Lila tentu panik melihat Biru pingsan tak sadarkan diri. Ia segera membaringkan Biru seperti semula di atas kursi panjang itu.
“Tunggu disini ya, Tuan. Jangan kemana-mana! Aku pergi sebentar memanggil Paman Hardi,” ucap Lila pada Biru yang sedang pingsan.
Setelah itu ia dengan cepat keluar dari rumahnya untuk pergi menemui Paman Hardi. Tentu saja ia tak lupa mengunci pintu rumahnya dulu dari luar.
“Paman....Paman Hardi....” teriak Lila saat berada di depan rumah Paman Hardi. Keningnya tampak berkeringat. Saking paniknya, ia berlari untuk sampai ke rumah itu.
Tampak seorang wanita paruh baya keluar dari rumah yang didatangi Lila. Wanita itu biasa dipanggil Bibi Fatma, istri dari Paman Hardi.
“Kau ini selalu berteriak kalau datang kesini. Ada apa pagi-pagi sudah berteriak memanggil suami orang?” tanya Bibi Fatma sambil bercanda.
Lila pun terkekeh mendengar pertanyaan wanita itu. “Bibi tidak usah cemburu, Paman Hardi bukan tipeku.”
Bibi Fatma pun tergelak. “Kau ini bisa saja. Ada apa mencarinya?”
“Bi, aku butuh bantuan Paman Hardi. Pria yang aku temukan di sungai sudah sadar pagi ini, tapi dia mendadak pingsan lagi,” jawab Lila dengan serius kali ini.
“Pingsan? Kau apakah dia sampai pingsan?”
“Bibi, ayolah aku serius. Tadi sebelum pingsan dia memegang kepalanya, seperti orang kesakitan.”
“Pamanmu sedang sarapan. Masuklah dulu sebentar. Kau sendiri sudah sarapan belum?” tanya Bibi Fatma lagi.
“Belum, Bi.”
“Ya sudah, masuk dulu. Bibi ada roti lebih.”
“Terimakasih, Bi. Bibi yang terbaik. Tapi rotinya aku bungkus saja ya Bi, boleh kan? Biar bisa dibagi dengan pria itu. Kasian dia, pasti dia lapar sekali kalau sudah bangun nanti.”
Bibi Fatma tersenyum melihat Lila. Gadis ini kepeduliannya sangat tinggi pada orang lain meskipun ia baru mengenalnya. “Ya sudah, boleh. Ayo masuk,” ajak Bibi Fatma.
Lila pun mengangguk senang. “Baik, Bi.”
Lila pun masuk ke dalam rumah itu. Ia bertemu Paman Hardi dan menceritakan semuanya, sementara Bibi Fatma membungkus beberapa potong roti untuk ia bawa pulang. Setelah Paman Hardi selesai sarapan, mereka pun pergi ke rumah Lila.
Paman Hardi terlihat membawa sebuah tongkat di tangannya. Tongkat itu akan dipinjaminya untuk Biru nanti.
Ketika sudah sampai di rumah Lila, tampaklah Biru terbaring di atas kursi. Paman Hardi pun mulai memeriksanya kembali.
“Dia masih belum sehat betul. Dia tidak boleh memaksakan diri untuk mengingat siapa dirinya. Itu malah akan memperburuk keadaannya,” ucap Paman Hardi.
“Pantas saja dia berteriak kesakitan, Paman,” sahut Lila.
“Paman hanya punya obat pereda rasa nyeri saja. Berikan ini padanya saat ia merasa kesakitan.” Paman Hardi tampak mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan memberikan pada Lila.
“Terimakasih, Paman. Aku akan memberikan obat ini padanya,” jawab Lila.
Paman Hardi pun mengangguk. “Paman pulang dulu. Kalau ada apa-apa datanglah ke rumah tapi jangan berteriak segala,” ledek Paman Hardi yang membuat Lila terkekeh.
“Baik, Paman.”
Paman Hardi pun mengemas tasnya dan pergi meninggalkan rumah Lila. Tak lama, Biru nampak bergerak. Sepertinya ia kembali sadar. Lila yang melihat itu langsung mendekatinya.
“Tuan, Tuan sudah sadar?” tanya Lila.
“Hausss....aku hausss....” lirih Biru yang belum sepenuhnya sadar.
“Tunggu sebentar, Tuan.”
Lila dengan cepat pergi ke dapur untuk mengambil minum dan memberikannya pada Biru.
“Ini Tuan diminum dulu.” Lila pun membantu pria itu untuk minum.
Biru membuka matanya dengan sempurna. Kepala nya masih terasa berat. Lingkungan di sekelilingnya juga tampak asing baginya.
“Aku dimana ini?” tanya Biru sambil melihat ke sekelilingnya.
“Tuan, sekarang Tuan ada di rumahku. Kemarin aku menemukan Tuan hanyut di sungai. Karena aku tidak tau Tuan tinggal dimana, aku membawa Tuan kesini.”
“Sungai? Aku....”
“Berhenti, Tuan! Tuan jangan memaksakan diri mengingat apapun!” potong Lila dengan cepat sebelum pria itu pingsan lagi nanti. “Tuan baru saja sadar dari pingsan. Tuan belum bisa memaksakan diri untuk berpikir. Itu tidak baik untuk Tuan. Sementara Tuan bisa beristirahat disini sampai kondisi Tuan membaik.”
“Tapi kau siapa? Aku tidak mengenalmu,” tanya Biru dengan bingung.
“Aku Lila. Yang jelas aku bukan orang jahat, Tuan. Aku juga tidak tau Tuan siapa. Aku hanya membantu Tuan saja. Aku menolong Tuan atas dasar kemanusiaan. Untuk itu, aku akan merawat Tuan dengan baik selama Tuan disini,” jawab Lila panjang lebar agar pria di depannya ini tidak salah paham.
“K-kau mau merawatku? Hmm...boleh bantu aku?” tanya Biru tiba-tiba.
“Tuan lapar?” tanya Lila.
Biru menggeleng. “Tidak. Aku ingin buang air kecil sepertinya.”
Gubrak!
Lila ingin sekali menarik perkataannya tadi. Tapi dia sudah terlanjur mengatakannya.
“Baiklah, aku bantu. Tadi Paman Hardi juga meminjamkan tongkat untukmu. Kau juga bisa pakai itu.”
Dengan susah payah Lila membantu pria itu untuk bangun. Tubuh pria itu sangat tinggi dan besar, tidak sebanding dengan Lila yang kurus. Sebelah tangan pria itu bertumpu pada tongkat, sementara yang lain dipapah oleh Lila.
“Pelan-pelan saja Tuan jalannya,” ucap Lila sambil menuntun pria itu dengan hati-hati.
Pria itu cukup terkesima dengan perlakuan baik Lila padanya. Gadis ini tampak ikhlas menolongnya meski mereka baru pertama bertemu.
Setelah selesai buang air kecil dan mencuci muka, Biru dengan tidak tau malu meminta makanan pada Lila. Perutnya terasa sangat lapar. Lila pun dengan cepat membuatkan teh hangat untuknya dan memberikan dua potong roti yang dibawakan Bibi Fatma tadi. Sisa dua lagi untuk dirinya sendiri.
"Apa kau tidak ada makanan lain?" tanya Biru sambil membolak balik roti di tangannya.
"Saat ini hanya ada itu saja, Tuan. Enak kok. Cobalah," bujuk Lila.
Dengan ragu Biru memasukkan makanan yang terasa asing di lidahnya itu. Tapi ternyata rasanya enak. Biru pun memakan kedua rotinya sampai habis.
“Aku masih lapar,” ucap Biru setelah habis memakan kedua rotinya.
Lila melongo mendengar ucapan Biru. Tadi tampak enggan memakan roti itu, sekarang malah minta tambah. Pria ini sedang kelaparan rupanya. Di piring sisa satu roti saja milik Lila karena yang satunya sudah Lila makan. Lila menggeser piring roti itu ke arah Biru.
“Makanlah. Itu buatmu.”
Biru tanpa sungkan mengambil roti itu dan melahapnya sampai habis.
Mudah-mudahan pria ini cepat sembuh dan bisa kembali ke tempatnya lagi. Makannya banyak juga. Dia bisa menghabiskan stok makananku saja kalau begini. Umpat Lila sambil terkekeh dalam hati.
“Kenapa kau senyum-senyum sendiri? Kau tidak ikhlas memberi roti ini padaku?” tanya Biru yang tampak tersinggung.
“Tidak, Tuan Amnesia. Makanlah. Kau membutuhkannya,” jawab Lila dengan senyum ramah di wajahnya.
Dia ini ternyata cepat sensi juga, hihihi. Lagi-lagi Lila tergelak dalam hati.
Tuan Amnesia? Ck, panggilan seperti apa itu! Keluh Biru dalam hati.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Ainun Dunggio
wah
2023-03-07
1
BUNDA ZAHRA
😅😅😅😅😅habis stok makanan ku untuk 1 bulan kedepan🤭🤭🤭😭😭
2022-12-12
0
Fransiska Widyanti
😁 kelaparan si biru
2022-11-09
0