Pagi ini Ardi tampak terburu-buru, menutup pintu kamar hingga barang-barang yang ia dekap malah berjatuhan, setelah memungutinya sembari terus menggerutu, pemuda itu berlari ke arah meja makan, semua keluarganya sudah berkumpul untuk sarapan beberapa menit yang lalu.
Terlalu nyenyak tidur membuatnya bangun kesiangan, atau karena dia tidak bisa tidur semalam, nyenyaknya malah pagi. Gara-gara anak setan. Sialaaan.
"Gue nggak bisa nganterin lo, ada tugas pagi di kampus, harus nyamper Agung juga, nggak searah," ucap Ardi sembari menaikan tali tas yang melorot dari pundaknya, lalu mengambil segelas susu coklat di hadapan Justin kemudian ia minum.
Karin yang sibuk mengunyah roti selai jadi menoleh, kemudian mengangguk dengan mulut penuh." Semalem kan abang udah bilang, jadi Karin udah minta temen buat jemput," ucapnya setelah menelan makanan di dalam mulutnya.
"Mas, kenapa susu di gelas aku tinggal setengah?" Tanya Nena yang muncul dari arah dapur.
Justin yang juga sibuk mengunyah sarapannya menoleh pada Ardi yang masih berdiri di sebelahnya, dengan jari tangannya ia menunjuk pelaku yang nyaris menandaskan isi gelas sang istri.
"Ini kenapa lo minum? " Omel Nena pada Ardi yang sibuk dengan hpnya.
Pemuda itu menoleh, "tinggal ganti aja si, seduh lagi, yaelah gitu doang," ucapnya.
"Bukan masalah nyeduh lagi, ini tuh susu ibu hamil tau."
"Astagfirullah," pekik Ardi reflek menutup mulut dengan telapak tangan, Pengen dimuntahin tapi nggak bisa.
Justin nyaris menyemburkan makanan di mulutnya, sebenarnya dia tau, tapi diam saja.
Dan Karin sudah tertawa. "Bang Ar bentar lagi lahiran," candanya yang membuat Ardi berdecak sebal.
"Abang kenapa nggak ngomong si? Mules dah ini gue di ruang asistensi nanti." Ardi jadi mengomel.
"Salah kamu kenapa nggak nanya," jawab Justin.
"Mbak Karin, temennya udah dateng di depan." Bibi asisten rumah tangga di rumah itu memberi tahu.
Karin beranjak dari kursi setelah mengucapkan terimakasih, bersamaan dengan Nena yang juga beranjak ke dapur untuk membuat susu baru.
Ardi yang tampak acuh kembali membuka hp, mengirim pesan pada teman-teman satu kelompoknya, sembari mengambil selembar roti tawar kemudian menjepitnya di bibir, kedua tangannya sibuk mengetikkan sesuatu.
"Teman Karin laki-laki atau perempuan, Bi?" Tanya Justin.
Bibi asisten rumah tangga yang hendak ke dapur menghentikan langkahnya, "laki-laki, Den. Ganteng," ucapnya kemudian pergi setelah mendapat anggukan dari Justin.
Ardi menjatuhkan selembar roti tawar di mulutnya tanpa sadar, mengenai lengan abangnya yang jadi menoleh.
Justin mendongak, ikut mengarahkan pandangannya pada arah pintu yang di tatap sang adik, kemudian tersenyum. Mengambil selembar roti yang tadi jatuh lalu memasukkan kembali ke mulut adiknya yang sedikit terbuka. "Belum lima menit," ucapnya.
Ardi mengerjap, reflek menggigit roti kemudian mengunyah, belum sempat ia berkomentar sebal, Karin sudah lebih dulu kembali, mengambil tas sekolah di atas kursi kemudian mengulurkan tangan pada Justin, berpamitan. Wanita hamil yang baru datang dengan segelas susu di tangan kirinya juga tak luput mendapat sambaran , gadis itu mencium punggung tangan Nena.
"Heh, salim dulu lo sama gue!" Teriak Ardi menjulurkan punggung tangannya.
"Nanti aja Bang, kalo udah resmi." Karin menjawab sambil lalu, terburu-buru berlari ke luar rumah.
"Anak setan!"
"Eh, kamu ngomongnya." Justin menegur.
"Emang tuh dia kalo ngomong nggak pernah pake tatakan," omel Nena. "ih, amit-amit jabang bayi," tambahnya dengan mengelus perutnya yang membesar.
