Karin mematikan ponselnya, dia merasa amat kesal dengan Ardi yang berdekatan dengan wanita lain, selama ini dia berkata suka pada pemuda itu dan gencar menggodanya ia pikir hanya sebagai bahan bercandaan saja, dia pun tahu abang angkatnya itu tidak pernah serius menanggapinya, tapi kenapa melihat Ardi didekati wanita lain ia jadi merasa takut, apa dia benar-benar menyukai pemuda itu?
Karin jadi pusing sendiri, dia masuk ke dalam ruangan kamar mandi dan mencuci wajahnya di sana, ia melihat pantulan dirinya di cermin, tanpa senyum, tanpa tawa, dan tanpa ke berisikan yang selama ini dia bawa-bawa.
hanya pada cermin dia bisa jujur dengan dirinya sendiri, karena berisik adalah cara nya untuk melarikan diri dari perasaan sepi yang selalu datang menghantui.
Mami, Karin kangen Mami, batinnya. Mami selalu bilang jika Karin ingin membuat seseorang mencintai Karin adalah dengan berusaha membuatnya tertawa, tapi setiap dia tertawa, malah Karin yang jadi suka.
Sayup-sayup Karin mendengar obrolan dari arah luar, dan sialnya saat dia akan pergi, gadis itu malah berpapasan dengan geng nya Ratu di ambang pintu.
"Eh, ada si tukang cari gara-gara." Ratu mendorong Karin hingga gadis itu kembali masuk ke dalam ruangan.
Karin masih diam saja, untuk merasa takut, dia tidak sepengecut itu, beberapa anak lain yang baru keluar dari bilik kamar mandi mereka usir, dan beberapa yang ingin masuk mereka cepat tolak, kemudian menutup pintu dan hanya ada Karin, Ratu dan kedua temannya itu.
"Mau apa lo?" Tanya Karin berani, menghilangkan panggilan kakak sebagai tanda penghormatan yang selama ini dia berikan. Ratu tampak syok.
"Wah, berani lo ya," ucapnya, kemudian menyuruh salah satu temannya untuk menampung air di wastafel, Karin tahu untuk apa air itu.
"Ada hubungan apa lo sama Kak Ardi, sampe dia bisa belain lo?"
Karin merasa tidak perlu menjawab pertanyaan gadis berrambut panjang itu, hingga kedua temannya memegangi tangan Karin dan menguncinya ke belakang. Sialan, mereka main keroyokan. Pikirnya.
"Ok kalo itu lo nggak mau jawab, selama ini gue diemin lo yang deketin Dewa bukan berarti gue nggak berani ngasih ancaman lagi buat lo ya, gue lagi nyari tau aja tentang siapa sih lo sebenernya."
Kawanan Ratu mulai mendorong Karin mendekati wastafel yang penuh dengan air, kemudian mulai mencelupkan secara paksa kepala gadis itu ke sana.
Hanya beberapa menit saja dan cukup membuat rambut sebahu Karin basah kuyup, gadis itu mengatur napas yang sempat ia tahan barusan. Ratu mencengkram dagunya, membuatnya mendongak.
"Ternyata lo cuman seorang anak kriminal, nyokap lo dipenjara kan?" Ucap Ratu.
Karin membelalakkan matanya, terkejut, untuk yang satu ini dia tidak bisa diam saja, "kalo lo nggak suka sama gue, ya gue aja, nggak usah bawa-bawa nyokap gue."
"Udah berani ngomong lo ya." Ratu kembali mendorong paksa kepala Karin ke dalam air, cukup kuat hingga gadis itu merasa keningnya membentur permukaan wastafel yang terasa keras.
Ratu kembali mencengkram dagu Karin kemudian berkata, "lo cuman nggak lebih dari seorang anak kriminal," kalimat kasar yang tidak patut untuk diucapkan oleh seorang pelajar, Karin dengar, terus keluar dari mulut seorang Ratu.
"Berenti bawa-bawa nyokap gue!" Karin berteriak marah, melepaskan diri dari kedua teman Ratu yang memegangi tangannya, setelah mendorong mereka hingga membentur pintu, Karin mendekati Ratu yang tampak ketakutan dan menampar wajahnya. Merasa tidak terima, gadis itu balik menampar dan keduanya terlibat perkelahian.
***
"Mau jadi apa kalian, perempuan berkelahi di kamar mandi, sudah merasa jagoan?" Ibu Lusi selaku guru bk terus mengomel. Di seberang meja, Ratu juga Karin tampak menunduk memegangi kedua telinganya masing-masing.
"Karin duluan Bu, yang nampar saya." Ratu membela diri.
"Kamu Ratu, kamu itu harus kasih contoh yang baik sebagai kakak kelas," omelnya pada Ratu yang sontak menunduk, "dan Kamu Karin, kamu itu masih baru bersekolah di sini, tapi sudah mencari masalah. Mau jadi apa kalian berdua."
Karin terus menunduk, tidak berusaha mencari pembelaan meski jelas-jelas dirinyalah yang paling terlihat mengenaskan di antara keduanya, rambut dan seragam yang ia kenakan tampak basah kuyup, tulang pipinya memar akibat dibenturkan ke wastafel.
"Ibu sudah memanggil wali kalian berdua, tetap di sini jangan kemana-mana," ucap Ibu Lusi kemudian melangkah keluar meninggalkan mereka.
Ratu menurunkan tangannya dari telinga, "bokap gue bentar lagi dateng, dan lo bakalan tamat," berkata seperti itu, Ratu beringsut menjauh saat Karin menolehkan kepala menatapnya. Gadis itu merasa takut dengan sifat asli Karin saat mengamuk, selama ini belum pernah ia mendapat perlawanan dari siswi yang pernah ia bully.
Karin tidak memikirkan apa-apa selain walinya yang katanya akan datang menemui dirinya, siapa? Tidak mungkin mami kan, dan membayangkan sang papi yang datang menjemputnya membuatnya panas dingin, mati lah dia dipukuli oleh papinya nanti, Karin hanya berharap, semoga yang datang adalah Ibu Marlina.
"Di mana anak saya." Seorang bapak paruh baya memasuki ruangan dengan tampang galak, Ratu menghambur pada pria itu kemudian menangis tersedu-sedu, mengadukan setiap luka yang ia dapat dari Karin yang membuat pria yang ternyata papanya itu jadi murka.
"Berani kamu menyentuh putri saya," bentak papa Ratu yang membuat Karin sedikit terlonjak, tapi dia sama sekali tidak merasa taku, dia tidak bersalah, pikirnya.
"Maaf, Pak, tolong jangan berbuat kasar, di sini keduanya salah." Bu Lusi mencoba jadi penengah.
"Tidak mungkin anak saya salah, Ratu ini anak yang baik, Bu," belanya, kemudian pergi membawa putrinya keluar ruangan setelah berpesan ingin dikabari saat wali dari Karin sudah datang, dia bilang ingin membuat perhitungan.
Karin yang masih menunduk berdiri di dalam ruang bk tidak pernah tahu dengan kehebohan di luar. Terparkirnya mobil mewah sembarangan di depan sekolah membuat para murid melongok, mengintip lewat jendela, mereka menjerit histeris, hot daddy, pekiknya.
Justin dengan penampilan yang masih rapi selepas menghadiri rapat penting melangkah dengan tergesa menuju ruangan tempat Karin berada, mengikuti Ibu Lusi yang dengan kikuk melangkah lebih dulu.
"Silahkan masuk, Pak."
Karin mendongak, sedikit terkejut mengetahui bahwa abang angkatnya lah yang datang, pria itu melangkah menghampirinya, sedikit membungkuk ketika gadis remaja di hadapannya itu menunduk menyembunyikan wajahnya.
"Kamu tidak apa-apa?" Tanya Justin yang sontak membuat Karin menggeleng cepat. Justin menyentuh pundak Karin, menyuruhnya untuk mendongak. "Ayo kita berobat," ajaknya setelah melihat keadaan gadis itu.
"Sebentar, Pak, ada yang ingin bertemu dengan bapak," ucap Bu Lusi, kemudian melangkah keluar dengan tergesa.
"Maafin Karin. Bang." Karin kembali menunduk.
Belum sempat Justin menjawab, kedatangan William dengan tas ransel pink di salah satu bahunya masuk tanpa permisi membuat keduanya menoleh. Setelah membuat kehebohan di dalam kelas Karin untuk mencari tas gadis itu, dia kini menghampiri Karin dan mengacak rambutnya. Sahabat abang angkatnya ini memang kadang setidak terduga itu.
"Sudah jadi jagoan sekarang," ucapnya dengan tawa, yang membuat Karin mencebikkan bibirnya.
Dari arah luar terdengar seorang bapak tampak marah-marah.
"Mana wali anak itu, biar dia tahu seberapa pentingnya saya, dan jika waktu saya ini diukur dengan uang, seberapa besar kerugian saya sudah membuang-buang waktu untuk membuat perhitungan denga orang itu."
Mendengar hal itu Justin menoleh ke arah pintu, dan yang terkejut malah Papa Ratu.
"Pak Justin? Anda di sini?" Tanyanya bingung, dan lebih terkejut lagi saat melihat atasan bulenya di kantor tengah merangkul gadis yang sejak tadi ia marah-marahi. "Pak William juga?"
Justin melangkah mendekati papa Ratu yang tampak pucat, "sepertinya adik saya punya masalah dengan putri anda," ucapnya.
Papa Ratu yang berubah jadi ramah berusaha tertawa, "ah, anak remaja, Pak. Berkelahi biasa, Ratu ayo cepat minta maaf."
Ratu yang terkejut jadi tidak terima, "Papi kok gitu," rengeknya yang langsung mendapat pelototan dari papinya itu.
"Anda tentu lebih tahu seberapa pentingnya waktu saya, dan seberapa banyak kerugian yang saya dapatkan dari kehilangan waktu untuk meladeni tuntutan Anda," tutur Justin yang semakin membuat Papa Ratu merasa terpojok, karirnya di ujung tanduk, begitu pikirnya.
"Maaf, Pak Justin, anggap saja urusan ini bukan apa-apa, hanya kenakalan remaja, saya janji akan lebih mengajari putri saya dalam bersikap."
"Itu bagus, jika anda bisa lihat keadaan adik saya yang lebih kacau, anda bisa menilai siapa korbannya di sini," ucap Justin yang membuat Papa Ratu sontak mengangguk, "dan saya tahu adik saya, dia tidak akan menyerang putri anda, jika putri anda itu tidak mengganggunya lebih dulu."
Perdebatan di ruang bk itu diakhiri dengan minta maafnya Ratu yang dipaksa oleh sang papa untuk mengaku bersalah, dan Ratu yang memang bersalah mau tidak mau meminta maaf pada Karin yang dibalas anggukan oleh gadis itu.
Justin kembali melangkah cepat di koridor sekolah, di belakangnya, Karin yang berjalan diapit rangkulan William tampak menjadi tontonan.
"Bang Bule, nggak usah rangkul-rangkul si, Bang. Malu nih." Karin menurunkan tangan William dari pundaknya.
"Memangnya kamu punya rasa malu juga?" Tanya pria bule itu yang membuat Karin berdecak sebal.
Setelah mengacak rambut Karin, William kembali merangkulkan tangannya dan menyeret gadis itu hingga masuk ke dalam mobil.
Karin jadi merasa menyesal sudah menjadi fans nomor satu pria bule yang menyebalkan itu.
***
Di rumah, Karin yang disambut dengan kekhawatiran Bu Marlina yang dengan sigap mengompres wajah lebam Karin membuat gadis itu menjadi malu, dia lebih banyak diam.
"Dulu juga aku sering dibully, tapi bagus kalo kamu mau lawan," ucap Nena, memberikan segelas air putih yang mendapat ucapan terimakasih dari gadis itu.
"Ah aku ingat, dia dibully karena terlalu cantik," ucap William yang memang dulu satu Sma dengan Nena.
Justin menoleh, "memangnya ada seperti itu," ucapnya.
"Tentu saja ada, dan kau tahu siapa yang menjadi pahlawan untuknya?" Goda William yang membuat Justin melirik tidak suka. "Tentu saja aku," lanjutnya dengan menaikan alis tebalnya yang membuat Justin bertambah keki. Setahu Karin hubungan mereka bertiga itu cukup rumit. Dan yang membuat Karin salut, ketiganya tampak saling menyayangi.
Karin melihat suami mbak Nena melempar bantal sofa pada pria bule sahabatnya itu, namun tidak berkata apa-apa, dan hal itu malah membuat William semakin tertawa. Berada di antara mereka terkadang Karin merasa lebih dimanusiakan dari pada dengan ayah kandungnya sendiri.
"Pahlawan kesiangan, aku udah lemes satu jam ke kunci di kamar mandi dia baru dateng, apa-apaan," olok Nena ikut melempar bantal sofa pada William kemudian bergelayut manja pada sang suami di sebelahnya.
Karin beranjak berdiri yang membuat semuanya menoleh, Ibu Marlina sudah pergi ke dapur lebih dulu setelah menempelkan plester di kening anak angkatnya yang tampak sedikit luka.
"Karin ke kamar dulu, maaf buat kekacauan hari ini," ucapnya kemudian beranjak ke kamar setelah mendapat beberapa nasihat kurang penting dari ketiganya.
Ardi yang sedari tadi mengamati di ruangan terpisah ikut beranjak berdiri, mengetuk pintu kamar Karin kemudian melangkah masuk saat gadis itu mengizinkannya.
Pemuda itu mengambil handuk yang tersangkut di balik pintu, menggosok rambut Karin yang sudah setengah kering, gadis itu duduk di pinggir ranjang, mendongak menatap pergerakannya.
"Kenapa rambut lo basah?" Tanya Ardi, menyeret kursi belajar dan duduk berhadapan dengan gadis itu.
"Dilelepin di wastafel," jawab Karin.
"Bisa napas?"
Karin menggeleng, "enggak, Bang. Pas napas airnya masuk ke idung, cobain deh."
Ardi sedikit tertawa, menyampirkan handuk di tangannya ke pundak gadis di hadapannya itu, "kenapa lo berantem?"
Karin terdiam, menunduk, "salah Karin ya, Bang, Karin marah pas mami dibilang kriminal, padahal kan emang kenyataannya gitu."
Ardi menghela napas, menatap gadis yang sedikit bersikap berbeda di hadapannya itu dengan iba, "justru aneh kalo lo nggak marah," ujarnya yang sontak membuat Karin mendongak.
Beberapa saat kemudian suasana berubah hening, tiba-tiba saja Ardi merasa lebih suka dengan Karin yang berisik. Seperti ini malah membuatnya menjadi canggung, entah kenapa, dia merasa belum mengenal dengan baik gadis di hadapannya itu.
"Bang Ar."
"Hn?"
"Abang udah suka belum sama Karin?"
Ardi tertegun, kemudian berdehem, "kenapa emang?"
"Kalo Bang Ar udah suka sama Karin tolong bilang ya, Karin takut nggak sadar, terus sikap Karin malah nyakitin abang."
Ardi tertawa mendengus. "Kalo ternyata gue sukanya sama orang lain?"
Kini giliran Karin yang tertegun, menatap pemuda di hadapannya tanpa ekspresi, "ya abang bilang juga, seenggaknya nanti Karin bisa memulai rasa suka Karin sama orang lain juga," ucapnya yang entah kenapa membuat Ardi terdiam.
Karin tidak akan pernah tahu kapan pemuda di hadapannya itu sudah mulai menyukainya, sebab Ardi sudah terlanjur menolak sadar dengan perasaannya sendiri terhadap gadis remaja itu. Tapi tanpa ia pungkiri hatinya selalu merasa berbeda.
"Cewek tadi siapa Bang?"
"Temen."
Karin mengangguk, "dia suka sama abang tuh."
"Masa?"
"He'm, Karin juga suka sama abang, kalo dia punya duit seratus terus dikasih ke abang limapuluh, dan karin yang cuman punya duapuluh ribu cuman bisa ngasih abang segitu, Bang Ar pilih yang mana?"
Ardi tersenyum. "Ya limapuluh lah, gedean," jawabnya dengan nada bercanda.
"Tapi asal abang tau ya, dia ngasih gedean tapi cuman setengah, sedangkan Karin ngasih semua duit yang Karin punya."
Ardi mengacak rambut gadis di hadapannya itu gemas, "jadi kesimpulannya, jangan pernah ngasih semua yang lo punya buat orang lain, sisain buat diri lo sendiri."
"Bisa gitu ya, Bang."
Ardi jadi tertawa, gadis remaja di hadapannya ini benar-benar polos sekali, pikirnya.
"Udah dong Bang, ketawanya."
"Kenapa?"
"Mami Karin pernah bilang, kalo kita ingin membuat seseorang jatuh cinta, kita harus bisa membuat dia tertawa," ucap Karin dan Ardi jadi merapatkan bibir, "tapi setiap abang ketawa, malah Karin yang jadi suka."
Ardi kembali tertawa, membuat Karin tahu, pemuda itu memang tidak pernah serius menanggapi setiap ucapannya, "boleh nggak si, lo gue lelepin lagi, di bak ya sekalian."
"Mati dong Karinnya."
**iklan**
Author: nulis ini gue tiba-tiba denger lagu ungu. 🎵 baiknya ku pergi tinggalkan dirimu sejauh mungkin untuk melupakan 🎵
Netizen; Jan lagu ungu lah thor gue jadi inget sinetron azab 🎵 Sesungguhnya manusia takkan bisa menikmati surga tanpa ikhlas di hatinya🎵
Author; nggak nyambung lah goblo 🎵entah apa yang merasukimu hingga kau tega menyakiti aku yang tulus mencintaimu🎵
Netizen : goyang dua jari thor.
Author : beda lagu Sukimin.
Netizen; Kenapa jadi tiktokan si nggak jelas lu thor.
Author; Bodo amat dah ah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
athaya
haduuh malem" ketawa bikin mulut kering
2025-04-18
0
Ney Maniez
sad awal karin
2024-12-10
0
Moel Yatie
next Thor
2024-06-21
0