Bab 8. Pinang dibelah Dua

"Bukannya si Harvin yang ..." ucapan Liza tergantung setelah mendapat cubitan dari Anka.

"Ih, Liza! Amit-amit deh!" Anka menggerutu kesal.

"Jadi, Harvin masih hidup? Ngga jadi meninggal?" Liza bertanya dengan polosnya.

Damar hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah aneh kedua sahabatnya itu. Kadang pria itu merasa terjebak di antara mereka. Tapi mau bagaimana lagi, dua sahabat yang benar sahabat hanya Anka dan Liza.

Bukannya Damar tidak ingin berteman dengan laki-laki. Dia sudah mencobanya, alhasil kebanyakan dari mereka hanya memanfaatkan Damar untuk tujuan tertentu. Memilih teman wanita juga bukan disengaja oleh Damar. Semuanya berjalan tanpa disengaja.

"Udah deh. Mending sekarang kita pulang!" perintah Damar pada Anka dan Liza. Kedua gadis itu mengikuti perintah Damar. "Tapi, elu harus cerita saat di mobil nanti." Damar mengatakan dengan tegas pada Anka. Dia tidak ingin mendengar drama mini si Liza jika penasarannya belum terobati.

Damar memesan taxi online untuk mengantar mereka pulang. Tidak mungkin mereka meminta Noah untuk mengantar mereka pulang kembali ke cafe. Tak berapa lama, taxi online yang dipesan Damar tiba. Mereka segera naik dan memasuki mobil.

Sepanjang perjalanan pulang, Anka menceritakan semuanya pada dua sahabatnya tentang keadaan Harvin. Bagaimana Harvin menolaknya karena tidak mengenali Anka. Tentu saja Liza tidak serta merta menerima cerita Anka begitu saja.

"Ih, bisa jadi si Harvin pura-pura ngga ngenalin elu!" ketus Liza.

"Keknya engga deh, Liz. Gue denger sendiri kok penjelasan dari dokter," Anka menjelaskan pada Liza.

"Huh!" keluh Liza. "Bearti karma buat dia yang udah bikin hati elu sakit, Ka." Liza tak henti menyalahkan Harvin.

Anka langsung terdiam. Dia tidak ingin menyambung ucapan Liza. Gadis itu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Begitu pula Damar yang hanya menyimak dengan diam saja.

Lima hari kemudian, Harvin telah keluar dari rumah sakit. Keadaannya semakin membaik. Hanya saja yang membuat Anka sedih, Harvin tidak mengingat Anka sama sekali. Pria itu terlihat sangat dingin padanya.

Selama lima hari Anka dengan sabar bolak-balik rumah sakit hanya untuk Harvin. Akan tetapi, tidak membuahkan hasil. Harvin tetap tidak mengenal Anka. Gadis itu merasa putus asa dan dia putuskan untuk menyerah meraih Harvin.

Tiga hari kemudian setelah Harvin keluar rumah sakit, Anka menjalankan kehidupannya seperti biasa. Bayangan Harvin perlahan telah dia tutup rapat di salah satu ruang hatinya.

Selain itu, hadirnya Liza di cafe membuat Anka sibuk dengan rutinitas yang tidak pernah ada habisnya yang dibuat oleh sahabatnya itu. Hingga om Candra mau tidak mau menerima Liza sebagai karyawan cafe. Padahal karyawan di cafe sudah lebih dari cukup.

Waktu menunjukkan pukul empat sore. Waktu yang sedikit lengang oleh pengunjung cafe. Anka, Liza, dan Damar bisa sedikit bersantai di waktu itu. Bel pintu masuk cafe berbunyi membuat Liza seketika menoleh ke arah sumber suara.

Kedua mata gadis itu membulat dengan mulut terbuka. Seperti melihat sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat. Liza langsung menoleh ke gadis yang berada di sampingnya. Gadis itu mengalihkan pandangan berkali-kali antara seorang wanita yang sedang berjalan menghampiri mereka dengan Anka yang sedang duduk mengolesi kukunya.

"Mar, Damar!" Liza berteriak memanggil Damar. Gadis itu berusaha menggapai pria yang tadi berdiri di samping kanannya tanpa melepaskan pandangan menatap wanita yang berjalan ke arah mereka.

"Apa sih, Liz?" Damar berdiri dan langsung mengikuti arah pandang Liza.

Damar tak kalah terkejutnya melihat wanita yang berjalan bak peragawati. Anka memang sudah menceritakan tentang Claudia. Tapi Damar tidak mengira wajah mereka bagaikan pinang dibelah dua.

"Yang elu lihat sama kan Mar dengan yang gue lihat?" tanya Liza pada Damar tanpa menoleh.

