Setelah sarapan, Lila tampak pergi ke belakang rumahnya. Ia ingin menyapu halaman belakang yang sudah banyak dipenuhi oleh dedaunan yang gugur.
“Kau mau apa?” tanya Biru yang melihat Lila membawa sapu lidi ke belakang rumah.
“Kalau aku pegang sapu tentu saja aku mau menyapu. Masa begitu saja kau tanya,” jawab Lila sambil berlalu meninggalkan Biru.
Biru mengikuti gadis itu dari belakang. “Mana tau kau mau terbang dengan sapu seperti itu,” ledek Biru.
Lila menoleh ke arah Biru lalu tergelak dengan ucapannya. “Kau pikir aku nenek sihir. Sudahlah, kau menggangguku saja.”
“Nanti kau rindu kalau aku tidak ada lagi untuk mengganggumu.”
“Bicaramu dari kemarin seperti kau sudah ingat saja siapa dirimu.”
“Ya siapa tau. Kita kan tidak pernah tau apa yang akan terjadi di masa nanti.”
Baru saja Lila ingin membalas lagi, seorang anak kecil berusia sekitar sepuluh tahun datang menghampiri Lila dengan membawa kantong plastik di tangannya.
“Kak Lila, aku mencarimu tadi. Aku panggil dari pintu depan tapi tidak ada yang menyaut,” keluh anak laki-laki itu.
“Maaf, Kakak kan di belakang. Sedang menyapu. Ada apa kau datang kemari?” tanya Lila.
“Ini kak, ada ikan dari ayah. Ambillah.” Anak laki-laki itu mengulurkan kantong plastik di tangannya dan Lila langsung menerimanya.
“Wah, terimakasih banyak, Ferdi. Sampaikan salamku pada ayah dan ibumu, ya. Bilang pada mereka terimakasih banyak,” ucap Lila pada anak kecil bernama Ferdi yang ternyata anak Paman Hardi dan Bibi Fatma.
“Baik, Kak. Aku pulang dulu.” Ferdi pamit pulang, tapi sebelumnya ia sempat melihat ke arah Biru dan tersenyum canggung.
“Jadi dia anak Paman Hardi yang mengobatiku?” tanya Biru sambil menatap punggung Ferdi yang kian menjauh.
“Iya. Paman Hardi dan istrinya memang baik sekali. Mereka selalu perhatian padaku,” jawab Lila.
“Aku berhutang budi pada Paman Hardi. Suatu saat aku akan membalas kebaikannya,” ucap Biru sungguh-sungguh.
Tiba-tiba Lila tersenyum licik lalu memberikan sapu lirik ke tangan Biru. “Apa-apaan ini?” tanya Biru kebingungan.
“Kau tidak mau membalas kebaikanku juga? Gampang saja, kau sapu halaman ini sampai bersih ya. Aku mau memasak ikan ini. Da......”
Lila melambaikan tangannya lalu segera meninggalkan Biru masuk ke dalam rumah.
“Hei, kenapa jadi aku yang menyapu? Kau ini menolong tidak ikhlas. Pamrih. Aku mana bisa menyapu. Lila.....” protes Biru yang diabaikan Lila.
Dari dalam rumah Lila cekikikan melihat Biru yang tetap menyapu tapi sambil menggerutu. Jika dilihat dari caranya menyapu, sepertinya pria itu memang belum pernah melakukan hal itu sebelumnya.
***
Malam ini Lila sudah menyiapkan ikan yang telah ia masak tadi siang. Ia berencana akan membagikannya pada Paman Hardi sebagian.
“Bi, aku titip rumah, ya. Aku mau ke rumah Paman Hardi sebentar,” pamit Lila yang sudah menenteng sebuah bungkusan di tangannya.
“Ini sudah malam. Ada perlu apa kesana?” tanya Biru yang sedang duduk di ruang tamu.
“Mau mengantar ini. Ikan yang sudah aku masak. Aku masak ikan bumbu kuning kesukaan Paman Hardi. Aku mau membagikan ini padanya sebagai ucapan terimakasih,” jawab Lila sambil mengangkat bungkusan di tangannya.
“Biar aku saja. Kau tunggu di rumah saja.” Biru berdiri lalu mengambil bungkusan itu dari Lila.
“Kau yakin? Kau tau kan rumah Paman Hardi yang mana?”
“Tau, bawel,” jawab Biru sambil menoel hidung Lila. “Aku akan mengantarnya. Kau di rumah saja. Siapkan makan malam untukku, ya. Aku juga mau mencoba ikan buatanmu ini.” Biru seperti berpesan pada istrinya saja kalau seperti itu.
“Iya, iya. Sudah, lekas antar sana! Setelah itu langsung pulang, ya.”
“Baiklah.”
Biru pun pergi mengantarkan makanan itu. Setelah Biru pergi, Lila bergegas menyiapkan meja makan dan menata makan malam mereka disana. Ia senang bisa menyiapkan makanan untuk Biru seperti ini. Ia merasa seperti seorang istri yang tengah menyiapkan makan malam untuk suaminya.
***
“Reza, lihat! Itu bukannya pria asing yang bersama Lila waktu di pasar itu?” tanya Dani yang sedang bersama Reza dan kedua teman lainnya.
