Selepas isya, Karin yang baru pulang jalan-jalan bersama Dewa memasuki rumah dan menuju dapur, menyalami Marlina yang tampak sibuk mencuci piring.
"Biar Karin aja Bu yang cuci."
"Nggak apa-apa, kamu kan baru pulang, capek," ucap sang ibu, "makan gih."
"Karin udah makan," ucap gadis itu, pandangannya seperti mencari. "Bang Ar kemana Bu?" Tanyanya.
"Lah, bukannya tadi jemput kamu," ucap Marlina setelah mencuci tangan. "Dari sepulang kuliah nggak keliatan," tambahnya lagi.
"Karin nggak dijemput abang, tadi pulang sama temen," ucapnya, dia jadi merasa khawatir.
"Ardi kemana sih Bu, aku mau minta beliin sesuatu anaknya nggak ada di kamar," ucap Nena yang membuat Karin semakin merasa takut.
"Mungkin pergi kali, tapi nggak pamit sama ibu sih, tumben."
Karin pamit untuk ke kamarnya, meninggalkan Nena yang masih mengomel tentang adiknya pada sang ibu. Gadis itu berbelok dan memasuki kamar Ardi, yang ternyata memang tidak ada siapapun di sana.
Dia duduk di tepi ranjang, kembali membuka percakapan Wa terakhir dengan sang abang.
Bang Ar: Pulang jam berapa?
Karin: Karin pulang bareng temen, nggak usah dijemput.
Bang Ar: Sama siapa
Karin : Sama Dewa.
Bang Ar: Gue jemput sekarang.
Karin: Nggak Bang, Karin nggak bisa nolak Dewa, panjang ceritanya.
Bang Ar: Yaudah trserah.
Karin: Bang?
Karin kembali memasukan ponselnya ke saku kemeja. "Bang Ar kemana si? Pasti ke rumah Mbak Nadia deh," gumamnya, kemudian beranjak pergi menuju kamarnya sendiri.
Biasanya abangnya itu selalu bilang jika mau kemana-mana, pemuda itu jarang sekali keluar malam kecuali hari sabtu, dia tipikal anak rumahan yang malas sekali bepergian, selama menjadi pacar Nadia pun jarang sekali dia berkunjung ke rumah gadis itu atau sekedar jalan-jalan kecuali malam minggu.
Karin memasuki kamarnya yang masih gelap, gadis itu menyalakan lampu, dan terkejut dengan keberadaan seseorang yang tidur meringkuk di atas kasurnya.
"Astagfirullah, ngapain tidur di sini si, Bang?" Pekiknya, namun tidak ada pergerakan dari pemuda itu, dia pun mendekat.
Karin sedikit ragu, pemuda di hadapannya itu benar-benar tidur atau hanya berpura-pura, soalnya gadis itu sudah pernah tertipu sebelumnya.
"Bang?" Ucap Karin, mencoba membangunkan dengan mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi pemuda itu, namun pergerakan secara tiba-tiba yang menarik pergelangan tangannya, membuat gadis itu tersungkur menubruk dada abangnya, dan berada sedekat itu membuat seorang Karin kehilangan kata-kata.
"Lo baru balik?" Ardi menoleh pada jam dinding, "ini udah jam berapa?" bukan pertanyaan, Karin tau abangnya itu tengah mengomel, dari matanya yang sayu dan sedikit merah, dia pun tau pemuda itu benar-benar tertidur beberapa saat yang lalu.
"Jam delapan, Bang." Karin mencoba menjawab.
Ardi berdehem, menetralkan suaranya yang serak bangun tidur, "lo sampe lupa waktu, kemana aja si, pulang sekolah tuh balik ke rumah dulu, Dek," ucapnya, kemudian melepaskan tangan gadis itu untuk mengusap matanya yang sedikit perih.
Kesempatan itu tidak disia-siakan Karin untuk meloncat mundur, gadis itu dengan gugup merapikan rambutnya yang berantakan." Iya maaf. "
"Emang lo kemana sama Dewa?" Tanya Ardi setelah beranjak duduk dan menurunkan kakinya ke pinggir ranjang.
