Karin berlarian di koridor sekolah menuju kelasnya yang terletak di ujung seberang lapangan, gadis itu nyaris kesiangan karena ulah sang abang.
Beruntung saat pemuda itu menurunkannya di depan gerbang sekolah, Pak satpam yang entah pergi kemana belum sempat menguncinya.
Karin sampai di kelasnya dengan terengah. "Untung nggak kedualuan Pak Tyo, gue," adunya pada Maya yang sudah duduk di kursinya.
"Apaan, orang dia hari ini nggak masuk ," ucap Maya setelah mengalihkan perhatian dari hpnya.
"Kampret, tau gitu tadi gue jalan santai aja nyampe sini." Karin mengumpat kesal, setelah itu mendudukkan dirinya di kursi sebelah Maya.
"Rin kerjaan lo ngapain aja si di rumah?" Tanya Maya yang membuat Karin menoleh. Ditanya kerjaannya apa dia jadi ingat kejadian tadi pagi.
"Kenapa emang?"
"Kenapa tulisan lo nggak update-update, gue penasaran ini sumpah, mana scen terakhir bikin gue sesek napas lagi buruan apa nulisnya."
"Dipikir nulis cerita segampang ngomongin orang apah, ya sabar lah, gue kan juga butuh referensi," ucap Karin sembari meraba kolong meja dan menemukan beberapa surat dan makanan di sana.
"Sebenernya lo itu udah banyak referensi tau Rin, mahluk-mahluk penghuni rumah lo kan malaikat semua, mana katanya ditambah dua lagi kembar ya. Wah, cocok itu dibikin cerita, buruan apa rilis."
"Masih bayi woy, ya entar lah nunggu yang ini tamat dulu gue nulis satu cerita aja ditagih sehari tiga kali, gimana gue nulis dua cerita, bisa demo pembaca gue gara-gara updatenya ngalahin pertapaan si buta dari gua hantu." Karin jadi mengomel, sembari mengembalikan kertas-kertas surat yang isinya nomor WA itu ke kolong mejanya.
"Eh iya, lupa gue," ucap Maya, kemudian mengambil sebatang coklat dari dalam tasnya. "Ini dari Kak Dewa, tadi dia nungguin lo kelamaan jadi dititipin ke gue." Maya menyodorkan coklat itu pada Karin yang kemudian menerimanya.
"Tumben nggak ditaro di kolong meja," ucap Karin sembari memperhatikan coklat di tangannya
"Kayaknya ada pesan pentingnya deh, dia takut nggak ketauan kali."
Karin mengambil lipatan kertas yang terselip di bungkusan coklat yang ia pegang, kemudian membacanya. Selain mendesah pasrah, dia bisa apa.
"Apaan isinya, Rin?"
"Dia nembak gue lagi." Karin berucap sembari mengembalikan coklat di tangannya pada Maya, yang reflek ia terima. "buat lo aja," ucapnya.
"Gue bingung, emang lo nggak tuker-tukeran nomor hp, sampe kirim surat gini kaya jaman emak gue aja."
Setelah melihat teman sebangkunya itu menggeleng, Maya berucap lagi. "Udah terima aja Rin, lumayan buat bahan referensi tulisan lo," hasutnya, kemudian tertawa.
Karin menoleh, kemudian menyentuh dadanya sendiri. "Perasaan gue itu bukan instagram ya May. Ngasih hati nggak segampang klik dua kali."
"Yaelah, udah si dari pada lo jadi jomblo sengketa mulu."
"Apaan jomblo sengketa?"
"Jomblo yang nggak jelas status kepemilikannya, dibilang sodara tapi nggak ada ikatan darah, dibilang pacar statusnya adek-abang, prihatin gue lama-lama," ucap Maya yang mendapat tabokan di punggung tangannya. Karin memang menceritakan tentang hubungan anehnya dengan sang abang pada gadis itu.
"Bisa banget nyindir gue lo, eh tau nggak May, akun Netizenmahabenar lo tebak siap coba?"
"Beneran Kak Dewa?" Tanya Maya.