Reza mengikuti arah pandang Dani, ternyata benar Biru tampak berjalan sendirian tanpa ada Lila di sampingnya.
“Kau benar. Itu dia,” jawab Reza sambil tersenyum menyeringai.
“Oh, jadi itu pria yang kau bicarakan itu? Badannya besar juga,” sahut temannya yang lain.
“Badannya memang besar, tapi dia sendiri, kita berempat. Dia tidak akan mungkin menang melawan kita,” ucap Reza.
“Kau mau menghajarnya sekarang?” tanya Dani.
“Sebenarnya rencanaku, besok baru aku akan membuat perhitungan padanya di dekat sungai, tapi.....” Reza melihat ke sekelilingnya. Jalanan saat itu sangat sepi. Hanya ada mereka saja disana. “Sepertinya sekarang saat yang tepat untuk membuat perhitungan padanya,” lanjut Reza.
“Kau serius? Di jalan? Kalau ada yang lihat bagaimana?” tanya teman yang lainnya.
“Jangan banyak omong! Kalau kalian takut, pergi sana! Aku bisa menghadapinya sendiri.” Reza terdengar gusar. Ia tak mau membuang kesempatan emas ini. Sudah tak sabar rasanya ia ingin menghajar Biru.
“Ya sudah, kami ikut bersamamu,” sahut Dani kemudian.
Reza pun mengangguk lalu mengajak teman-temannya menghadang Biru.
Biru yang sedang berjalan sendiri cukup terkejut karena tiba-tiba dihadiri oleh empat pria sekaligus. Dua di antara mereka pernah Biru lihat saat di pasar.
“Permisi, aku mau lewat,” ucap Biru dengan sopan namun tegas. Ia berusaha terus jalan tapi Reza menghadang tepat di depannya.
“Kenapa terburu-buru? Takut? Di depan Lila kau sudah seperti jagoan saja! Sekarang kau tidak ada nyalinya,” hina Reza.
Biru tersenyum sinis. Pria ini ternyata masih menyimpan rasa sakit hati padanya. “Aku yang takut atau kau yang takut sampai membawa anak buah seperti ini?” sindir Biru dengan nada santai.
Reza langsung menarik kerah baju Biru, ia menatap pria itu dengan tatapan permusuhan.
“Hei, orang asing. Aku peringatkan padamu, jauhi Lila karena dia hanyalah milikku! Pergi dari kehidupannya dan jangan pernah mendekatinya lagi!” ancam Reza.
Biru menarik tangan Reza yang memegang kerah bajunya. Ia pun balas menatap Reza dengan tajam.
“Aku tidak akan pernah meninggalkannya hanya karena ancaman darimu. Aku akan tetap tinggal bersamanya!” tolak Biru secara terang-terangan.
“Cih, sepertinya kau tidak bisa dikasih tau baik-baik!” geram Reza.
Reza langsung mengangkat tangannya dan melayangkan tinjunya ke arah Biru. Biru dengan sigap menangkap tangannya Reza dan balas memukul pria itu sampai terhuyung ke belakang.
Teman-teman Reza yang lain tentu tak tinggal diam. Mereka berkelahi dengan curang, menyerang Biru secara bersamaan. Empat lawan satu tentu saja Biru kewalahan. Dengan sekuat tenaga Biru bertahan dan membalas pukulan dari keempat orang itu.
Brugh!
Biru menendang kuat teman Reza sampai jatuh ke tanah. Pria itu tak kuat lagi untuk bangun. Kini hanya sisa mereka bertiga melawan Biru sendirian.
Reza melihat Biru bukankah lawan yang sembarangan. Saat Dani dan satu temannya masih berkelahi dengan Biru, ia mengambil batang kayu yang ada di semak pinggir jalan lalu memukulkan dengan keras tepat di kepala Biru.
Brugh.
Biru ambruk dengan da-rah segar mengalir dari kepalanya.
***
Praaaaannngggg!
Riana, ibu Biru, tak sengaja menjatuhkan gelas di tangannya saat sedang makan malam bersama suaminya di kediaman keluarga Adhitama di kota. Hatinya mendadak gelisah. Tiba-tiba saja ia memikirkan putra semata wayangnya, Biru.
“Kamu kenapa, Sayang?” tanya ayah Biru khawatir.
“Mas, kok aku tiba-tiba teringat Biru, ya Mas? Apa sampai sekarang Biru belum ada kabarnya lagi, Mas?” tanya Riana dengan sangat gelisah.
“Sayang, sabar dulu. Habiskan dulu makananmu. Nanti kita bicarakan lagi soal ini,” bujuk ayah Biru.
“Tapi aku tiba-tiba khawatir sekali sama Biru, Mas.”
“Iya, iya, Mas tau. Tenang dulu. Kita bicarakan nanti, ya.”
Riana jadi tak berselera melanjutkan makan malamnya. Ia langsung berdiri meninggalkan meja makan dan masuk ke kamarnya begitu saja.
.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Atiqa Fairuz Khalisa
langsung pulih ingatannya.
2023-05-15
0
Ricis
dan habis itu ingatan Biru mulai kembali normal ☺️
2022-10-01
1
Adila Ardani
up nya tambah donk thor 😍😍
2022-10-01
0