Zakaria mengusap kasar wajahnya, matanya pun sudah memerah sejak tadi. Sementara Arifa, ia melepaskan pelukan Sinta kemudian pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Sinta yang hendak mengejar Arifa, seketika ditarik tangannya oleh Zakaria.
"Biar aku aja yang ngejar. Jujur, aku gak mau kita pisah. Aku masih mau memperbaikinya. Tapi, jika usahaku gagal, apa boleh buat. Aku akan menuruti kemauanmu," ucap Zakaria kepada Sinta sebelum akhirnya mengejar anak perempuannya itu.
Setelah kepergian Zakaria dan Arifa, Sinta menyandarkan tubuhnya di dinding sebuah toko yang masih tutup. Ia menangis, perlahan tubuhnya melemas dan akhirnya duduk di lantai sambil memeluk kedua lututnya.
...****************...
Di dalam mobil, Zakaria mengemudikannya dengan santai. Sesekali ia melirik ke arah Arifa yang sejak tadi melihat ke luar jendela. Terlihat dari pantulan kaca mobil, Arifa tengah menangis namun masih ia tahan.
"Kalau mau nangis, nangis aja, Fa."
Ucapan Zakaria membuat Arifa semakin terasa sesak di dada. Kini tangisnya sudah tidak bisa ia tahan lagi. Arifa menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil menangis sampai isakannya terdengar oleh Zakaria.
"Maaf ... Papah minta maaf, Fa. Papah memang bukan suami yang sempurna untuk mamahmu. Papah hanya fokus mencari uang. Dan ... kalau kamu mau tahu, setahun terakhir ini bisnis Papah sedang krisis. Banyak investor yang melepaskan diri dari perusahaan Papah. Entah kenapa, sejak itu terjadi ... sikapnya berubah. Sering keluar rumah apalagi kalau akhir pekan. Dan ... enam bulan yang lalu setelah mengantarkanmu kembali ke akademi, dia pergi dari rumah. Papah juga baru ketemu dengannya lagi tadi. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini tentang Papah."
Keluh kesah Zakaria membuat hati Arifa terenyuh. Ia tahu perjuangan seorang ayah itu tidaklah mudah. Apalagi biaya akademi yang ia tempuh tidaklah murah. Ia pun terus menerka-nerka, apa sebenarnya yang telah terjadi pada mamahnya itu?
Tak terasa, mereka telah sampai di rumah. Sebelum turun dari mobil, Arifa memandangi rumah yang sejak lahir ia tempati. Pikirannya melayang teringat saat ia kecil dulu, saat kedua orang tuanya masih terlihat harmonis.
"Ayok turun, Fa."
Mendengar ajakan sang ayah, Arifa terkesiap lalu bergumam sambil menganggukkan kepalanya. Mereka pun akhirnya turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.
Zakaria langsung masuk ke dalam kamar yang biasa ia tempati bersama Sinta. Sedangkan Arifa masih memandangi ke sekeliling rumahnya. Di datanginya satu persatu ruangan yang ada di sana. Lalu langkahnya terhenti pada satu ruangan. Arifa pun masuk ke dalamnya. Ruangan itu biasa digunakan Sinta untuk menjahit.
Aku harus mencari tahu, apa yang telah terjadi sebenarnya? terlebih mamah.
...****************...
Kicauan burung kutilang peliharaan Zakaria telah bersiul di pagi yang mendung ini. Gemercik sisa air hujan semalam masih menetes seakan tak ingin berhenti.
Pemilik kamar bernuansa merah muda dengan perpaduan furniture berwarna putih itu, masih saja nyaman dengan selimut yang menggulung tubuhnya hingga batas leher. Sesekali ia menggeliat sambil melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi.
Siapa lagi kalau bukan Arifa. Ia terperanjat duduk di atas tempat tidurnya, sebab ia masih merasa berada di asrama. Untuk memulihkan kesadarannya, Arifa menoleh ke sekeliling kamar. Seketika helaan napas pun menenangkan pikirannya yang tadi sempat ketar-ketir.
Bukannya pergi mandi, tapi Arifa malah merebahkan tubuhnya lagi lalu menggulungnya dengan selimut kembali. Ditambah pendingin ruangan yang terasa sejuk, membuat Arifa menjadi enggan untuk bangun. Memang sama seperti liburan sebelumnya. Yang bisa ia lakukan hanya mengistirahatkan tubuhnya. Bahkan ia bisa tidur seharian tanpa makan. Sebab selama di asrama, Arifa sangat disibukkan dengan segudang aktifitasnya.
Akan tetapi baru saja ia memejamkan matanya kembali, tiba-tiba ia teringat akan tekadnya hari ini. Selimut yang tadi sempat rapat menggulung tubuhnya, kini ia lemparkan sembarang lalu turun dari tempat tidur. Sambil tergesa-gesa, Arifa masuk ke dalam kamar mandi.
Tak butuh waktu lama, Arifa telah menyelesaikan mandinya. Ia segera memakai pakaiannya serta make up tipis supaya terlihat lebih segar.