Emang kopi panas, pake tatakan, Ardi menggerutu dalam hati.
"Lah, Karin kemana." Sang ibu yang muncul dari arah dapur dengan kotak bapperware kebanggaannya tampak mencari.
"Udah mau berangkat, masih di depan kayaknya." Nena yang sibuk mengoleskan selai pada roti menyahut.
"Yaudah ni kamu kasih, mau berangkat juga kan? Buruan entar keburu pergi Karinnya." Marlina memaksa, menyerahkan kotak bekal pada Ardi yang tampak dongkol.
"Buat aku nggak dibikinin, Bu?" Tanya Ardi, mengamati kotak bekal yang hanya satu.
"Bapperware ibu kamu ilangin mulu, nanti kalo mau ibu bungkusin pake kertas nasi," tawar Marlina.
"Ardi kuliah, Bu. Bukan kuli bangunan, set dah nggak usah lah mendingan," tolak Ardi yang kemudian berlari keluar rumah. Mengabaikan teriakan Nena yang minta di salami punggung tangannya. Dan sebuah umpatan adik durhaka masih sempat ia dengar setelahnya.
Ardi menghentikan larinya tepat di ambang pintu, menyaksikan Karin yang dibantu memasangkan helm sembari mengobrol dengan Dewa, laki-laki yang ia sebut sebagai teman. Cih, memangnya anak itu nggak punya teman lagi selain dia apa.
"Eh, Bang, mau berangkat juga?" Sapa Dewa, yang hanya mendapat anggukan dari abang temannya itu.
Ardi mendekat, memberikan kotak bekal pada Karin tanpa berucap, gadis remaja yang sudah naik ke atas motor itu menerimanya. "Makasih, Bang."
Ardi menatap Dewa dengan tatapan yang entah kenapa tidak suka, "itu tasnya pake di belakang woy, modus lo ya?"
Pemuda tampan bernama Dewa melirik tas di dadanya sekilas, kemudian tertawa pelan, "eh, iya, Bang," ucapnya, kemudian memindahkan tas dari depan ke punggungnya.
"Galak banget sih Bang Ar, takut nih Dewanya," omel Karin.
Baru Dewa, Maha Dewa juga gue semprot kalo ada, lagi kesel begini. Omelnya dalam hati, Ardi jadi bingung kenapa sepagi ini mood nya buruk sekali.
Ardi menaiki motor, memasang helm dengan cepat kemudian memundurkan motornya, masih menatap Karin dan Dewa yang belum juga bergerak.
"Nanti kalo ada polisi tidur–,"
"Jangan ngerem mendadak kan, Bang? Siaap." Dewa memotong ucapan Ardi, yang terlihat so asik di mata pemuda itu.
"Bukan." Ardi menyangkal, membuat kedua remaja di hadapannya itu mengerutkan dahi.
"Emang kenapa kalo ada polisi tidur?" Tanya Karin mulai emosi.
"Jangan dibangunin."
"Nggak lucu woy!" omel Karin, yang dijawab terserah oleh abangnya kemudian pergi dengan kencang.
"Abang kamu lucu." Dewa berkomentar setelah tadi diam saja, hanya menyimak sambil tertawa.
"Aneh sih lebih tepatnya, yaudah berangkat ayo, udah siang."
***
"Ar, bangun dong, bantuin angkat galon ih, airnya abis." Nena mengguncang tubuh sang adik, dia tau. Membangunkan pemuda itu di hari minggu pagi bisa dikategorikan sebagai uji kesabaran, tapi mau bagaimana lagi, "buruan ih, gue aus, ponakan lo bisa dehidrasi nih di dalem perut."
Ardi menggeliat malas, "kan ada abang, ngapain bangunin gue si? Baru tidur tiga jam nih," ucapnya parau, yang memang habis begadang mengerjakan tugas kuliah.
"Mas Justin masih tidur, gue nggak tega banguninnya, ayo dong." Nena terus memaksa, mengguncang tubuh sang adik sekuat tenaga.
"Ya Allah Tuhan, lo nggak tega bangunin laki lo tapi tega banget gangguin tidur gue!" Ardi jadi mengomel.
"Ayo dong Ar, aus ini, mati dah."
"Iya, iya, iya!"
Dengan kesal Ardi terbangun, berjalan ke arah dapur untuk memenuhi permintaan sang kakak.
"Besok-besok suruh abang beli alat canggih yang nggak usah pake gotong galon." Ardi memberi saran.
