customer itu.
"Suara itu, bukannya .... " ucap Sinta dalam hati. Ia seperti mengenali dan bisa menebak siapa customer yang mau menunggunya selama itu di butik.
"Bu, Ibu. Hallo?"
"Eh iya, gimana Peny?"
"Katanya kalau akhir pekan bagaimana, Bu?"
"Akhir pekan ya ... oke deh kalau begitu. Nanti saya aja yang ke butik, kamu seperti biasa libur ya."
"Baik, Bu."
Sinta memutuskan sambungan telepon itu kemudian. Ia melihat ponselnya, ternyata benar. Peny sudah puluhan kali menelepon dirinya. Begitupun dengan Arifa yang tanpa sepengetahuan Zakaria, ia mencoba menghubungi mamahnya itu.
"Arifa ... ya ampun aku sampai lupa kalau hari ini pengambilan raport-nya. Ah, ya udahlah. Pasti ada mas Zaka yang menjemputnya. Nanti biar aku bicara dengannya setelah ia sampai di rumah," ujar Sinta sambil menaruh kembali ponselnya ke dalam tas. Ia pun keluar dari mobil kemudian.
...****************...
Kini giliran Zakaria memesan menu kesukaan Arifa. Dirinya tampak tak tenang setelah melihat keberadaan Sinta di pusat perbelanjaan yang sama.
"Saya mau pesan, beef burger satu, kentang goreng ukuran sedang satu, fried chicken sama nasi satu, vanilla latte satu, salad buah satu."
"Baik, saya ulangi ya ... "
"Gak usah, Mas! saya buru-buru." Zakaria kemudian mencari keberadaan Arifa di restoran itu. "Nanti langsung antarkan aja ke meja nomor 15 yang di sana ya," sambung Zakaria sambil menunjuk ke arah Arifa yang tengah duduk di sana. Ia pun mengeluarkan sebuah kartu debit dari dompetnya.
Pegawai restoran mengangguk setelah mengikuti arah yang Zakaria maksud. kemudian berkata, "Baik, Pak. Ini kartu dan struk pembeliannya. Di tunggu 10 menit ya, Pak."
"Oke."
Setelah memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku celana. Ia bergegas menyusul Sinta yang masih tertangkap oleh pandangannya. Saat itu, Arifa tidak menyadari kepergian papahnya dari restoran itu.
Tak terasa 10 menit pun berlalu, makanan yang tadi sempat Zakaria pesan kini telah dihidangkan di atas meja tempat Arifa berada. Seketika Arifa menyadari papahnya tak kunjung datang ke meja itu. Karena perutnya sudah minta diisi. Arifa pun segera menghabiskan makanannya.
...****************...
Sebuah tangan kekar menarik salah satu tangan Sinta dengan eratnya. Ia terkejut lalu menoleh. Dirinya pun tercekat.
"Mas Zaka."
Sinta berusaha melepaskan genggaman tangan Zakaria. Namun sayangnya itu terlalu erat.
"Kamu kemana aja Sinta, udah 6 bulan aku nyari kamu! telepon gak pernah dijawab, pesan tidak pernah dibalas. Aku kepikiran terus, Ta." Zakaria berusaha menahan emosinya karena ia sadar kalau tempat mereka berada saat ini tidak seharusnya untuk bertengkar.
"Lepasin, Mas! aku udah muak sama kamu. Selama ini aku udah coba menahannya. Tapi apa? sifat kamu gak pernah berubah. Aku perempuan, Mas. Ada waktu dimana aku butuh perhatian dan kasih sayang, dukungan, kekuatan. Sedangkan kamu selalu acuh dan gak perduli sama aku!" Sinta pun menekan suaranya dan berbicara setenang mungkin supaya orang-orang yang berlalu lalang di sana tidak terfokus ke mereka.
"Sinta ... " Zakaria lalu membawa Sinta ke tempat yang lebih sepi dari orang yang berlalu lalang. "Aku minta maaf, aku banyak salah sama kamu. Aku ... baru sadar kalau kamu istri yang sempurna buat aku, Sayang. Please ... pulang ya ke rumah," bujuk rayu Zakaria pada Sinta yang enggan melihat wajahnya.
"Alah! omong kosong. Kalau aku memang istri yang sempurna buat kamu. Buat apa kamu pergi dengan perempuan lain bahkan akan menikah dengannya!" Emosi dan pemikirannya Sinta telah melampaui.
Zakaria menggelengkan kepala. Ingin rasanya ia berteriak saat itu juga dan mengatakan bahwa itu tidak benar adanya. Lantas apa yang sebenarnya terjadi? mengapa keduanya saling merasa ada yang hilang satu sama lain?
"Baiklah, Ta. Aku kasih kamu waktu untuk tenang ... jika kamu masih percaya sama aku, apa yang kamu bilang barusan itu gak benar. Aku sama sekali gak nikah sama perempuan lain, selain kamu, Ta." Zakaria hanya pasrah. Baginya menjelaskan sedetail apapun saat ini, melihat emosi Sinta bukan waktu yang tepat. Ia hanya mencoba untuk memberitahunya secara garis besar saja.
"Aku mau kita cerai!" Nada yang penuh tekanan itu Sinta lontarkan dengan wajah memerah, detak jantung yang menggebu-gebu serta kedua bola mata yang melebar.
Tanpa mereka tahu, Arifa sudah berdiri di sana. Air matanya mengalir tanpa permisi. Mendengar permintaan mamahnya, membuat jiwanya seakan melayang. Mamah yang selama ini selalu ada untuknya, tiba-tiba berkata demikian. Hatinya bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?
"Ta, tolong jangan membuat keputusan saat kamu sedang emosi." Zakaria memohon kepada Sinta untuk tidak berpisah dengannya secara tidak langsung.
"Enam bulan, Mas. Enam bulan udah aku pikirkan matang-matang. Mungkin saat ini waktu yang tepat. Aku mau pisah sama kamu!"
"Sekeras itu Mamah mau pisah dari papah?"
Zakaria dan Sinta menoleh ke sumber suara itu bersamaan. Mereka terkejut dengan kehadiran Arifa di sana. Terlebih Zakaria, ia tahu kalau hati Arifa pasti hancur mendengar permintaan mamahnya itu.
Bibir Sinta pun membeku. Ia kemudian berjalan menghampiri anak perempuannya itu. Tepat mereka berhadapan dengan tinggi badan yang sama rata. Mata keduanya terkunci, seolah sedang bicara dari hati ke hati. Anak mana yang ingin kedua orang tuanya berpisah? Bagi mereka, hanya orang tuanya lah yang paling sempurna.
Arifa pun sedang berusaha mensugesti dirinya bahwa ini hanyalah mimpi buruk. Mimpi yang tidak pernah ia sangka. Sebuah bunga tidur dan ia harus segera bangun dan sadar.
"Maafin Mamah, Fa. Mamah udah gak bisa sama papahmu lagi," ucap Sinta dengan nada bicara yang sedikit bergetar.
"Tapi, Mah ... Apa benar-benar udah gak bisa dipertahankan lagi?" tanya Arifa dengan tatapan kosongnya.
Sinta menggeleng dengan air mata yang sudah tidak terbendung lagi. Kemudian ia memeluk Arifa sangat erat. Tapi sayangnya pelukan itu tidak dibalas oleh Arifa.
"Aku kecewa sama Mamah."
...Bersambung ......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
fikirkan dengan matang baru berpisah..kasian anak²
2023-02-14
0
TK
🌷🌷✍️
2022-09-15
1
ᴍ֟፝ᴀʜ ᴇ •
jangan membuat keputusan saat kamu emosi, nanti nyesel😋
2022-09-09
2