"Kita tadi nonton dulu," jawab Karin takut-takut.
Ardi berdecak, "sama gue kan bisa, kenapa harus sama tu anak si?"
Karin menggigit pipi bagian dalam, merasa ragu untuk bercerita, namun kemudian ia ceritakan juga tentang alasannya tidak bisa menolak ajakan ketua osis di sekolahnya itu.
"Mau aja lo dimodusin kaya gitu," omel Ardi, kemudian beranjak berdiri, membuat Karin beringsut mundur. "Nanti kalo gue udah putus sama Nadia, lo nggak bakal gue izinin jalan sama cowok manapun," tegasnya, kemudian melangkah ke pintu.
Karin mengejar abangnya, kemudian berdiri di hadapan pemuda itu. "Abang marah sama Karin?" Tanyanya.
"Menurut lo?" Ardi balik bertanya.
"Marah."
"Yaudah."
"Karin minta maaf, Bang."
Ardi mengangkat tangan kanannya, menyentuh pipi gadis di hadapannya itu yang kemudian mendongak. "Gue mungkin lebih banyak bikin lo kesel," akunya yang kemudian membuat Karin mengangguk.
"Abang pacaran sama Mbak Nadia aja Karin udah kesel, belum lagi kemaren ngaku nyium Mbak Mita secara sengaja, kesel banget Karin."
"Cemburu?" Tanya Ardi.
Karin mengerutkan dahi. "Namanya cemburu ya, Bang?"
Ardi beralih mengusap kepala gadis itu kemudian mengangguk. "Gue juga cemburu kalo lo deket sama Dewa," ucapnya.
"Tapi kan Karin nggak pernah cium Dewa, tapi abang kemaren cium Mbak Mita."
"Iya gue minta maaf, lagian cuman nempel doang, nggak sampe–" Ardi menggantungkan kalimatnya, mencondongkan wajahnya pada gadis di hadapannya itu. "Lo mau gue cium juga?"
Karin reflek menggeleng, menghianati hatinya yang sebenarnya mau-mau saja. "Masih digantungin gini statusnya juga, enak aja," ujarnya sok jual mahal.
Ardi mencibir, namun kemudian tersenyum juga. "Yaudah kalo nggak mau," ucapnya. "Awas, gue mau keluar." Ardi meraih handle pintu, membuat gadis di hadapannya itu jadi menyingkir.
Karin terdiam cemberut, kok gitu sih, padahal mah maksa dikit juga nggak papa, pikirnya. Dan tanpa ia sadari pemuda di hadapannya itu memperhatikannya dengan seksama.
Masih dengan posisi tangan memegang handle pintu, Ardi tertawa pelan, membuat Karin jadi tersadar.
"Kenapa?" Tanya Karin.
Ardi menyentuh kening Karin dengan telunjuknya, membuat gadis di hadapannya mengerjap bingung. "ekspresi muka lo tuh kaya novel kebuka," ucapnya. "Bisa dibaca tau nggak."
Karin semakin mengerjap gugup. Gadis itu ingin mencoba menyangkal tapi bingung harus berkata apa. "Emangnya abang bisa baca apa dari muka Karin?"
"Sini, sini biar gue cium dikit." Ardi meraih tengkuk gadis itu membuatnya semakin kelabakan.
"Abang kenapa bisa tau si?" Karin mendorong tubuh abangnya, membuat jarak di antara mereka agar tidak terlalu dekat.
"Yaudah diem," ucap Ardi, kemudian mendaratkan bibirnya pada kening gadis berponi itu yang tampak tegang.
Karin mengerjap bingung. "Kenapa kening, Bang."
Ardi tertawa lagi, "lo tuh, ya ampun. Gue berasa baca kertas kosong tau nggak, polos tapi banyak tulisannya."
"Nggak ngerti Karin Bang."
"Kenapa kening lo tanya? Karena kalo bibir ntar gue nginep."
***
Sepulang kuliah, Ardi yang tengah mengerjakan tugas-tugasnya dikejutkan dengan suara pintu terbuka tanpa mengetuknya lebih dulu.
"Bang, Ar! Mbak Nena mules-mules." Karin berucap dengan mengatur napas. Dia tampak panik.
"Hah? Yaudah si tinggal ke kamar mandi aja, ngapai laporan ke gue si," omelnya dengan kembali fokus pada layar laptop di hadapannya.
"Ih, bukan mules gitu, Bang. Mbak Nena sakit perut katanya, kayaknya mau lahiran deh."
Ardi menoleh, "kan katanya dua minggu lagi," ucapnya.
"Ya mana Karin tau, buruan ih, Bang. Mbak Nena kesakitan tuh."
"Lah, emangnya gue bidan, suruh besok aja lahirannya suaminya masih di luar kota."
"Emangnya bisa gitu, buruan liat dulu, Bang."
"Iya, iya." Ardi mematikan laptopnya, menyusul Karin yang lebih dulu menghampiri kakak perempuannya.
"Aduh, ibuuu." Nena tampak mengaduh kesakitan, dengan kuat menarik baju Karin hingga pundak gadis remaja itu jadi terlihat.
"Mbaaak, baju Karin robek ini." Karin yang berusaha menutup pundaknya jadi malah mengexpos bagian perut, membuat Ardi yang tidak sengaja melihat jadi menelan ludah.
"Mbak Nena, istigfar Mbak!" Ucap Ardi.
"Lo pikir gue kesurupan, buruan panggilin ibu perut gue sakiiit."
"Anjiirr rambut gue jangan dijambak tapinya." Ardi yang mendapat jambakan di kepala jadi tersungkur nyaris menabrak perut buncit sang kakak.
"Telponin mas Justiiiin." Teriak Nena yang membuat kedua remaja yang menjadi pelampiasan rasa sakitnya itu semakin dibuat panik.
"Gimana Nelponnya ini baju Karin lepasin dulu Mbak!" Karin menjawab dengan berusaha melepaskan diri dari cengkraman kakak perempuannya yang dirasa semakin kuat saja.
"Aduh rambut gue rontok woy!" Ardi yang merasa kesakitan di rambut kepalanya mencoba pasrah. "Karin, panggilin ibu di rumah Edo."
"Lepasin Karin dulu, Mbak!"
Nena melepaskan baju Karin, dan jadi beralih menarik kerah baju adik laki-lakinya.
"Mbaak, abang gue sial banget ini ngawinin lo, anjiir jangan cakar Mbak sakiit."
"Karin cepetaaaan."
Di kursi tunggu rumah sakit, Karin merapikan kausnya yang sedikit berantakan, di sebelahnya duduk, Ardi tampak mengusap pelan rambut kepalanya yang masih terasa sakit.
Sang ibu terlihat khawatir berjalan mondar-mandir di depan ruang bersalin, dengan terus berusaha menghubungi putranya yang katanya sudah berada di perjalanan pulang menuju ke rumah sakit yang mereka datangi.
Tidak lama kemudian, Justin yang setengah berlari menghampiri sang ibu dan terlibat percakapan yang sudah tidak mau lagi Ardi ambil peduli, pemuda itu menyandarkan punggungnya ke dinding, bau rumah sakit selalu membuat kepalanya menjadi pusing.
"Karin?" Sapa seseorang yang membuat Ardi dan Karin sontak menoleh.
"Kak Dewa ngapain?" Tanya Karin yang entah kenapa terlihat amat antusias di pandangan abangnya.
Dewa menceritakan tentang dirinya yang mengantarkan sang ibu untuk menjenguk sanak saudaranya, Karin juga menceritakan hal yang sama.
"Gue mau ke kantin, mau ikut nggak?" Tawar Dewa.
Karin menoleh pada sang abang yang tampak kalem di sebelahnya. "Bagi duit dong, Bang. Karin mau beli sesuatu nih, laper."
"Kenapa minta sama gue?"
