“Pak....Pak.....” Bibi Fatma yang baru pulang dari rumah saudaranya langsung berlari ke rumah dengan tergesa-gesa.
Wanita paruh baya itu baru saja melihat ada pertengkaran beberapa orang pria di jalan. Ia hendak meleraikan tapi takut malah jadi korban. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke rumah dan memanggil sang suami, Paman Hardi, yang memang cukup disegani di desa itu.
“Ada apa, Bu?” tanya Paman Hardi yang baru membuka pintu depan rumahnya.
“Ayo ikut ibu! Ada yang berkelahi di jalan menuju ke rumah Lila. Ibu takut, Pak. Ada yang dipukul sampai luka parah,” jawab Bibi Fatma dengan panik.
“Siapa yang dipukul, Bu?” tanya Paman Hardi tak kalah panik.
“Mana ibu tau, ibu tidak bisa lihat dengan jelas. Ayo kesana cepat, Pak!” desak Bu Fatma.
“Sebentar, bapak ambil parang bapak dulu. Berani-beraninya buat onar di desa kita.” Sambil mendumel tidak jelas Paman Hardi segera masuk ke rumah mengambil parang panjang miliknya lalu pergi bersama istrinya ke tempat perkelahian tersebut.
“Reza, kenapa kau memukulinya sampai berda-rah? Bukannya kau hanya ingin memberi pelajaran saja? Kalau begini dia bisa mati!” Dani sangat panik melihat Reza memukul kepala Biru hingga pria tersebut mengeluarkan banyak da-rah dari kepalanya.
“Aku tidak tau akan melukainya seperti ini. Aku hanya ingin membuatnya pingsan saja tadi,” jawab Reza dengan panik.
“Lalu bagaimana sekarang? Apa kita akan menolongnya atau membiarkannya?” tanya Dani.
“Kau gila! Lalu apa alasan kita jika ada yang bertanya apa penyebab dia terluka? Kita tinggalkan saja dia!” jawab Reza yang tak mau ambil resiko.
“Tapi dia bisa mati!” Dani masih takut kalau Biru sampai mati akibat pengeroyokan yang mereka lakukan.
“Aku tidak peduli. Aku tidak mau ada yang tau ini ulah kita.”
Kemudian terdengar suara teriakan dari arah jalan rumah Paman Hardi. Pria paruh baya itu dengan beraninya mengacungkan parang miliknya dan mendekati Reza dan yang lain.
“Heiiii.....Apa yang kalian lakukan?!” Paman Hardi setengah berlari menuju ke arah mereka. Disusul istrinya yang mengekor dari belakang.
“Itu Paman Hardi. Kita bisa kena masalah,” ucap teman Reza yang lain.
“Lari, lari, kita lari sekarang!” ajak Reza.
Reza dan teman-temannya langsung panik. Mereka dengan cepat berlari ke arah lain untuk menghindari Paman Hardi. Pria paruh baya itu ikut berlari mengejar keempat pemuda itu tapi sayang ia kalah cepat.
Paman Hardi segera menolong pria yang sedang tergeletak di tanah sambil menge-rang kesakitan akibat luka di kepalanya. Mata Paman Hardi langsung membelalak saat tau yang terluka adalah Biru, pria asing yang ditolong oleh Lila.
“Bu, ini Biru, pria yang tinggal di rumah Lila,” seru Paman Hardi dengan panik.
“Astaga. Kasihan sekali, Pak. Jadi bagaimana ini, Pak? Dia luka parah.” Bibi Fatma sampai gemetar melihat kondisi Biru.
“Bu, ibu pergi ke rumah ambil tas bapak, lalu bawa ke rumah Lila. Bapak akan membawa Biru pulang ke rumah Lila sekarang. Kepalanya terluka. Perlu dijahit,” titah Paman Hardi.
“Ya sudah, ibu pergi sekarang.”
Bibi Fatma segera berlari pulang ke rumahnya untuk mengambil tas berisi peralatan yang biasa digunakan sang suami untuk mengobati orang. Sementara Paman Hardi bersusah payah memapah Biru untuk pulang ke rumah Lila.
Lila sendiri sedang duduk di meja makan sambil memandangi makanan yang sudah tersaji di atas meja. Ia tak sabar menunggu Biru pulang. Biru pasti suka dengan masakannya malam ini.
Tok tok tok.
“Lila....Lila....buka pintunya Lila!”
Suara pintu yang diketuk dengan tergesa mengejutkan Lila. Ia segera bangun dari duduknya dan melihat siapa yang datang.
“Astaga, Biru!” jerit Lila dengan histeris saat melihat pria itu berlumuran da-rah.
Paman Hardi segera membawa Biru masuk dan membaringkannya di kursi kayu di ruang tamu.
“Paman, kenapa Biru jadi begini?” tanya Lila yang mulai terisak. Pria itu tampak tak berdaya dengan luka di kepalanya.
“Biru dikeroyok orang di jalan. Tadi Bibimu yang memberi tau Paman,” jawab Paman Hardi.
Lila spontan menangis sambil mengelap da-rah Biru yang mengalir hingga ke wajah dengan tangannya. Tak pernah terbayangkan olehnya Biru akan dipukuli seperti ini.
“Lila, tolong ambilkan Paman handuk kecil dan air hangat! Paman mau membersihkan lukanya.”
“Baik, Paman.”
Lila menyeka airmatanya lalu pergi mengambil air hangat di dalam wadah dan juga handuk kecil. Ia memberikan itu pada Paman Hardi. Lalu pria paruh baya itu tampak membersihkan luka-luka Biru terutama bagian kepalanya.
Tak lama Bibi Fatma pun datang dengan membawa peralatan yang Paman Hardi minta. Biru langsung diobati oleh Paman Hardi.
“Sabar, Lila. Biru kuat. Dia pasti akan seger sadar kembali.” Bibi Fatma memeluk Lila dengan erat. Gadis itu belum berhenti menangis sedari tadi saat tau Biru terluka.
“Tega sekali orang yang memukuli Biru, Bi,” kesal Lila pada orang yang memukuli Biru.
“Iya, Nak. Kamu yang sabar dulu, ya. Pamanmu pasti bisa mengobati Biru. Nanti setelah Biru selesai diobati, baru kita cari tau siapa pelakunya,” bujuk Bibi Fatma. Lila masih saja menangis dalam pelukannya.
Luka Biru sepertinya cukup parah. Paman Hardi sampai harus menjahit luka yang ada di kepalanya.
“Bagaimana, Paman?” tanya Lila saat melihat Paman Hardi selesai dengan pengobatannya.
“Paman sudah menjahit lukanya. Mungkin dia bisa saja akan demam. Paman akan tinggalkan obat pereda nyeri dan obat demam. Untuk sementara biarkan dia istirahat dulu. Tolong selimut dia saja,” jelas Paman Hardi.
“Baik, Paman. Apa lukanya tidak membahayakannya?” tanya Lila khawatir. Matanya sampai sembab kebanyakan menangis.
“Kita berdo'a saja semoga lukanya tidak parah.”
Lila mengangguk dengan pasrah. Hatinya masih sangat khawatir melihat Biru terbaring tak sadarkan diri.
Dulu saat pertama kali ia menemukan Biru dan pria itu terbaring tak sadarkan diri, Lila hanya merasa khawatir karena kasihan. Tapi kali ini, rasanya ada yang berbeda. Kekhawatirannya saat ini lebih dari sekedar kasihan. Mungkinkah karena sudah tumbuh cinta di hatinya?
***
Lila rela menjaga Biru semalaman sampai tertidur sambil terduduk di atas lantai dengan kepala bersandar pada kursi panjang tempat Biru berbaring. Jika tengah malam Biru mulai menge-rang kesakitan, maka Lila akan dengan cepat bangun dan memeriksanya. Begitu pedulinya ia pada Biru hingga rela tidurnya tak nyenyak.
Sampai pagi menjelang, Lila tersadar karena mendengar gumaman yang tak begitu jelas dari Biru. Lila membuka matanya yang masih terasa pekat lalu segera mendekati Biru.
“Bi, kau sudah sadar? Mana yang sakit?” tanya Lila dengan lembut.
Pria itu tampak membuka matanya dengan perlahan. Kepalanya masih terasa pusing.
“Kepalaku....sakit...” ringis Biru dengan suaranya yang masih serak.
Lila mengambil segelas air putih dan meminumkannya pada Biru.
“Kau harus istirahat yang banyak, Bi. Sebaiknya kau istirahat saja dulu. Aku akan membuatkan sarapan untukmu. Setelah itu aku akan memanggil Paman Hardi untuk memeriksamu lagi.”
“Pa-ma Har-di?” ulang Biru dengan terbata. Dahinya tampak mengkerut mengingat sesuatu.
“Iya, Paman Hardi yang mengobatimu,” jawab Lila.
Biru menajamkan penglihatan dan melihat ke sekelilingnya. Wajahnya tampak terkejut dan memandang Lila dengan serius.
“Kenapa aku bisa ada disini? Aku dimana ini?” tanya Biru tiba-tiba.
“Kau di rumahku. Tadi malam kau dikeroyok orang dan terluka. Apa kau lupa?” Lila merasa aneh dengan tingkah Biru.
“Biru, kau baik-baik saja kan?” tanya Lila khawatir.
“Darimana kau tau namaku?” tanya Biru.
“Aku yang memberimu nama itu, Biru. Aku memang memanggilmu Biru,” jawab Lila keheranan.
“Tidak. Itu nama pemberian ayahku.”
Lila terkejut. “Ayahmu?” tanya Lila bingung.
“Ya, ayahku. Ayah yang memberikan nama Biru. Namaku Biru Adhitama.”
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
OMG 😳😳 Biru sudah ingat siapa dirinya.. what's going on beb 🥺🥺
dia pasti akan segera meninggalkan Lila
2022-10-12
1
lucky gril
ok fix tadi nya mo makasih lagi 😑tau2 malah lupa sm lila
WASSALAM😷
2022-10-03
0
AlAzRa
lah wis sadar iki Si Biyu,
Lil, siap2 ya...!!!
2022-10-02
0