Menjelang malam, Karin dan Ardi pulang ke rumah hanya berdua, ibu dan abangnya menginap di rumah sakit untuk menemani sang kakak yang belum diperbolehkan pulang.
Ardi mengunci pintu depan, "udah malem sana lo tidur," ucapnya pada Karin yang masih berdiri di sebelahnya.
"Sepi banget Bang, nggak ada ibu, mbak Nena, bibi juga lagi cuti ngurusin suaminya yang sakit, nanti kalo tengah malem Karin nggak bisa tidur gimana?" Tanya Karin, gadis itu memang sering merasa ketakutan, dan biasanya dia akan menyelinap ke kamar ibu Marlina, atau jika abangnya tidak pulang dia sering mengetuk kamar Nena, dan kedua wanita itu akan senang hati menerima kehadirannya. Tapi sekarang?
"Ya pokoknya lo jangan sampe masuk ke kamar gue," ucap Ardi, melangkah lebih dulu, berusaha untuk tidak terlalu banyak berinteraksi dengan gadis itu.
Tatapan Karin mengikuti langkah abangnya, merasa khawatir, "kok gitu, kan cuma ada abang di rumah," ucapnya polos.
Ardi berdecak, "nggak bakalan ada apa-apa tenang aja," hiburnya. "Tapi nanti kalo gue tiba-tiba gedor kamar lo jangan dibuka," tambahnya lagi dengan memberikan peringatan.
Karin mengerutkan dahi, "kenapa nggak boleh dibuka?" Tanyanya bingung.
"Karena itu pasti bukan gue, tapi setan."
"Abang bikin Karin tambah takut aja ih." Karin jadi mengomel.
Ardi menghela napas, merasa tidak tega juga melihat gadis itu yang malah semakin pucat, pemuda itu meraih pundak sang adik dan mengantarkannya ke depan pintu kamarnya yang terletak di dekat ruang makan, sedangkan kamarnya sendiri berada di depan bersebelahan dengan ruang tamu. Lumayan jauh dan cukup aman tentunya.
"Kalo lo takut nggak usah matiin lampu, langsung merem aja, terus tidur."
Karin mengangguk, "kenapa Karin nggak boleh tidur di kamar abang?"
"Entar gue hilaf, kita itu udah gede, lo seharusnya udah ngerti."
"Iya Karin ngerti, orang dewasa yang bukan suami istri itu nggak boleh satu kamar, tapi kan kita nggak ngapa-ngapain, Bang. Kita tidur aja nggak usah macem-macem."
"Ya nggak bisa segampang itu, Dek." Ardi kehabisan kata-kata, kemudian membuka pintu kamar gadis itu dan masuk untuk menyalakan lampunya. "udah sekarang lo tidur, gue ada di kamar nggak bakalan kemana-mana, nggak usah takut sendirian, lo cuman perlu inget, di rumah ini ada gue."
Karin mengangguk pasrah, memasuki kamarnya dan bersiap tidur, dia melihat sang abang sempat melempar senyum sebelum menutup pintu kamarnya.
Hampir satu jam Karin mencoba untuk tidur, tapi gadis itu masih saja tidak bisa terlelap, suara ranting pohon yang mengetuk kaca jendelanya selalu saja membuat ia jadi terjaga, di luar hujan tampak begitu deras, dan tidak ada yang lebih mengerikan dari suara petir diiringi gemuruh yang membuat ia bermimpi tentang sang ayah.
"Mami!!" Karin berteriak saat suara petir di luar jendela seperti masuk ke dalam kamarnya, semakin ia terpejam, bayangan sang mami yang babak belur dipukuli oleh papinya terus berkelebat dan seperti nyata. Tangisan itu tidak bisa lagi ia sembunyikan.
"Abang! Bang buka, Baang!!" Karin menggedor pintu kamar Ardi dengan kuat, dia tidak lagi peduli jika pemuda itu akan marah dan mengomelinya, untuk sekarang ini dia tidak bisa sendiri.
"Apaan si?" Ardi yang sudah sempat terlelap membuka pintu dengan mata setengah terpejam, suaranya tampak parau.
"Bang, Karin takut, numpang tidur ya," pinta Karin memelas dengan mendekap bonekanya, berharap tidak akan mendapat penolakan dari pemuda itu.
"Hah, oh, yaudah." Dengan setengah sadar Ardi menganggukan kepala, kemudian kembali menutup pintu saat gadis itu sudah berlari masuk ke dalam kamarnya.
Dengan cepat Karin menaiki kasur dan menenggelamkan tubuhnya di selimut sang abang. Gadis itu sempat memperhatikan Ardi yang merebahkan diri di sebelahnya.
Mereka saling berhadapan dengan mata Ardi yang sudah rapat terpejam, pemuda itu dengan mudah meneruskan tidurnya.
Berada sedekat ini membuat Karin merasa begitu nyaman, gadis itu tidak pernah menyangkal bahwa pemuda di hadapannya ini benar-benar amat tampan, menghabiskan masa puber dengan hanya mengagumi satu laki-laki dan itu adalah abang angkatnya sendiri, dia tidak akan pernah merasa rugi.
Karin sedikit terkejut saat kelopak mata di hadapannya perlahan terbuka, mata sayu itu selalu mampu membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Sepertinya dia telah benar-benar jatuh cinta.
Ardi mengangkat tangannya, menepuk pipi Karin dengan lembut, yang membuatnya mengerjap gugup. "Tidur," ucapnya parau, lalu tanpa ragu menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.
"Bang, ini Karin, bukan bantal guling," bisik gadis itu, dan meraskan hembusan tertur dari hidung sang abang yang menerpa ujung keningnya, gadis itu tau, sang abang sudah kembali melanjutkan tidurnya.
Paginya, Ardi terbangun lebih dulu, mendapati seseorang memeluk tubuhnya dengan begitu erat, dia tidak terlalu merasa terkejut.
Pemuda itu memejamkan mata, mengingat semalam gadis yang memeluknya ini menangis ketakutan dan mendatangi kamarnya, hanya itu saja sepertinya.
Ardi melepaskan pelukan gadis itu dengan hati-hati, memperhatikan wajah polos yang masih terlelap dengan begitu damai di hadapannya.
Pemuda itu tersenyum, merapikan anak rambut yang menjuntai ke pipi dan malah membuat gadis di hadapannya itu membuka mata.
Sorot matanya begitu polos, ada gurat kekhawatiran di sana, tapi juga amat cantik, semua yang ada pada dirinya terlihat lebih cantik di mata pemuda itu pagi ini.
Ardi terpejam sejenak, berusaha menguasai perasaannya sendiri, setelah itu ia tersenyum, "selamat pagi," ucapnya.
Karin mengerjap gugup, "abang nggak marah?" Tanyanya takut-takut.
Ardi yang menggeleng kemudian bertanya. "Lo kenapa nangis semalem."
Gadis di hadapannya itu tampak ragu untuk menjawab, "bagi Karin, inget sama papi adalah mimpi buruk," ucapnya yang membuat Ardi merasa miris. Dia mengerti.
Ingatan seorang anak terhadap sang ayah seharusnya terasa menyenagkan, tapi tidak dengan gadis remaja di hadapannya ini. Karin gadis yang berbeda, dia bisa berusaha terlihat bahagia dengan caranya.
Tapi yang Ardi tahu, dia tidak sekuat itu.
Ardi mengulas senyum, "Nggak usah takut, Dek. Ada abang," ucapnya.
Karin yang merasa terharu spontan bergerak untuk memluk pemuda di hadapannya, yang kemudian mendapat penolakan.
"Jangan bergerak!" Ucap Ardi dengan mengacungkan telapak tangannya.
"Kenapa?"
Sejenak Ardi merasa ragu untuk menjawab, "gue kalo pagi tuh suka–" dia menggantungkan kalimatnya, berpikir mencari kata ya bisa dimengerti oleh gadis itu. "Bahaya," lanjutnya kemudian.
Namun Karin malah tertawa, "bahaya kenapa?" Tanyanya, yang membuat pemuda di hadapannya itu jadi berdecak.
"Ya pokoknya bahaya, jangan deket-deket, apalagi peluk. Jangan," ucapnya, "mendingan lo balik ke kamar lo sana, siap-siap sekolah."
Karin mengangguk, setelah itu beranjak duduk. "Itu baju abang ya?" Tanyanya denga menunjuk ke sudut ruangan di belakang pemuda itu.
Ardi menoleh, dan ciuman di pipi membuat ia tahu, gadis itu sudah mulai berani membohonginya. "Anak setan!" Umpatnya pada Karin yang sudah melesat ke pintu dengan tertawa-tawa.
"Makasih ya abang," ucap Karin kemudian dengan segera membuka pintu kamar dan berlari keluar.
"Sebelah lagi woy!"
***
"Gue nggak bisa bikinnin lo sarapan yang aneh-aneh, telor dadar aja, mau?" Ardi bertanya pada Karin yang sudah duduk menopang dagu di meja makan lengkap dengan seragam sekolahnya. Tangan pemuda itu sibuk mengikat apron yang ia kenakan.
"Yaelah, Bang. Timbang goreng telor aja segala pake gituan," komentar Karin yang membuat Ardi berdecak sebal.
"Biar nggak kotor, ada presentasi ntar gue, doain biar nggak banyak yang nanya-nanya." Ardi mulai memecahkan sebutir telur ke dalam mangkuk.
"Abang kan pinter, makin banyak yang nanya makin keliatan dong pinternya."
"Ya kalo gue bisa jawab, kalo nggak bisa jawab malu dong gue."
"Suruh tanya google aja."
"Mana bisa gitu." Ardi berdecak sebal, memang salah jika pemuda itu mengajak seorang Karin berdiskusi, ujung-ujungnya, kesel sendiri. Ardi membalik telur goreng di dalam wajan. Dan nada dering dari ponselnya di atas meja membuat pemuda itu menoleh.
"Coba liat dari siapa?"
Karin mengambil hp abangnya, membaca panggilan masuk.
"Dari 'sayangku' nih," ucap Karin dengan menekankan nama kontak di hp abangnya.
Masih dengan posisi membelakangi gadis itu, Ardi merutuki kebodohannya kali ini.
Beberapa hari yang lalu Nadia memang mengambil hpnya dengan paksa, kemudian mengganti nama kontaknya dengan tulisan seperti itu, dan bodohnya dia lupa.
Ardi meletakan masakannya ke atas piring, kemudian berbalik. "Angkat aja," ucapnya yang mendapat lirikan tidak suka dari gadis yang kini berhadapan dengannya.
"Abang angkat aja sendiri, tanya tuh, ada apa sayaang," olok Karin dengan bahasa dibuat manja yang malah terdengar menggelikan.
Ardi tertawa pelan, mencondongkan tubuhnya melewati meja makan dan mncubit pipi gadis itu dengan gemas.
"Dih, jelek banget cemburunya," ledek pemuda itu yang membuat Karin kesal dan membanting sendok di tangannya ke atas meja.
"Abang tuh ngeselin banget tau, nama Karin di kontak abang aja dinamain anak setan."
"Siapa bilang, udah diganti kok."
"Jadi apa?"
"Karin."
"Nggak seistimewa 'sayangku' lah pokoknya." Karin cemberut kesal, Ardi menyodorkan telur hasil gorengannya ke hadapan gadis itu dan ia abaikan.
Pemuda itu menceritakan tentang nama kontak yang sebenarnya bukan dia yang menuliskan nya.
"Tapi kan abang bisa ganti."
"Iya, lupa abang Dek."
"Lupa aja teruus."
"Iya, maaf sayang," ucap Ardi dengan kembali mencubit pipi gadis itu yang menjadi merah. Entah karena bekas cubitannya atau karena panggilan sayang barusan.
Pemuda itu kembali menyodorkan makanan pada gadis yang duduk di hadapannya. "Ayo makan, entar keburu dingin."
Karin berubah jinak, meraih sendoknya kembali dan mulai memakan sarapannya. "Ganti nama kontaknya," ucapnya mengingatkan.
"Jadi apa?"
"Mak lampir."
Ardi tertawa, "jangan dong, entar gue dijambak," ucapnya, kemudian beranjak berdiri dan kembali membelakangi gadis itu.
Setelah mengganti nama kontak Nadia, Ardi meletakan benda itu di atas meja dapur, dan kembali membuat sarapan untuk dirinya sendiri.
Diam-diam Karin memandangi punggung abangnya dengan tersenyum-senyum sendiri. Baru kali ini pemuda itu memanggilnya dengan sebutan sayang, dan entah kenapa dia jadi ingat pada seseorang.
Karin mengambil hpnya dan menuliskan pesan, sebuah notif yang terdengar dari hp sang abang membuatnya menoleh. Pemuda itu tampak tertawa pelan membaca pesan yang entah dari siapa. Karin jadi kesal.
Karin kembali mengalihkan perhatian pada hpnya sendiri saat mendapat balasan.
Netizenmahabenar: Segitu senengnya lo dipanggil sayang.
Karin kembali tersenyum, dia memang mengirim pesan pemberitahuan tentang betapa senangnya pagi ini dia dipanggil sayang pada teman onlinenya itu.
Kanjeng Ribet: Biasanya tuh dia kalo ngomong pedes banget, lo nggak tau aja.
Kanjeng Ribet: eh ponakan gue udah lahir, kembar cowok, ganteng-ganteng banget.
Netizenmahabenar: ganteng kaya gue ya.
Kanjeng Ribet: Idih emang lo siapa.
Netizenmahabenar: Gue om nya lah.
Kanjeng Ribet: omnya siapa?
Netizenmahabenar: omnya si kembar.
Karin mulai bingung, melirik abangnya curiga, pemuda itu masih bermain hp memunggunginya.
Kanjeng Ribet: Lo lagi ngapain?
Netizenmahabenar: Bikinin sarapan buat kesayangan.
Kanjeng Ribet: Bang Ar??
Karin mulai tegang, menunggu balasan di hpnya yang dia harap berupa penyangkalan, namun tatapannya masih mengarah pada pemuda jangkung yang berdiri membelakanginya itu.