Damar mengangguk. Sangat sulit untuk mengeluarkan sepatah kata saat terkejut melihat dua orang yang benar-benar mirip.

Claudia yang dari tadi diperhatikan oleh mereka dan beberapa orang lainnya mulai merasa kesal. Wanita itu tahu jika orang-orang disekitarnya terkejut melihat dua orang yang berbeda tapi memiliki wajah yang mirip. Sejujurnya, Claudia juga ragu pada dirinya sendiri. Sangat tidak mungkin seseorang memiliki wajah mirip jika mereka tidak memiliki hubungan darah. Terutama anak kembar.

Untuk itu, kedatangan Claudia menghampiri Anka untuk mematikan hubungan yang mungkin terjadi di antara mereka. Dia tidak ingin melakukan kesalahan jika ternyata Anka memiliki hubungan darah dengannya.

"Ehem." Claudia sengaja batuk sedikit untuk menyadarkan dua orang yang menatapnya tanpa berkedip.

Damar langsung sadar saat wanita mirip Anka berdehem. "Kenapa Ka? Eh, mba!" Damar sampai dibuat pangling oleh wanita itu.

"Saya ingin bicara dengan dia," ucap Claudia sambil menunjuk Anka dengan telunjuk kanannya.

Damar langsung mengikuti arah telunjuk wanita itu. Damar menghela napas saat melihat Anka yang masih sibuk dengan ponselnya. "Ka, Anka." Damar menepuk pelan pundak kiri Anka untuk menarik perhatian gadis itu.

"Hmm, kenapa Mar?" tanya Anka tanpa mengalihkan kedua matanya dari layar ponsel.

"Ada yang nyariin," ucap Damar.

Gerakan jari Anka langsung berhenti. Ada desiran aneh di hatinya saat mendengar ada seseorang yang mencarinya. Dalam pikiran Anka mungkinkah Harvin yang mulai mengingat dirinya. Anka perlahan menoleh ke arah Damar. Pemuda itu menunjuk seseorang yang ingin bertemu Anka dengan memiringkan kepala ke arah wanita itu.

"Kamu!" Anka terkejut mendapati Claudia yang sudah berdiri dihadapannya.

Claudia yang sudah merasa jengah dari tadi diperhatikan langsung mencecar Anka dengan kata-kata ketus. "Aku kemari bukan untuk melihat ekspresi terkejut mu. Ikut aku! Ada yang harus ku perjelas denganmu."

"Tidak. Di sini saja," Anka tak kalah ketus menjawab Claudia.

"Baik. Aku juga tidak sudi berlama-lama di sini," balas Claudia datar. "Aku ingin kau ikut denganku ke rumah sakit sekarang!"

"Aku tidak mau," jawab Anka singkat.

"Meski kau tidak mau. Aku tetap akan memaksamu."

Damar merasa akan terjadi sesuatu yang akan membuat suasana di cafe menjadi riuh. Sudah dapat dia pastikan jika Anka dan wanita yang mirip Anka menjadi pusat perhatian.

"Tenang-tenang." Damar berusaha menengahi mereka.

"Aku hanya ingin memastikan hubungan darah antara kita. Tidak lebih," Claudia menekankan ucapannya.

Anka sedikit tersentak mendengar penuturan Claudia. Cukup lama Anka terdiam meresapi keinginan Claudia. Mungkin Claudia ada benarnya. Tanpa berpikir panjang lagi, Anka menyetujui rencana Claudia. Bagaimanapun dia juga penasaran dengan kemiripan wajah mereka. Dua perempuan berbeda usia namun berwajah serupa itu berjalan beriringan menuju pintu keluar cafe O.

Dua hari kemudian, Claudia kembali datang mengunjungi Anka. Kali ini wanita itu datang dengan wajah sombongnya. Dia membawa sebuah amplop putih panjang berbentuk persegi panjang. Senyum sumringah terbentuk di wajah wanita itu.

"Aku menyatakan untuk berebut Harvin denganmu." Claudia meletakkan amplop putih itu di atas meja. Wanita itu melipat tangannya.

Anka meraih amplop itu dan membukanya perlahan. Gadis itu tersenyum setelah membaca inti dari isi surat hasil tes DNA mereka. Kedua perempuan itu dinyatakan tidak memiliki hubungan darah. Terbesit kelegaan di lubuk hati Anka. Begitu pula dengan Claudia.

"Apa maksudmu?" tanya Anka bingung. Dia mengembalikan kertas itu ke dalam amplop seperti semula dan meletakkannya kembali di atas meja.

"Aku ingin kita bertarung untuk mendapatkan hati Harvin."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!