"Males banget lo ah, kalo gue nggak lagi hamil juga gue angkat sendiri," omel Nena.
Ardi melengos, hendak kembali ke kamarnya untuk melanjutkan tidur saat kemudian sang ibu menghampirinya.
"Ardi, tolong kasih katalog baru nih buat Bundanya Edo, dia mau beli katanya," ucap Marlina.
Sejak tiga tahun yang lalu, tepatnya saat Ardi masuk Sma, Edo memang sudah menjadi tetangga barunya, dan sejak saat itu juga dia mulai berteman dekat dengan pemuda itu.
Hanya berjarak empat rumah dari rumah Ardi, mereka memang sering berkunjung ke tempat masing-masing. Belum lagi sejak sang ibu membuka usaha bapperware yang digemari oleh Bunda Edo, mereka jadi kian akrap.
"Karin aja suruh, Ardi ngantuk ih," tolaknya.
Marlina memegang lengan putranya lembut, "ayo dong bantuin ibu, si Karin lagi cuci sepatu," bujuknya.
Ardi berpikir, "bentar, Bu. Bentar," ucapnya kemudian melesat ke arah kamar.
"Eh, kamu mau tolongin ibu nggak si?" Tanya Marlina.
Ardi yang keluar kamar dengan menenteng dua pasang sepatu di tangannya kemudian menyahut. "Siapin aja katalognya, ntar Aku anter," ucapnya, kemudian berlari ke belakang rumah, dimana Karin tengah duduk menyikat sepatu dengan tangan penuh busa di sana.
"Sekalian," ucap Ardi, berjongkok menaruh dua pasang sepatunya di hadapan Karin yang membuat gadis itu mendongak.
"Dua sepatu berarti duaratus ribu ya." Karin memberi penawaran.
"Set dah, mahalan itu sama ngelaundry." Ardi jadi mengomel.
"Ya beda lah, Bang. Karin kan nyucinya penuh perasaan, pake cinta dan kasih sayang."
"Idih, nggak usah pake cinta-cinta segala, sikat-sikat aja udah."
"Ogah, males." Karin kembali menolak.
Ardi yang masih berjongkok di hadapannya jadi berdecak, "kemaren kenapa lo minta jemput sama Dewa?" Tanya Ardi, mengubah topik yang membuat Karin jadi menoleh.
"Karena cuman dia yang searah, lagian Dewa anaknya baik kok."
"Dia baik sama lo pasti ada maunya."
"Jangan soudzon, Bang. Lagian kenapa sih, abang kaya orang cemburu aja."
Ardi jadi terdiam, kemudian kembali mengubah topik pembicaraan. "Buruan cuci sepatu gue."
"Harus ada imbalannya dong Bang Ar, pelit banget dah ah," ucap Karin, jadi membanting sepatu di tangannya yang penuh busa, dan malah mengenai matanya. "Baaaang mata Karin perih," teriak gadis itu, panik, meraba-raba selang air yang entah kenapa malah tidak ada.
Tentu saja, Ardi sudah mengambil alih selang air di sebelah gadis itu, kemudian memberikan ancaman.
"Gue bantuin tapi cuciin sepatu gue ya."
"Ogah! Bang, buruan mata Karin perih banget kena sabun." Tangannya yang juga penuh busa membuatnya tidak bisa apa-apa.
Tidak tega, Ardi mengarahkan selang yang mengucurkan air ke hadapan gadis itu, setelah mencuci tangan kemudian Karin membasuh matanya yang terasa perih.
Ardi memperhatikan bulu mata lentik gadis itu yang mengerjap cepat, pipi cabinya merona merah, tetesan air meluncur di hidung mancungnya dan menjadi basah. Ardi menyadari, kecantikan gadis remaja di hadapannya ini amat alami, dan tanpa bisa dipungkiri dirinya terpesona. Dan kini mulai ada rasa.
"Baang Karin udah mandi," omel Karin.
Dan saat Ardi sadar, gadis di hadapannya itu sudah basah kuyup. "Astagfirullah," pekiknya, reflek menutupi mata dengan kedua tangannya. "Baju lo basah."
"Iya lah abang yang nyemprot dari tadi, sambil bengong." Karin mengomel kemudian beranjak berdiri.
Ardi yang berubah panik ikut berdiri dan membalikkan tubuh gadis itu hingga memunggunginya.
"Kenapa sih, Bang?"
"Baju lo putih, bh lo item."
"Abaang." Karin reflek menyilangkan kedua tangannya di depan dada, baru sadar, baju putihnya yang basah jadi menerawang.
Ardi meloncat mundur, kemudian kabur memasuki rumah, setelah tidak lupa memberi pesan pada gadis itu untuk mencuci sepatunya. Tentu saja.
"Anjirrr, bahaya." Ardi menggerutu sendiri, bingung kenapa dia segemetar ini, padahal melihat perempuan tanpa busanapun dia sudah pernah, ya meskipun hanya komik, dan ia pikir sama saja, ternyata efeknya berbeda.
Sedang sibuk mengatur napas, Ardi berpapasan dengan Justin yang membawa handuk di tangannya.
"Jangan ke belakang, Bang," cegah Ardi yang membuat Justin mengerutkan dahi.
"Kenapa?"
"Pokoknya jangan ke belakang."
"Mau jemur handuk ini, Dek."
"Biar bibi aja ntar yang jemur." Ardi mengambil alih handuk dari tangan Justin, kemudian mendorong pria itu kembali masuk ke dalam rumah.
Dan meski dikatai aneh oleh abangnya, Ardi merasa lega.
***
Setelah memberikan katalog pesanan ibunya untuk Bundanya Edo, Ardi meminta izin untuk menemui Edo di kamarnya pada wanita paruh baya yang tengah sibuk memasak di dapur.
Dan setelah mendapat anggukan juga pesan jangan pulang dulu karena ada titipan, Ardi berlari naik ke tangga, membuka kamar Edo yang ternyata tidak ada orangnya, dan suara gemericik air dari arah kamar mandi membuat Ardi tau, temannya itu mungkin sedang membersihkan diri, dan dia memilih meneruskan tidurnya di sini.
"Eh, Kang toples, ngapain lo tidur di sini? Diusir lo ya?"
"Diem dulu lah, gue ngantuk, di rumah banyak yang ganggu." Ardi menggerakkan kepala, mencari posisi yang nyaman di atas bantal. Hingga ia merasa Edo ikut merebahkan dirinya di sebelah, kemudian kembali mengoceh.
"Semalem gue dari rumah Nadia, lo tau dia lagi apa?"
"Mandi." Ardi yang tengah di ambang rasa kantuk berusaha menjawab.
"Set otak lo." Edo jadi mengomel, "dia nangis Ar, lo tau nggak dia nangisin apaan?"
"Bedaknya abis." Ardi kembali menjawab asal.
Edo berdecak sebal, "dia nangisin lo, Ar, katanya seharian kemarin lo ngindari dia pas papasan di koridor, di parkiran, dan di kantin juga," tuturnya panjang lebar, yang tidak mendapatkan respon berarti dari sahabatnya itu.
Ardi jadi mengingat, seharian kemarin dia ngapain aja, ketemu di parkiran pas buru-buru, papasan di koridor saat dia hendak moto kopi tugas, dan dia yang batal ke kantin karena ada barang yang ketinggalan di kelas. "Lah, kenapa?"
"Dia suka, sama lo, sejak lama, sejak lo belum jadian sama Mita, sepupunya." Edo berucap dengan berat, Ardi tau temannya itu tidak sedang baik-baik saja.
Ardi mengangkat kepala, mengernyit, "gue yang tidur kenapa lo yang ngigo si?" omelnya.
"Gue serius, Ar." Edo menolehkan kepala, membuat pandangan mereka berdua saling mengunci.
"Tembak Nadia, demi gue, jadiin dia cewek lo."
Yang dituduh koleksi film biru tapi nggak sengaja liat daleman langsung gemeteran, yaelaah.
Yang sok banget gombalin mulu tapi giliran dapet perhatian kaga nyadar. Idih.
***iklan***
Netizen: Thor gimana dong, Ardi udah ada rasa sama Karin malah disuruh macarin Nadia.
Author: Katanya minta konflik, gimana si.
Netizen:ya jangan begitu juga thor.
Author: ya gimana dong masa gue bikin si Karin bunting pusing lah mamah dedeh.
Netizen: mendingan gitu aja thor seru.
Author: bodo amat dah ah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
*k🎧ki€*
gak sekalian belum lima hari ya 😂🤣🤣🤣
2025-03-04
0
Ney Maniez
jangan mauuuu
2024-12-22
0
Dyah Saja
😁😁😁
2024-02-28
0