Ardi mematikan kompor, berbalik dan menyandarkan tubuhnya di meja dapur. "Apa sayang?" Tanyanya, menjawab pesan gadis itu secara langsung.
Karin reflek berdiri. "A, abang, abang Netizen?" Tanyanya yang entah kenapa menjadi gagap, barangkali karena begitu gugup, gadis itu masih tidak percaya, dan memang menolak untuk percaya, ini pasti salah. Hingga anggukan dari pemuda di hadapannya itu meruntuhkan keyakinannya.
"Iya, gue Netizenmahabenar, penggemar tulisan absurd lo."
"Abaaang!!" Karin berteriak marah, setengah berlari menghampiri pemuda itu dan memberikan beberapa pukulan di tubuhnya.
Ardi tertawa-tawa, menghalau pukulan Karin dengan kedua tangannya yang menangkap pergelangan tangan gadis itu.
Karin yang tersadar jadi diam," berarti selama ini Karin ceritain tentang abang tuh–,"
"Ya, lo curhatin tentang gue sama diri gue sendiri."
"Iih abang curang!!" Karin kembali berusaha menyerang pemuda itu, dia benar-benar malu. Semalu-malunya orang nggak pake baju lah pokoknya. "Abang ngeseliin."
Ardi mengangkat tubuh gadis itu, kemudian mendudukan nya di meja dapur, nyaris sejajar dengan dirinya yang berdiri, menguncinya dengan kedua tangan ia letakan di kedua sisi.
"Abang boongin Karin," ucap gadis itu dengan kesal.
"Emangnya gue boong apaan? Lo aja yang nggak nanya."
"Karin sering kok nanya, abang aja yang nggak mau jawab."
"Ya salah sendiri lo gue suruh nebak malah salah."
"Pokoknya abang ngeselin banget," tukasnya dengan wajah ditekuk.
Ardi tertawa pelan, mencondongkan wajahnya pada gadis itu, "lo mau gue ajarin cara nikung hati gue nggak?" Godanya yang mendapat pelototan dari gadis yang berjarak hitungan jengkal di hadapannya.
Karin menggeleng, "nggak."
"Percuma sih ya, lo udah berhasil juga," ucapnya, "apa lo mau minta gue ajarin cara ciuman?" Tawarnya kemudian.
Karin mengerjap gugup, dan tanpa menunggu jawabannya, pemuda itu sudah menempelkan bibirnya dengan lembut.
Tangan Ardi yang semula berada di kedua sisi gadis itu kini beralih menangkup wajahnya, memperdalam lumatan yang membuat napas keduanya putus-putus.
Ardi tau, kini tidak akan ada lagi pengganggu yang akan menghentikan dirinya menyecap rasa manis dari setiap sudut bibir gadisnya yang terbuka secelah. Meski ia diam saja, tapi hal itu justru semakin membuat pemuda itu terpacu untuk mengenalkan rasa baru pada dunianya yang masih putih abu-abu.
Ardi melepaskan pagutannya, memberikan kesempatan gadis itu untuk mengambil napas sebanyak-banyaknya.
Pemuda itu tertawa pelan, "Cuman lo doang yang nggak bisa beles ciuman gue, tapi gue suka," ucapnya yang mendapat pukulan di lengan.
Karin berdecak kesal, "Bang Ar?"
"Hn?"
"Ajarin."
Ardi sontak tertawa. Pagi itu keduanya kembali mengulang praktek belajar mengajar yang telah lama sempat tertunda, Ardi meraih tangan Karin dan melingkarkan di lehernya sediri. Dan kedua tangannya ia letakan di pinggang gadis itu, dengan terus berusaha mengontrol kewarasannya untuk tidak menyentuh yang lain.
Ini muridnya yang sableng.
Ini gurunya yang gendeng.
***iklan***
Author: perasaan gue hilaf mulu kalo nulis cerita ini. Padahal lapak justin Nena aja nggak sepanas ini.
Netizen: Ntar lama lama bakalan ada adegan dewasa nggak thor?
Author: ya paling kalo ada ntar gue tulis "dan merekapun melakukannya" udah gitu aja.
Netizen: Set, kaya novel sebelah.
Author: yang penting kan nggak gue tag matur. Jadi nggak berasa nipu.
Netizen: nggak nipu sih thor, tapi mempermainkan.
Author: Serah lo itumah yang penting dosa ditanggung masing-masing aja hehe.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Ney Maniez
😘😘😘😘😘😘😘
ajarinnnnnn donkkkk
2024-12-24
0
Dyah Saja
😁😁😁😁
2024-02-28
0
Diyah Saja
yayayaya gak ada peganggu tpi inget yaaa bang entin uda naaroh cctv di dapur wkwkwkwk🤣🤣🤣
2023-11-04
0