Karena ia terburu-buru, kamar yang masih berantakan pun dibiarkan begitu saja dan memilih keluar dari kamar.
"Loh, Fa? rapih banget. Mau kemana?" tanya Zakaria saat melihat Arifa yang mengenakan celana kulot hitam dipadukan blouse putih serta sneakers hitam telah berada di ruang makan.
"Mau main, Pah. Cari angin, biar gak bosen di rumah terus," jawab Arifa supaya Zakaria tidak curiga. "Ini semua Papah yang masak?" tanya Arifa kemudian.
"Iya, bi Inah pulang kampung udah lebih dari tiga bulan yang lalu. Jadi, sehari-hari ya Papah masak sendiri. Untung kalau nyuci baju ada mesin dan kalau untuk setrika ... biasanya Papah laundry," jelas Zakaria sambil menyantap sarapannya. Arifa tersenyum tipis. Baru kali ini ia melihat papahnya kerja keras, bukan hanya cari uang, tapi juga merangkap mengerjakan pekerjaan rumah.
"Kira-kira bi Inah balik lagi gak, Pah?" tanya Arifa sambil mengambil nasi dan lauk yang ada di atas meja makan. Namun, Zakaria langsung menghentikan makannya sejenak sambil tersenyum.
"Enggak, Fa. Papah gak sanggup bayar bi Inah lagi. Ya ... kalau kamu kembali ke akademi, Papah cuma sendirian kok di rumah. Toh, masih bisa Papah kerjain sebisanya."
Arifa benar-benar tersentuh, bahkan ia tidak habis pikir dengan mamahnya yang tega meninggalkan papahnya di saat-saat seperti ini. Dilihatnya wajah Zakaria, tampak sudah ada kerutan serta rambutnya yang mulai memutih. Sebenarnya ia ingin menangis, tapi sengaja ditahan karena tidak ingin membuat Zakaria tambah bersedih hati.
"Gini aja, mulai besok biar Rifa yang bantu Papah ya. Terus ... sekarang urusan kantor gimana, Pah? apa masih Papah kerjain?"
"Masih ... Papah masih berusaha mencari investor yang mau bergabung. Doain ya Fa, semoga bisnis Papah bisa bangkit lagi kayak dulu."
"Aamiin, Rifa selalu doain yang terbaik buat Papah."
"Kalau gitu, ayok habiskan sarapannya!" ajak Zakaria dan Arifa pun mengangguk setuju.
...****************...
Skuter matic berwarna hitam yang Arifa kendarai telah sampai di depan butik milik mamahnya. Ia pun melepas helmnya lalu menaruhnya di salah satu kaca spion.
Butik itu tampak ramai, bahkan tempat parkir yang tersedia pun hampir penuh. Kebanyakan customer yang datang pasangan muda dengan raut wajah bahagianya.
Karena penasaran, Arifa pun masuk ke dalam butik. Benar saja, para pegawai sedang sibuk dengan customer masing-masing. Namun, Arifa tidak melihat keberadaan mamahnya di sana. Lalu dihampirinya salah satu pegawai yang berdiri di belakang meja kasir.
"Eh, Arifa ... tumben ke butik," sapa Peny dengan senyuman dibibir yang ia poles lipstik berwarna merah merona.
"Iya, Mbak Peny ... hehe ... Oh iya, mamahku ada gak?" tanya Arifa sambil membalas senyuman Peny yang tiada tandingannya.
"Belum dateng, Fa. Biasanya ibu tuh datengnya habis makan siang kalau gak ada janji sama customer."
"Oh begitu ya, Mbak. Hmm ... tapi Mbak Peny tahu gak mamah sekarang tinggal dimana?" tanya Arifa sambil berbisik dengan sedikit mendekatkan wajahnya ke telinga Peny.
"Aaaaah! emang ibu gak pulang, Fa?" Peny malah bertanya balik ke Arifa dengan suara yang sedikit kencang. Arifa pun terkejut.
"Hussss, pelan-pelan dong, Mbak ngomongnya!" sahut Arifa yang merasa gemas. Ia menaruh telunjuk kanannya di bibirnya, menyuruh Peny untuk tidak berisik.
"Maaf, maaf, Fa ... aku gak tahu, Fa. Aku kan di sini cuma pegawai. Biarpun tingkahku bar-bar, tapi aku bukan tipikal orang yang mau ikut campur urusan orang."
Arifa menghela napasnya lalu berkata, "ya udah deh, Mbak. Kalau gitu ... aku pergi dulu ya."
"Iya, Fa. Hati-hati dijalan ya. Jangan ngebut-ngebut loh!"
"Siap! bye Mbak Penytie Bainang."
"Bye, Arifa Chuantiek."
Arifa tertawa sambil berjalan ke arah pintu keluar. Dan saat ia membuka pintu, tepat saat Sinta pun akan masuk ke dalam butik.
"Mamah ... "
...Bersambung ......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments