Setelah selesai sarapan, Biru kembali duduk di kursi panjang tempat ia berbaring tadi, tentu saja dibantu oleh Lila. Dari kursi itu ia kembali melihat ke sekeliling rumah. Ia merasa tempat itu terlalu kecil dan sempit baginya.
“Ada apa, Tuan? Ada sesuatu yang aneh dengan rumah ini?” tanya Lila pada Biru.
“Apa kau sudah lama tinggal disini?” Biru malah balik bertanya.
“Iya. Dari sejak lahir aku sudah tinggal disini,” jawab Lila jujur.
“Rumah ini kecil sekali,” ucap Biru.
Lila tak langsung tersinggung. Rumah ini memang kecil, tapi cukup untuk ditinggali oleh dirinya sendiri.
“Memang rumah ini kecil, tapi aku selalu merasa lapang dan nyaman untuk tinggal disini,” sahut Lila.
“Aku yang tidak nyaman,” sanggah Biru.
“Kenapa?” tanya Lila kebingungan.
“Entahlah. Aku merasa tidak nyaman saja berada di rumah kecil seperti ini.”
Biru yang terbiasa tinggal di rumah mewah yang tentu merasa kalau rumah Lila ini sangat kecil baginya. Bahkan mungkin kamar tidurnya lebih luas daripada rumah ini. Tapi ia sama sekali tak bisa mengingat kehidupannya dulu. Hanya saja dia merasa tak nyaman dengan rumah ini dan fasilitas yang serba terbatas.
Di rumah itu bahkan tidak ada Televisi. Pajangan di dinding rumah itu hanyalah jam dinding tua yang terbuat dari kayu, entah sudah berapa tahun usianya.
“Maaf, Tuan. Aku hanya bisa menampung Tuan di rumah kecil ini. Kalau Tuan kurang berkenan, aku tidak memaksa Tuan untuk tetap tinggal disini,” ucap Lila.
“Kau mengusirku?” Biru malah tersinggung.
“Tidak, bukan begitu maksudku,” jawab Lila cepat. “Bertahanlah sebentar disini setidaknya sampai Tuan sembuh dan bisa mengingat kembali tempat asal Tuan. Mungkin Tuan baru pertama kali menginap disini, makanya Tuan belum terbiasa, jadi tidak nyaman,” tambah Lila lagi.
Benar juga apa yang gadis itu katakan, pikir Biru. Setidaknya ia harus sembuh dulu dan bisa mengingat kembali tempat asalnya. Baru setelah itu ia akan langsung pergi dari rumah sempit ini. Ia sangat yakin, rumahnya pasti lebih besar dari rumah Lila ini.
“Ya sudah Tuan, aku mau ke sungai dulu. Mau mengambil jerigen yang tertinggal disana sekalian mengambil airnya. Aku titip rumah, ya,” pamit Lila.
“Tunggu!” cegah Biru. “Apa harus mengambil di sungai kalau kau membutuhkan air?” tanya Biru.
Lila mengangguk. “Memang seperti itu, Tuan. Aku harus mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari. Belum lagi kalau ada orderan cucian, aku butuh banyak air dan airnya berasal dari sungai. Kadang juga pakai air hujan. Tapi sekarang jarang hujan. Sungai satu-satunya sumber air di desa ini,” jawab Lila panjang lebar.
“Kau mengambil orderan cucian?” tanya Biru tak percaya. Gadis muda sepertinya apa tidak ada pekerjaan yang lebih layak lagi selain menjadi buruh cuci?
“Iya, Tuan. Itu sumber penghasilanku. Selain mencuci, aku juga mendapat penghasilan dari panen mangga di kebun belakang rumah ini,” jawab Lila tanpa merasa malu. Memang itu adalah pekerjaannya.
Wajah Biru semakin mengkerut. Ia semakin merasa asing di tempat itu. Bagaimana bisa ia menumpang hidup dengan gadis yang berpenghasilan dari buruh cuci dan menjual panen mangga. Ah, kepalanya bisa pusing memikirkan itu semua.
“Sudah dulu ya. Aku harus pergi. Titip rumah, ya.”
Lila pun segera melangkahkan kakinya keluar rumah. Ia mengambil gerobaknya lalu mendorongnya menuju ke sungai. Sementara Biru berdiam diri di rumah dengan perasaan tak nyaman.
"Hahhhh, kenapa aku tidak bisa mengingat apa-apa? Sampai berapa lama aku harus berada di rumah sempit seperti ini," keluh Biru pada dirinya sendiri.
Ia menatap kakinya yang masih belum bisa berjalan sempurna. "Aku harus segera sembuh dulu. Paling tidak aku harus bisa berjalan dengan baik. Aku harus mencari tau siapa aku sebenarnya," ucap Biru dengan penuh tekad.
***
Sepulang dari sungai Lila tampak menyalin air dari jerigen ke wadah yang lebih besar. Gadis manis itu tampak cekatan melakukan aktivitasnya. Ia sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri. Tak hanya sampai disana. Ia juga memasak untuk makan siang dan membereskan dapur. Biru hanya diam saja di tempatnya melihat Lila yang mondar mandir melakukan pekerjaan rumahnya. Sungguh, Biru merasa aneh berada disana.
Meskipun Biru adalah orang asing tapi Lila tetap memperlakukannya dengan baik. Sikap Biru yang terkesan sombong dan dingin padanya, tidak ia pedulikan. Lila mengerti, Biru pasti merasa asing berada di rumahnya.
Saat makan siang dan makan malam, Biru kembali merasa asing dengan apa yang ia makan. Apalagi makanannya lauknya hanya sedikit. Biru seperti tidak puas. Biru yakin, di kehidupannya dulu ia pasti makan dengan mewah. Bukan seperti ini, kebanyakan nasi daripada lauk.
“Apa aku harus tidur di kursi ini lagi?” tanya Biru yang sudah duduk di atas kursi panjang itu lagi. Mereka sudah selesai makan malam.
“Aku tidak punya kasur lagi, Tuan. Hanya ada satu kasur di kamarku,” jawab Lila.
“Badanku terasa sakit tidur disini. Aku tidak nyaman,” protes Biru. Meskipun kursi kayu itu ada alas busa tipis, tetap saja tubuhnya yang biasa tidur di kasur empuk merasa pegal jika harus tidur disana.
“Hmmm...kalau Tuan tidur di kamarku mau? Tuan bisa tidur di kasurku kalau Tuan mau,” tawar Lila karena merasa kasihan pada Biru.
“Apa? Tidur di kamarmu? Tidak ku sangka, kau segampang itu meminta pria asing tidur bersamamu!” hardik Biru tiba-tiba. Pria ini sepertinya salah paham.
“Bukan, bukan! Bukan seperti itu maksudku!” sanggah Lila dengan cepat sambil mengibaskan tangannya. “Tuan tidur di kamar dan aku yang tidur di kursi itu. Bukan kita tidur bersama,” jelas Lila.
“Ck, bilang saja tadi kau berniat begitu kan?” tuduh Biru untuk menutupi rasa malunya karena berpikir yang bukan-bukan.
Lila tampak memberengut. Sudah mau ditawarkan yang baik, pria ini malah menuduhnya. “Ya sudah kalau tidak mau. Aku mau masuk ke kamar, mau tidur. Tuan tidur saja disana,” kata Lila sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar.
“Eh, eh, eh, tunggu! Aku terima tawaranmu,” panggil Biru yang diabaikan Lila.
“Hei...aku terima tawaranmu. Aku mau tidur di dalam.”
“Hei....kau dengar aku tidak?”
Lila cekikikan di dalam kamar sambil menutup mulutnya. Sesekali pria itu harus diberi pelajaran pikirnya. Lila masih mendengar gerutuan yang keluar dari mulut Biru, tapi ia sengaja mengabaikannya.
“Ck, apa dia tidak ada tempat tidur yang lebih layak lagi? Huft, badanku pasti makin sakit kalau tidur disini,” keluh Biru menatap tempat tidurnya. Ia tak ada pilihan lain. Mau tak mau ia berbaring juga di atas kursi panjang itu.
Tak lama kemudian, Lila tak mendengar lagi suara Biru dari luar. Ia membuka pintu kamarnya lalu mengintip ke arah Biru yang tampak gelisah berbaring disana. Mata pria itu sudah terpejam, tapi badannya masih bergerak kesana sini seperti tidak nyaman. Tanpa sadar, Lila pun menarik sudut bibirnya.
Kalau dilihat-lihat, Tuan Amnesia itu tampan juga. Tapi dia cerewet sekali, banyak maunya. Apa mungkin di tempat asalnya dia memang orang berada, ya? Waktu aku menemukannya, pakaiannya memang terlihat bagus dan mahal. Pantas saja dia tidak nyaman berada di rumah kecil seperti ini. Gumam Lila dalam hati.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
@@Ayyaa@@
iya... benar Lila.
emang bingung nghdap'n pria cerewet
🤭🤭
Salken... author.
🙏..
2023-07-14
0
BUNDA ZAHRA
Hati2 kamu biru jangan sombong,dengan kesombongan mu itu malah bikin kamu BUCIN AKUT nanti🤭🤭🤭🤭🤭
2022-12-12
1
Fransiska Widyanti
kebanyakan mau lu biru dah untung dah di tolong
2022-11-09
0