Anka mulai terbiasa dengan hadirnya Liza dan Damar. Menurut Anka, Liza dan Damar sangat baik kepadanya. Hanya saja Anka merasa sedikit sulit mengimbangi cara mereka berbicara. Namun, semua berjalan dengan baik hingga keesokan harinya, Anka dikejutkan dengan kedatangan seorang pria yang mengaku sebagai tunangannya.
"Hai, sayang!" ucap pria itu.
Anka mengerutkan keningnya. Dia berusaha mengingat pria yang sedang berdiri dihadapannya. Pria yang sangat tampan dengan wajah setengah bule. Rambutnya berwarna cokelat. Kedua netra nya berwarna hazel. Anka sangat menyukai warna mata pria itu. Dia Samapi terpesona menatapnya.
"Ehem," pria itu berusaha menyadarkan Anka yang menatapnya tanpa berkedip. Sebuah senyum terukir di wajah pria itu meski sekilas menambah ketampanannya.
"Maaf, anda siapa?" tanya Anka setelah sadar dari lamunannya.
"Boleh aku mendekat?" tanya pria itu sopan. "Sangat aneh rasanya berbicara dengan jarak yang cukup jauh," imbuhnya.
Anka mengangguk, memberi ijin pada pria itu untuk lebih dekat dengannya. Pria itu mengangkat kursi dan diletakkan tepat di samping tempat tidur Anka.
"Aku Elvan, tunangan mu," ucap pria itu lembut.
Anka terkejut mendengar penuturan pria tampan itu. Dia berusaha mengingat tentang Elvan. Namun, tidak ada sedikit pun bayangan tentang pria itu. Elvan tersenyum melihat ekspresi kebingungan Anka.
"Maafkan aku sayang. Aku baru sempat menjenguk mu," ucap Elvan lirih. "Aku sibuk mencari mobil yang menabrak mu." Elvan sengaja mengucapkan kata 'menabrak' dengan penekanan dan emosi agar Anka percaya bahwa dia sangat peduli padanya.
Suasana di kamar inap Anka kembali hening. Anka berusaha menyerap setiap kata yang diucapkan oleh Elvan. Anka tidak menangkap kebohongan pada ucapan pria itu.
"Kita sedang mencari gaun untuk acara pertunangan kita," Elvan memulai ceritanya. "Kau bersikeras untuk membeli jajanan sebelum kita pergi ke butik. Kau tahu sayang, kau sangat lincah. Jadi kau menyebrang lebih dulu tanpa menungguku turun dari mobil dan .." Raut wajah Elvan terlihat sedih, dia tidak sanggup menyelesaikan ucapannya.
"Saya tidak apa-apa," jawab Anka sambil memegang tangan Elvan. Dia memegang tangan Elvan secara spontan. Gadis itu ingin menenangkan pria yang mengaku sebagai tunangannya.
"Aku bersyukur untuk itu," jawab Elvan sambil tersenyum. Pria itu membalas genggaman tangan Anka. Tidak bisa dia pungkiri, dia juga merindukan gadis itu. "Kau tahu, duniaku seakan runtuh saat melihat kau terbaring di atas aspal dengan cairan merah di sekujur tubuhmu," ucap Elvan sambil menitikkan air mata.
"Hei! Saya sudah tidak apa-apa," Anka berusaha menenangkan Elvan.
"Saya?" Elvan merasa sedikit aneh saat Anka menyebut dirinya dengan kata 'saya'.
"Apa ada yang salah?"
"Tidak. Hanya terdengar sedikit aneh saat kau menyebut dirimu dengan 'saya'. Kau selalu menggunakan kata 'aku' saat bicara denganku dan 'gue' saat bicara dengan dia sahabatmu," Elvan tidak akan pernah lupa gaya bicara gadis yang dulu tergila-gila padanya.
"Kau sama saja dengan Liza. Dia juga mengomentari cara berbicara ku," ucap Anka sambil terkekeh. Merasa dua tertawa cukup kuat, Anka langsung menahan tawanya. "Baiklah, saya eh aku akan mencobanya."
"Nah, ini baru benar!" seru Elvan.
Kini Anka yakin jika pria yang berada di sisinya saat ini adalah tunangannya. Pria itu juga mengenal dua sahabatnya dan hafal dengan gaya bicaranya.
"Oh ya! Aku sudah bicara dengan dokter. Dia mengatakan jika kau sudah bisa keluar dari rumah sakit besok."