"Ya terus Karin minta sama siapa? Tadi buru-buru, jadi nggak bawa apa-apa," ucap Karin setengah berbisik, takut pemuda bernama Dewa itu mendengarnya.
"Lo minta aja sama dia."
"Dih abang." Karin jadi kesal.
"Ikut aja, Rin, nanti gue yang–" ucapan Dewa terhenti saat Ardi menempelkan uang pecahan lima puluh ribu pada kening gadis di sebelahnya itu.
Karin tersenyum senang, "makasih, Bang," ucapnya. "Abang mau nitip apa?" Tanyanya kemudian.
Ardi mendekatkan dirinya pada gadis itu, setengah berbisik. "Nitip hati gue aja, jangan sampe diberantakin."
"Idih." Karin jadi sewot, siapa yang suka berantakin hati siapa coba.
Ardi menghela napas, menatap punggung kedua remaja yang entah kenapa membuatnya amat kesal itu menghilang di telan belokan, pemuda itu membuka pola ponselnya, dan reflek berdecak saat melihat foto gadis itu yang menjadi latar di hpnya. "Bucin banget gue anjirr, ganti lah," omelnya pada diri sendiri.
Tidak lama kemudian setelah Karin kembali, dan pemuda bernama Dewa pamit pergi yang mendapat anggukan dari Ardi, suara tangisan bayi tampak bersahut-sahutan di dalam ruangan. Karin terlonjak senang, reflek berdiri ingin ikut melihat keponakan barunya yang katanya adalah kembar.
Keduanya kini sudah berada di dalam ruangan, Ardi memang sering melihat bayi, tapi yang baru lahir, tentu saja baru kali ini, pemuda itu tampak takjub saat sang ibu menggendong salah satunya, dan yang jadi membuatnya takut ibunya malah memberikan mahluk kecil itu untuk digendong olehnya.
"Ardi nggak bisa, Bu." Ardi berbisik, takut-takut saat sang ibu memberikan bayi itu untuk ia dekap.
"Nggak apa-apa, pelan-pelan aja, azanin di kuping sebelah kanan, terus iqomah di sebelah kiri." Sang ibu memberi arahan.
"Kenapa aku, kan ada abang."
"Abangmu lagi azanin kakaknya."
Ardi menoleh pada Justin yang tampak khusuk membisikan azan pada anak pertamanya, kemudian pemuda itu mengalihkan perhatian pada bayi dalam gendongannya.
"Azan, Bang. Bukan nyanyi ya." Goda Karin yang membuat Ardi menatapnya galak, tidak tau apa dirinya begitu takut jika mahluk di tangannya itu tiba-tiba meloncat dan jatuh. Iya, Ardi memang sekhawatir itu.
Setelah membisikan azan sesuai arahan sang ibu, Ardi kembali memperhatikan mahluk kecil yang mengerjap-ngerjap pelan di tangannya itu, sesekali mulut tanpa giginya itu bergerak-gerak lucu.
"Bang Namain siapa ya?" Tanya Karin.
"Lah, mana gue tau, emang gue bapaknya."
"Eh iya," Karin jadi cekikikan, "nanti kita bikin yang begini satu, Bang."
"Astagfirullah."
"Bercanda, Bang yaelah." Karin semakin cekikikan, menutup mulutnya berusaha meredam tawa.
"Candaan lo bikin gue deg-degan sumpah," omel Ardi, kemudian kembali menatap bayi di tangannya, "Rin, buruan panggil ibu."
"Emangnya kenapa, Bang?"
"Ini gue naronya gimana, takut jatoh njiirr."
***
Author nanya: Boleh nggak si kalo bayi baru lahir di azanin sama orang. Emang sih ini cuma cerita, tapi kan kalo nggak logis mah nggak enak lah.
Nggak ada iklan biar pada seneng hehe.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Ney Maniez
hadehhhhh bikinnn ajaa lahhh,, gass😂😂😂😂
2024-12-24
0
Rskadmyant
asal muasal si Jino kelakuannya mirip Bang Ar😂
2024-03-15
0
Dyah Saja
🤣🤣🤣
2024-02-28
0