"Bukan, lo pasti nggak percaya, dia abang gue, May!" Karin menceritakan itu dengan memeluk teman sebangkunya guna menyembunyikan wajah merahnya di pundak gadis itu.
"Hah, serius?" Tanya Maya cengo, namun setelah itu tawanya meledak juga, dan membuat beberapa teman kelasnya jadi menoleh, Karin yang reflek menjauh jadi memukul lengan gadis itu. "Astagfirullah, jadi lo selama ini curhatin tentang Bang Ar langsung sama dianya?" Tanya Maya.
Karin mengangguk, "makanya gue malu banget, mana setiap curhat gue berasa bucin banget lagi sama tu orang, muka gue May, ya ampun muka gue mau ditaro dimana."
Maya kembali tertawa, "ngenes banget si hidup lo Rin Ya Allah, udah kaya pemeran utama cerita novel tau nggak. Sedih gue, eh tapi bagus Rin, biar dia tau perasaan lo," celotehnya lagi dengan kembali tertawa.
Karin berdecak sebal, kemudian merebahkan kepalanya ke atas meja, "dia mulu yang tau perasaan gue, gue nggak pernah tau perasaan dia yang sebenernya." Gadis itu bergumam sendiri, hingga kemudian Maya mengguncang lengannya yang membuat ia mendongakkan kepala.
"Kak Dewa lewat tuh," ucap Maya menunjuk jendela dengan dagunya.
Karin menoleh ke arah yang sama, sambil terus berjalan dengan teman-temannya, pemuda bernama Dewa itu sempat menoleh, mengacungkan ibu jari dan kelingkingnya membentuk telepon yang didekatkan ke telinga. Karin hanya bisa tersenyum untuk membalasnya.
Diam-diam gadis itu membuka lipatan kertas yang ia masukkan ke saku kemeja, dan kembali membacanya.
Belajar dari penolakan pertama, gue percaya, kalo dapetin hati lo itu nggak semudah mengacungkan dua jari ke depan kamera.
Gue nggak perlu jawaban segera, tapi pliss gue juga nggak mau denger penolakan, selama lo belum ada yang punya, dan perasaan gue masih tetep sama, gue bakalan terus berusaha. Save nomor gue ya.
***
"Jadi menurut lo berdua, gue beneran suka sama tu anak apa cuma kasian?" Ardi yang beberapa saat tadi menceritakan tentang kedekatannya dengan Karin pada kedua sahabatnya kemudian bertanya. Pemuda itu juga tidak lupa menceritakan sekilas tentang hidup gadis itu yang tampak menyedihkan.
Berbeda dengan Agung yang menyandarkan punggungnya, Ipang malah mencondongkan tubuhnya mendekat. "Akhirnya lo sadar juga Nyet, kalo selama ini lo ada rasa sama tu anak. Tapi gobloknya, kenapa lo macarin Nadia?"
Ardi berdecak, memilih tidak menjawab, toh mereka sudah tau alasannya kenapa.
"Nih, yang kaya begini nih, Gung." Ipang menepak pundak Agung di sebelahnya, kemudian kembali menoleh pada Ardi. "Kelakuan lo tuh dijadiin bahan ghibah dosa, nggak dighibahin mubazir. Lo pacaran sama Nadia tapi ngasih perhatiannya buat orang lain. Luar biasa."
"Sepatu gue kendor nih, sekali lempar kena jidat lo Pang." Ardi jadi kesal. "Coba aja lo ada di posisi gue."
"Kalo gue ada di posisi lo ni yah, gue adilin, gue kasih perhatian dua-duanya." Ipang berapi-api.
"Emang keluaran lubang buaya mah susah, buaya darat dasar." Ardi mengomel sebal.
"Set nggak nyadar diri, lo juga buaya, buaya buntung tapi." Ipang balik menyela.
Agung yang mendengar perdebatan tidak berfaedah dari kedua temannya itu jadi berdecak kesal. "Udah lah, kalian berdua itu sama-sama peranakan buaya. Berisik tau nggak," omelnya.
"Peranakan buaya," ulang Ipang.
"Kok kesannya lo jadi nyela emak gue dah." Ardi berlagak tersinggung.
"Makanya lo berdua itu yang bener jadi orang, biar emak lu nggak pada malu udah nglahirin anak buaya."
Keduanya jadi kicep, saling melirik.
"Iya Pak Ustadz." Ardi berucap membuat Ipang menahan tawa.
"Kita itu bukan buaya, lo nya aja yang terlalu bersih, makanya move on, cari pacar dong." Ipang menasihati.
"Jangankan nyari pacar, si Agung gue suruh nyari ujung selotip aja nggak ketemu," ucap Ardi yang mendapat lemparan botol air mineral yang sigap ia tangkap.
"Sialan, kenapa lo berdua jadi kompak nyudutin gue si." Agung mengomel kesal.
"Yaudah ini masalah gue gimana? Menurut lo gue harus gimana?" Tanya Ardi nyaris frustrasi.
"Jadi selama ini, mantan lo banyak itu lo macarin pake apaan? Masa tentang perasaan kaya gitu aja lo nggak ngerti," ucap Agung, menegakkan tubuhnya untuk meraih air mineral dari tangan temannya yang ia lempar barusan.
"Gue juga nggak tau, dari mantan-mantan gue selama ini, perasaan gue buat Karin tuh beda, apa karena gue serumah aja ya, jadi gue merasa deket sama tu anak?"
"Jadi lo menyimpulkan kalo perasaan lo itu sebatas kasian?" Agung bertanya.
"Ya enggak juga, gue tuh sayang sama tu anak, tapi–"
"Gampang aja sih Ar kalo lo mau meyakinkan perasaan lo," sela Ipang, memotong ucapan pemuda itu. "Lo liat dia jalan sama cowok lain aja, kalo lo sakit hati berarti lo emang udah cinta."
Ardi jadi mengingat kedekatan gadis itu dengan Dewa, dan saat dia ketiduran di kamarnya dengan pikiran tidak tenang, dia sadar bahwa perasaannya untuk gadis remaja itu sudah terlalu jauh.
"Sekarang tuh masalahnya bukan lo beneran suka sama tu anak atau nggak, tapi gimana caranya lo bisa lepas dari Nadia tanpa nyakitin perasaannya." Agung mengingatkan.
"Gue maunya dia yang mutusin gue," ucap Ardi.
"Atas dasar apa? Dengan sikap lo yang secuek ini pun udah nyakitin dia, tapi tetep aja lo nggak diputusin." Agung berucap setelah meminum air di botolnya.
"Sekarang gini aja, kita sadarin Nadia dulu bahwa yang selama ini ada buat dia itu si Edo," ucap Ipang yang tumben sekali idenya lumayan bisa diterima. "Gimana kalo kita suruh si Edo deketin cewek lain dulu, biar Nadia merasa kehilangan."
"Tapi cewek yang mana dulu nih, mau nggak dia diajak kerja sama?" Tanya Agung.
"Gimana kalo si Karin aja." Ipang memberi ide.
"Gue setuju," balas agung dengan semangat.
"Setan!! Gue nggak terima." Ardi menolak mentah-mentah, membuat kedua temannya jadi tertawa.
"Nggak usah liat tu anak jalan sama cowok lain, dari sini aja lo udah ketauan bakat bucinnya." Ipang mengolok.
Agung yang sempat berpikir kemudian berucap. "Tapi boleh juga kalo kita suruh Karin aja, lo bilang kan Nadia paling cemburu sama tu anak," ucapnya. Ardi memang pernah bercerita saat Nadia marah ketika melihat foto adik angkatnya itu menjadi walpeper di hpnya.
"Jangan lah, dia masih anak-anak," ucap Ardi.
"Anak-anak tapi lo pacarin," omel Agung.
"Si Karin biarpun masih bocah tapi auranya kuat, pesonanya kenceng banget, gue juga nggak yakin kalo tu anak nggak diapa-apain sama ni buaya." Ipang menunjuk Ardi yang entah kenapa jadi gugup sendiri.
Pemuda itu mengambil air di botol agung dan meminumnya, "ngapain lo berdua ngliatin gue sampe segitunya, gue nggak ngapa-ngapain," omelnya saat lirikan kedua temannya itu seolah menghakimi.
"Nggak percaya gue," ucap Ipang.
"Ati-ati Ar, satu rumah gitu, si Karin masadepannya masih panjang." Agung menasihati.
"Astagfirullah, dikit doang," aku Ardi yang mendapat tabokan dari Ipang yang entah sejak kapan sudah berpindah di sebelahnya. Keduanya jadi bergulat, saling menghujat buaya mana yang paling bejat.
Setelah melerai perkelahian dua buaya di hadapannya, Agung mengajak mereka untuk pulang, pemuda itu menarik kerah baju Ipang dan membuat Ardi beranjak mengikutinya.
"Si Edo kemana dah, nggak keliatan dari tadi." Agung bertanya pada Ardi yang tampak sibuk dengan hpnya.
"Tadi dia cuman nanyain Nadia kenapa, terus nggak ada kabar."
Agung menghentikan langkahnya, "emang Nadia kenapa?" Tanyanya.
Ardi mengangkat bahu, "nggak tau kenapa pesan wa gue juga nggak dibales, seharian ini malah nggak ngasih kabar," ucapnya.
"Yaudah lah, mungkin dia lelah," ucap Ipang sok dramatis dengan sesekali menyapa beberapa siswi yang mereka lewati.
Agung kembali melangkah, "lo ada salah kali Ar," tebaknya.
"Gue si emang salah mulu di mata wanita," ucapnya asal yang membuat Agung berdecak sebal.
"Ar!" Edo yang entah datang dari mana tiba-tiba sudah berada di antara mereka. "Gue udah berkali-kali hubungin Nadia tapi nggak bisa, pesan-pesan gue nggak ada yang dibales," ucapnya panik.
"Masih ada kelas kali."
"Enggak Gung, gue tau banget jadwal dia." Edo kembali menoleh pada Ardi, "lo nggak bikin masalah kan?" Tanyanya dengan mendorong kasar pemuda itu.
"Wey, santai dong." Ardi jadi emosi.
"Udah dong udah, kalo ada masalah kan bisa diomongin baik-baik." Agung bertindak melerai. Parkiran yang sedikit sepi membuat perdebatan mereka kian nyaring.
Dari kejauhan tampak Nadia berjalan menghampiri mereka yang membuat Edo berubah tenang.
"Ya ampun Nat, kamu kemana aja si, kenapa nggak ada kabar." Edo langsung menghujani gadis itu dengan beberapa pertanyaan.
Nadia yang tampak lesu tidak banyak memberi tanggapan, gadis itu malah menepis tangan Edo dari pundaknya.
"Edo, Ardi, aku mau ngomong," ucap Nadia yang membuat mereka saling berpandangan.
"Perlu tempat?" Tanya Ardi yang mendapat gelengan dari gadis itu.
"Nggak usah di sini aja, kalian juga nggak usah pergi," ucap Nadia pada Agung dan Ipang yang hendak beranjak menjauh.
"Ada apa sih Nat, jangan bikin aku bingung." Edo kembali menyentuh pundak gadis itu, lagi-lagi ditepis olehnya. Edo semakin bingung.
"Ada apa?" Tanya Ardi, namun Nadia malah menangis.
"Kalian tuh tega banget yah sama aku, dari Mita aku tau, kamu macarin aku cuman atas dasar permintaan Edo kan."
Ardi tertegun, melirikkan matanya pada Edo yang tampak sama terkejutnya.
"Mita?"
"Iya, Dia nggak sengaja denger obrolan kalian di kantin beberapa hari yang lalu. Jadi semua itu bener kan?"
"Aku bisa jelasin, Nat." Edo hendak meraih tangan gadis itu yang malah menghindar.
"Jawab Ar!" Bentak Nadia.
Ardi tampak diam saja, memang kenyataannya seperti itu, dia harus bagaimana menyangkal nya.
Dia tau hal ini pasti akan tetjadi, dan dia memang sudah sangat menantikannya, tapi tidak dengan cara yang seperti ini juga.
Melihat gadis di hadapannya menangis, sumpah dia tidak tega.
"Nat–,"
"Udah lah Ar, aku nggak butuh penjelasan juga, kamu tuh–," Nadia menggantungkan kalimatnya, tangan kanannya terangkat ke udara.
Ardi tau pasti gadis itu ingin menamparnya, dia tidak akan menghindar, bahkan sekedar mengernyit pun tidak, dia sudah siap untuk hal semacam ini.
Tapi melihat gadis di hadapannya itu malah terdiam dengan tatapan yang terluka, dia benar-benar merasa sangat berdosa.
Ardi meraih pergelangan tangan gadis itu yang sempat ia turunkan, "kalo dengan nampar gue lo bisa lega, gue nggak apa-apa," ucapnya dengan mengarahkan tangan gadis itu menuju pipinya.
Nadia menarik tangannya hingga terlepas, "aku nggak bisa," ucapnya dengan menahan air mata. "Denger ya Ar, meskipun aku tau kamu nggak ada rasa sama aku, tapi sampe kapan pun, aku nggak akan pernah mutusin kamu," ucapnya yang membuat Ardi jadi terdiam.
Nadia berbalik pada Edo, dan yang membuat semuanya terkejut, gadis itu malah menampar sahabat kecilnya."Jangan anggap aku sahabat kamu lagi, Do. Persahabatan kita putus, aku kecewa sama kamu," ucapnya kemudian berlari pergi. Dan edo mengejar nya, mencoba memberikan penjelasan.
Ardi menoleh saat Agung menepuk pundaknya, namun temannya itu tidak berkata apa-apa.
"Edo yang ditabok pipi gue yang kebas." Ipang berkomentar.
"Ini kenapa jadi gini si, Edo yang diputusin, hati gue yang sakit, kenapa dia nggak mutusin gue aja coba, apa si yang dia harepin dari gue?"
"Mungkin masih sayang." Agung angkat bicara.
Ardi memegang kepalanya yang ternyata masih ada, ini benar-benar di luar dugaannya, terus bagaimana cara dia menjelaskan pada Karin, gadis itu pasti sangat kecewa.
"Gue balik lah," ucap Ardi dengan melangkah ke motornya. Perasaannya jadi tidak karuan, beberapa sapaan selamat jalan dari teman-temannyapun ia abaikan.
Diperjalanan, ucapan Nadia yang berkata tidak akan mengakhiri hubungannya terus berputar-putar di kepala, bersahut-sahutan dengan ucapan Karin yang mengatakan bahwa dia tidak ingin menjadi orang ketiga.
Lalu ditambah lagi dengan ucapan abangnya beberapa hari lalu yang membuat kepalanya semakin bertambah pusing. Abangnya bilang.
Seorang laki-laki bisa dikatakan dewasa, saat dia tidak lagi menyakiti perasaan seorang wanita.
Dan Ardi sadar, dia memang belum bisa bersikap dewasa.
Ini yang katanya peranakan buaya.
Ini korbannya
***iklan***
Author: Seperti biasa, abis adegan yang manis-manis dikasih konflik, biar sedepnya berasa.
Netizen: Sudah kuduga, lo memang nggak semurah hati itu thor.
Author: hehehe, buat yang nagih-nagih cerita, nggak apa-apa gue jadi semangat baca antusias kalian. Tapi jangan cuma nagih dong, kasih ide kek gitu masukan sapa tau gue jadi tercerahkan.
Terimakasih buat koin yang semakin bertambah. Aku sayang kalian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Erinda Dwi Wulandari
ternyata bang Ipang sahabat yg baik ya ..🤭😅 senasib sepenanggungan
2024-01-24
0
Erinda Dwi Wulandari
butuh perjuangan Gung...kayak mo buka kue lebaran yg di toples plastik bunder..yg masih ada selotipnya 🤭😂
2024-01-23
0
Diyah Saja
tuh kan ngaku😁
2023-11-04
0