"Benarkah? Secepat itu?" Anka senang akhirnya dia bisa keluar dari rumah sakit. Dia sudah tidak sabar untuk belajar mengenal lagi lingkungannya, keluarga, dan teman-temannya.
"Tentu saja," jawab Elvan sambil mengusap pelan pipi Anka. "Tapi, kau harus berjanji satu hal kepadaku," timpal Elvan.
"Apa itu?" tanya Anka tak sabaran.
"Aku ingin kau tidak terlalu banyak beraktivitas."
"Bukannya aku hanya tiduran saja," ketus Anka.
"Kau memang tiduran saja sayang. Tapi, saat ada Liza, kau pasti tidak akan bisa diam," jawab Elvan.
"Oh, maksudmu jangan terlalu banyak bicara."
"Tentu saja kau boleh bicara. Tapi seperlunya saja. Jangan bercerita yang tidak terlalu penting," jelas Elvan. "Jika kau ingin segera keluar dari rumah sakit," tambah Elvan.
"Oke, aku mengerti."
"Ini baru gadis baik," ucap Elvan sambil memberikan senyum terbaiknya. Pria itu menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Aku harus pergi sekarang. Masih ada yang harus aku urus." Elvan berdiri sambil merapikan jasnya.
"Apa kau sesibuk ini?" tanya Anka. Bagaimanapun setahu Anka jika benar mereka sepasang kekasih, pasti si pria akan meluangkan banyak waktu saat kekasihnya berada di rumah sakit.
"Tidak. Kita selalu menghabiskan waktu bersama. Tak ada sehari pun terlewat tanpa dirimu," jawab Elvan segera. "Saat ini aku sibuk mengurusi penabrak mu sayang. Aku ingin dia mendapat hukuman yang setimpal," jelas Elvan.
"Oh, baiklah!"
"Bye sweatheart!" Elvan hendak mengecup pelan kening Anka, namun gadis itu langsung. mengelak. Ada perasaan asing saat pria itu ingin mengecup keningnya.
"Maaf, aku belum terbiasa," jawab Anka sambil menundukkan kepala.
"It's okay sweatheart. Aku mengerti. Bye!" Elvan mengusap pelan pipi Anka sebagai tanda perpisahan. Baru lima langkah pria itu berjalan menuju pintu, dia langsung berbalik, "Sayang, bisa kau rahasiakan pada dua sahabatmu akan kepulangan mu besok!"
"Apa ini perintah?" tanya Anka.
"Tentu saja."
"Mengapa?"
"Kau tahu sendiri bagaimana sikap Liza. Apa kau ingin diikuti olehnya sepanjang hari? Dimulai dari kau turun dari tempat tidur itu."
Anka diam dan mengingat tingkah Liza yang baru dekat dengannya kemarin. Gadis itu memang cerewet dan super aktif. Setidaknya Anka perlu waktu untuk menyesuaikan diri saat pulang ke rumah nanti. "Oke."
"Good girl," jawab Elvan sambil mengedipkan sebelah mata.
Setelah ke luar dari gedung rumah sakit, Elvan langsung menghubungi seseorang.
"Bagaimana?" tanya seseorang dari seberang sana.
"Untuk hari ini berjalan lancar. Kita lihat besok," jawab Elvan.
"Bagus."
Elvan langsung memutuskan sambungan telponnya. Dia tidak ingin mengambil resiko dengan membocorkan rencana mereka tanpa disengaja karena percakapannya terdengar oleh orang lain.
* * *
Brak
Harvin menghancurkan segala yang ada di ruang kerja mansionnya. Ingatan pria itu sudah kembali saat terakhir dia mendapat serangan sakit kepala luar biasa hebatnya enam hari yang lalu.
Harvin telah mendapat semua informasi mengenai Claudia. Termasuk rahasia menghilangnya Claudia tiga tahun yang lalu. Parahnya lagi, orang tua Claudia menyembunyikan fakta yang sangat mengejutkan Harvin.
Kedua orang tua Claudia tidak menyetujui pernikahan Harvin dan Claudia hanya karena masalah sepele yaitu klien yang tidak begitu penting bagi perusahan ayah Claudia beralih ke perusahaan Harvin. Sekarang Harvin baru menyadari jika alasan itu hanya dibuat-buat untuk menutupi keburukan Claudia.
Noah yang masih berada di ruang kerja tuannya tidak berani berkutik. Baru kali ini dia melihat tuannya mengamuk seperti manusia hijau di film. Wajar saja jika tuannya mengamuk. Claudia telah membuat sebuah kesalahan yang sangat fatal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments