Sebagai seorang ibu, terkadang Marlina merasa khawatir dengan kedekatan putra-putrinya yang sudah mulai beranjak dewasa, bagaimanapun juga Karin itu bukan saudara sedarah Ardi, meski keduanya tampak bersikap layaknya adik kaka yang lebih sering berdebat daripada akurnya, tetap saja, Marlina patut curiga.
Pernah sesekali wanita paruh baya itu kerap mengintip saat Karin atau Ardi berkunjung ke kamar masing-masing untuk membahas sesuatu, tapi tidak ada yang aneh.
Marlina sering juga memergoki keduanya berduaan di kamar, dan selalu saja melihat pemandangan yang sama, Ardi yang sibuk dengan laptopnya, dan Karin akan tiduran di karpet dengan buku pelajaran yang menutupi wajahnya, mengoceh entah apa yang Marlina duga gadis itu tengah menghapal sesuatu, sesekali juga malah sering mendengar keduanya berdebat, atau Ardi yang keseringan mengomel karena begitu sulit mengajari gadis lugu yang beberapa bulan lalu ia anggap sebagai anaknya itu.
Karin memang amat lugu, ia tahu. Karin tidak seperti gadis remaja kebanyakan yang akan merasa risi jika berdekatan dengan laki-laki.
Sifat gadis itu yang polos, jujur apa adanya yang membuat Marlina jatuh sayang, namun terkadang juga khawatir.
Marlina bisa merasakan, gadis itu amat haus kasih sayang, yang tidak bisa ia dapat dari ayah ibunya, tapi untuk memberikan perhatian lebih, kadang ia bingung harus memulai dari mana, dan kini malah gadis itu lebih akrab dengan anak bujangnya, tapi selagi keduanya masih dalam batas normal, Marlina merasa tidak akan apa-apa.
"Ngapain sih, Bu?"
Marlina sedikit terlonjak, saat Nena, menantu yang ia urus sejak bayi itu menegurnya yang berdiri di dekat pintu kamar putranya yang sedikit terbuka, Ardi terdengar mengomel di dalam sana, mengajari Karin mengerjakan soal Matematika.
"Mereka bukan saudara tapi akrap banget, kadang ibu suka takut," ucapnya sembari menjauhi kamar Ardi dan mengikuti Nena yang tengah hamil besar itu ke arah dapur.
"Aku sama Ardi juga bukan sedarah, tapi kita juga sering sedekat itu, apa yang ibu takutin?" Tanyanya sembari menuang air ke dalam gelas.
"Ya kamu kan beda, dulu nggak ada yang tahu kalau kalian itu bukan saudara, ibu juga taunya kamu anak ibu."
"Yaudah biarin aja, kalo mereka macem-macem tinggal kawinin aja."
Dan kalimatnya itu mendapat toyoran di pipi dari sang ibu. "Sembarangan kalo ngomong," omelnya, "mereka kan masih sangat muda," tambahnya lagi.
Nena jadi tertawa, "ya tinggal ganti judul aja jadi kawin muda, apa susahnya si," candanya.
"Dikira lagi bikin novel." Marlina jadi sewot.
"Bu, kalo Ardi kuliah di luar Negri boleh nggak?"
Marlina yang semula berdiri jadi duduk, memainkan gelas yang anaknya letakan di atas meja, dan setelah meminumnya, ia berkata. "Ibu khawatir kalo sampe jauh-jauh gitu," ucapnya.
"Kan ada saudara William di sana, ada yang merhatiin tenang aja."
Marlina melengos, "biarin aja Na, dia kuliah disini, toh ujungnya sama, buat cari duit juga," ujarnya, kemudian melangkah pergi.
Nena menghela napas, ya seenggaknya kan, kuliah di luar itu bisa bikin wawasannya makin luas, ucapnya dalam hati, sembari mengangkat gelas kosong yang padahal seingatnya belum sempat ia minum.
"Lah, ni gelas bocor kali ya?"
***
Karin membawa buku-buku tugasnya ke kamar Ardi, kemudian membantingnya ke atas kasur, membuat pemuda yang semula sibuk dengan laptop di meja belajarnya jadi menoleh.
"Ajarin, Bang." Karin mendudukkan dirinya di pinggir kasur, menghadap sang abang yang tampak sibuk juga dengan tugasnya.
"Kerjain sendiri napah, perasaan tiap hari gue ajarin nggak pinter-pinter lo." Ardi mengomel, tanpa melihat gadis itu, masih fokus dengan layar di hadapannya.
"Ya kalo Karin udah pinter mah ngapain sekolah, Bang."
Ardi menghela napas, menutup laptop kemudian menghampiri Karin, duduk bersila di atas kasur, mengambil kertas ulangan harian gadis itu.
"Ini apaan nilai lo cuman empat? Ya ampun Karina laras oon, jari aja ada lima, lo sekolah apa nyemilin bangku si." Ardi menggeleng tidak percaya.
"Dikira rayap nyemilin bangku sekolahan," ucap Karin acuh, "ini tuh Matematika, Bang. Matematika."
Ardi berdecak, menggulung kertas di tangannya kemudian memukulkan pada jidat gadis remaja di hadapannya itu hingga mengaduh. "Nggak ada yang salah dengan Matematika, yang salah emang otak lo," omelnya.
"Yang salah tuh, abang, otak Karin isinya abang semua."
"Malu gue jadi abang lo."
Karin jadi manyun, "Karin tuh udah berusaha, Bang. Nggak tau kenapa tuh ya, setiap Karin disuruh ngerjain tugas Matematika, bisanya cuma ngarang, ngitung kancing kalo perlu, tapi giliran disuruh ngarang tugas Bahasa Indonesia, malah jadi mikir. Gimana dong."
"Makanya belajar yang bener, jangan ngehalu mulu, mikirin cerita novel, mana lama banget updatenya, lo tuh ngapain si sebenernya."
Karin mengerjap bingung, "abang tau dari mana Karin nulis novel?"
Ardi jadi kelabakan, "nggak sengaja gue liat di hp lo," ucapnya sembari membuka-buka buku bertuliskan Matematika sebagai pengalihan.
Karin yang lebih memilih pusing memikirkan nilainya hanya mengangkat bahu, ikut melihat buku bertuliskan angka-angka di tangan abangnya itu.
"Kenapa ya, Bang. Pelajaran Matematika itu lebih sulit dari pelajaran Sejarah?" Ucap Karin, mengambil kertas ulangan sejarah yang mendapat nilai bagus.
"Wajar lah, Karena memperhitungkan masa depan itu memang lebih susah daripada mengenang masa lalu."
Karin mengerjap, apa hubungannya.
"Bang?"
"Hn?"
"Mita itu siapa si? Kayaknya benci banget sama Karin."
Ardi yang semula fokus memperhatikan rumus jadi mendongak, tapi kemudian menunduk lagi, "temen sekolah," ucapnya.
"Temen?" Tanya Karin ragu.
Ardi diam sejenak, "mantan," ralatnya kemudian.
Mita adalah mantan terakhirnya, yang marah karena dirinya tidak lagi bisa mengantarnya pulang kuliah, karena harus menjemput Karin disekolah, dan saat gadis itu minta putus, Ardi iyakan saja.
Dia yang minta putus tapi dia yang marah-marah, Ardi sempat berpikir salahnya di mana coba.
"Mantan abang tuh beneran banyak ya?" Tanya Karin, merebahkan diri di atas kasur dengan posisi tengkurap di hadapan abangnya. Tangannya sibuk mencoret-coret kertas kosong miliknya.
"Nggak juga," jawab Ardi, menyandarkan punggungnya ke kepala kasur.
"Abang nembaknya gimana?"
"Mereka yang nembak, gue mah iya-iya aja," jawab Ardi sembari membuka lembaran buku di tangannya.
"Kalo nggak suka kenapa di iyain, kenapa nggak ditolak."
"Gue nggak tega, biarin aja mereka yang mundur sendiri, setelah beberapa minggu ngrasain jadi cewek gue, yang katanya nggak enak."
Karin tertawa, "emangnya dari mereka nggak ada yang bener-bener abang suka?" Tanyanya.
Ardi menggeleng, "gue juga udah bilang, kalo gue ini orangnya cuek, tapi mereka tetep maksa ya terserah."
"Abang tuh nggak boleh gitu, nanti kalo ada cewek yang beneran abang suka terus dianya nggak suka sama abang, abang bakalan bucin sebucin bucinnya, nah baru tau rasa. Makan tuh korma," ucap Karin yang entah apa yang merasukinya hingga dia mendadak bijaksana. Set kaya lagu.
"Enak dong, korma." Ardi menanggapi dengan candaan.
"Ih, dibilangin, orang kaya abang tuh emang harus tau rasanya mengejar, biar tau cinta itu butuh perjuangan."
"Nggak ada yang lari dari gue, jadi nggak ada yang perlu gue kejar, tugas kuliah aja udah bikin gue pusing, ditambah lagi pusing mikirin lupa ngucapin selamat pagi, lo pikir aja sendiri."
"Iya juga si, eh, Bang." Karin dengan tiba-tiba terduduk, membuat Ardi sedikit terlonjak, "kalo Karin nembak abang diterima juga nggak."
Ardi mengerjap takjub, setelah tadi ia dinasihati sedemikian rupa, kini tampaknya gadis remaja di hadapannya ini sudah kembali seperti biasa. Kembali Gila.
"Pengecualian buat lo, lo gue tolak mentah-mentah."
Karin memegangi dadanya, sakit tapi tidak berdarah, "abang nggak tega sama mereka, tapi tega banget sama Karin," keluhnya.
"Lo masih kecil, jangan pacaran dulu," ucap Ardi, menasihati.
Gadis itu kembali tengkurap, "Karin takutnya, pas nanti Karin dewasa, selera Karin bukan abang lagi," tuturnya yang entah kenapa membuat Ardi mendongak, menatap gadis itu yang tampak sibuk dengan pikirannya sendiri.
Sebagian dari dirinya seolah merasakan ketakutan yang sama, tapi segera ia alihkan. "Bagus kalo gitu, buruan lo mau gue ajarin nggak?"
Karin yang kembali acuh dan bersikap seperti biasa langsung mengangguk semangat, "padahal Karin udah hapalin rumus tau Bang, tapi tetep aja pas muncul soal ni otak berasa kosong kaya ruko baru."
"Rumus itu dibuat bukan untuk dihapal, tapi dimengerti, percuma lo hapal rumus kalo nggak ngerti cara ngerjainnya."
"Sulit, Bang, otak Karin menolak pinter kalo berurusan sama Matematika."
"Kaya lo pernah pinter aja, coba kita bahas soal nomor tiga, salahnya di mana, cepet baca soalnya." Ardi mengangsurkan lembar kertas ulangan yang bernilai memalukan itu. Pada Karin yang dengan malas menerimanya.
"Diketahui sebuah kotak dengan jumlah rusuknya 48 cm." Karin mulai membaca soal. "Jika dua kali panjang ditambah tiga kali lebarnya adalah 22 cm dan lima kali panjang dikurangi dua kali tinggi adalah 19 cm, maka volume kotak tersebut adalah? Bang, di kamar abang ada kamera cctv nggak si?" Tanyanya yang membuat Ardi mengernyit.
"Kenapa?"
"Karin mau melaimbaikan tangan aja."
"Gobl*k!" Ardi reflek memukulkan buku di tangannya pada kening gadis di hadapannya itu. Keduanya kembali berdebat, mengiringi acara belajar mengajar yang membuat Ardi selalu darah tinggi. "Prihatin gue sama guru lo, cepet mati dia kalo muridnya macam lo begini."
Setelah mengajari Karin mengerjakan tugas rumahnya, Ardi kembali melanjutkan menyalin tugasnya sendiri yang sempat tertunda, dan memberikan gadis itu beberapa latihan soal dan menyuruh mengisinya.
Merasa bingung dengan keadaan kamarnya yang mendadak hening, pemuda itu menoleh, ternyata Karin malah ketiduran di atas kasurnya, dia beranjak berdiri, merapikan buku-buku gadis itu dan menaruhnya di atas meja belajar.
Ardi memperhatikan gadis remaja yang tidur meringkuk di atas kasurnya, pemuda itu ikut merebahkan diri di sebelah Karin yang tampak nyenyak, saling berhadapan dengan gadis itu yang memejamkan mata.
"Lo tuh berisik tau, tapi ditinggal tidur, gue malah jadi ngerasa sepi, bangun doong," dengan suara pelan, Ardi berucap sendiri, memperhatikan wajah yang hanya berjarak beberapa jengkal di hadapannya membuat pemuda itu menyadari satu hal. "Si kanjeng Ribet ternyata cantik juga," gumamnya.
Ardi hendak menyingkirkan anak rambut yang menjuntai di pipi gadis itu, namun pergerakan kelopak mata di hadapannya membuat ia terkejut dan langsung memejamkan mata, berpura-pura tidur.
Ardi merasakan saat gadis di hadapannya itu terbangun, kemudian menuruni ranjang. Suara benda jatuh dari arah meja belajar membuat pemuda itu tau, Karin tengah merapikan barang-barangnya. Mungkin gadis itu akan pergi pikirnya.
Hingga kemudian ia merasakan benda lembut dan lembab menyentuh ujung hidungnya sekilas, dan membuatnya menahan napas. Isi dadanya berubah panas. Dia tau, gadis gila itu menciumnya, dan entah kenapa alih-alih marah, ia malah berusaha setengah mati menahan senyum.
Dan saat terdengar suara pintu tertutup pemuda itu reflek melesakkan wajahnya ke dalam bantal, "anak setan!" umpatnya. Tanpa dia pungkiri wajahnya terasa panas, mungkin memerah juga.
Dan hati es batu seorang Ardian Rahaditia pun meleleh pemirsah.
"Baper dong gue lama-lama anjiiir!"
Ini loh anak setan yang berisik tapi bikin kangen. 🤣🤣
Yg ngaku mantannya banyak tapi di sun dikit langsung meleleh, gimana mau ngajarin karin coba itu wkwkwk
**iklan**
Author: Berkomentarlah dengan apa yang saya tulis hari ini, ya kali gue baru update langsung ditanya kapan lanjut lagi, situ punya kira-kira apa nggak 🤣🤣🤣
Netizen: ya punya thor kira-kira mah, misal ya kira-kira kapan ini lanjut lagi gitu hehe.
Author: kalo deket, gue sleding itu kepala.
Netizen: jangan thor cuman satu, di glodok nggak ada yg jual dong. Lagian para netizen nagih tuh karena suka.
Author: Iyadah gue maapin.
Netizen: yang minta maap siapa thor.
Author: ya Tuhan jadikanlah netizen yang satu ini candi ke seribunya Bandung bondowoso!!
Netizen: set dah gue dikutuk mulu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Ney Maniez
disun mauuuuu/Kiss/
2024-12-22
0
kimkim
😭😭😭😭
2024-04-23
0
pecinta novel
somplak dah /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2024-03-05
0