Ardi selalu tidak mengerti jika sang ibu sudah mulai mengenalkan usia barang-barang di dapurnya pada pemuda itu, contohnya sekarang ini, saat Ardi tengah memegang panci, sang ibu mulai bercerita.
"Panci ini lebih tua dari kamu tau, ibu belinya dulu pas kamu belum lahir."
Ardi jadi menoleh, merasa ragu, terus kalo ni panci lebih tua dari dirinya dia harus sesopan apa?
Dan saat sang ibu pergi pemuda itu mulai berkata. "Bang panci monmaap nih ya, gue mau masak mi boleh nggak?"
Karin yang tidak sengaja mendengar saat akan mengambil gelas di rak jadi mengerutkan dahi, "ngapa, Bang. Ngomong sama panci?"
Ardi yang sedikit terkejut kemudian menoleh, "kata ibu ni panci lebih tua dari gue," ucapnya.
"Ya nggak usah dipanggil abang juga kali, aah adeknya panci dasar."
Karin melengos, beranjak pergi dengan gelas di tangannya, namun Ardi menarik baju gadis itu hingga membuatnya terseret mundur.
"Masakin gue mi instan dong," pintanya saat mereka sudah berhadapan.
Karin berdecak, "masak aja sendiri, ngapain ngrepotin Karin si," tolaknya. Kemudian kembali pergi.
Kali ini Ardi merangkulkan lengannya di leher gadis itu, membuatnya merunduk. "Nggak mau masakin entar gue cium ni."
"Kok abang ngancem si," ucap Karin, mulai panik saat pemuda itu memonyongkan bibir dan mendekati wajahnya. Dengan telapak tangan, gadis itu menahan mulut sang abang untuk mendekat. "iya, iya Karin masakin."
Ardi yang sudah terdorong menjauh jadi berdecak, "nggak usah dimasakin lah, gue rela, sini lo gue cium aja."
"Abang!!"
"Anjirr, sakit rahang gue."
Karin yang reflek menonjok asal pemuda itu jadi tertawa, "nggak sengaja, Bang," ucapnya kemudian mengambil panci di atas meja dapur dan mengisinya dengan air.
Ardi mendekat, membantu membuka bungkus mi saat Karin menyiapkan mangkuk dan sendok, "guntingnya di mana?" Tanyanya.
"Lemah banget sih, Bang. Buka bungkus mi aja pake gunting."
"Biar nggak berantakan," ucapnya kemudian mengambil bumbu mi dan menunjukkannya pada gadis itu, "kenapa bumbu sama minyaknya pasti dipisah?" Tanyanya.
Karin yang semula fokus menunggu air mendidih jadi menoleh, "ya biar nggak kecampur lah, Bang," jawabnya.
"Salah."
"Biar apa, emang?"
"Biar." Ardi memberi jeda, mencondongkan wajahnya yang membuat Karin memundurkan kepala, "kangen," lanjutnya.
Karin kembali mendorong wajah abangnya menjauh, "apaan bumbu dipisah biar kangen, nggak nyambung banget tau," omelnya.
"Kangen gue sama gombalan lo, ayo dong gombalin gue lagi."
Karin memasukkan mi ke dalam panci, "minta gombalin aja sama, Mbak Nadia sana," ucapnya.
Ardi yang mulai menggunting bumbu kemudian berdecak, "dia mana bisa ngegombal, ngomel baru pinter."
"Abang ghibah ih, dosa tau ngomongin orang."
"Eh iya, hilap Bembi, gimana dong, abisnya seru si." Keduanya jadi tertawa.
"Gimana, Bang. Rencana buat deketin Bang Edo sama Mbak Nadia berhasil nggak?" tanya Karin.
Ardi terdiam sejenak, "mereka malah sadar buat saling menjauh, bukan mendekat," ucapnya. Mematikan kompor dan mulai menyendok mi yang sudah matang. Tanpa sengaja, air panasnya sedikit mengenai punggung tangan Karin.
Karin terlonjak, "panas, Bang."
"Eh, sory-sory," ucapnya panik, kemudian mulai meniupi punggung tangan gadis itu. "Masih panas?" Tanyanya saat melihat gadis di hadapannya malah terdiam.
Karin menarik tangannya. "Masih lebih panas liat abang jadian sama Mbak Nadia lah pokoknya."
Ardi tertawa, "tapi kan hati abang cuma buat adek," ucapnya yang mendapat tabokan di lengan, pemuda itu jadi mengaduh.
"Karin mau tanya, selama seminggu ini abang pacaran sama Mbak Nadia udah ngapain aja." Karin melipat lengannya di depan dada.
"Menurut lo, orang pacaran biasanya ngapain?" Goda Ardi, dan setelah menyajikan mi buatannya ke dalam mangkuk, pemuda itu menoleh.
"Mana Karin tau, emangnya Karin pernah pacaran."
"Gue nggak ngapa-ngapain sih."
"Bohong banget, pasti abang udah cium Mbak Nadia kan, yakali orang cantik gitu dianggurin."
"Emang kenapa kalo dianggurin, rugi ya? Rugi dong gue nganggurin lo." Ardi tersenyum jahil.
"Bener kan, pasti abang udah ngapa-ngapain Mbak Nadia, ngaku aja, Bang." Desak gadis itu.
"Nuduh apa mancing nih?" Goda Ardi, membuat Karin mengerutkan dahi. "Nyium Nadia gue belum pernah, kalo nyium lo udah dua kali."
Karin mendecih, "apaan, orang baru sekali," ralatnya.
"Dua kali kalo yang sekarang boleh," ucap Ardi yang membuat Karin reflek menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Nggak boleh," tolaknya dengan menggelengkan kepala.
"Bentar doang." Ardi menyingkirkan telapak tangan gadis itu.
"Nanti ada yang liat."
"Nggak lama, tenang aja," ucap Ardi meyakinkan, menyentuh dagu gadis itu dan sedikit menariknya. "Jangan merem."
Karin yang reflek membuka mata menggeram kesal, merapatkan bibirnya yang membuat Ardi tertawa tanpa suara.
Karin merasakan hembusan napas pemuda itu menerpa ujung hidungnya saat mereka mulai mengikis jarak, jantungnya berdetak tidak karuan, namun baru saja menempel, seruan dari arah luar membuat keduanya kelabakan.
"Ar!"
Ardi melompat kedepan menyembunyikan Karin di belakang punggungnya yang jadi sibuk mengaduk mi instan.
Justin muncul di ambang pintu, memamerkan sebuah kunci kemudian melemparkannya.
Ardi reflek menangkap benda itu, "kunci apaan nih, Bang?" Tanyanya.
"Ayo ikut keluar." Justin merangkulkan lengannya di pundak sang adik kemudian menariknya.
Ardi yang terseret masih menyempatkan diri untuk menoleh pada Karin yang juga meliriknya, pemuda itu memberi gerakan sun jauh dari bibirnya yang malah membuat Karin membulatkan matanya kesal. Entah kesal karena kelakuan abang angkatnya atau malah kesal karena gagal berciuman. Entahlah.
Di luar Ardi bingung melihat mobil baru terparkir di depan rumahnya, "mobil siapa, Bang? Keren amat."
Justin tersenyum, "mobil buat kamu," ucapnya yang membuat sang adik terperangah tidak percaya, dan saat Justin mengangguk pemuda di hadapannya itu melompat senang kemudian menubruk abangnya.
"Makasih, Baang."
Ardi masih terkagum-kagum pada mobil barunya, saat kemudian dari arah dalam rumah, Karin berlari ke arah mobil yang membuat pemuda itu ikut mengejarnya.
"Mobil baru Kariiin." Gadis itu berseru senang.
"Enak aja, mobil gue!" Ardi menyingkirkan gadis itu dari depan pintu mobil dengan mengangkat tubuhnya.
Dan setelah itu keduanya jadi ribut, saling berebut siapa duluan yang menduduki kursi kemudi.
"Kamu tuh terlalu manjain Ardi tau, Mas," ucap Nena yang membuat suaminya menoleh, "nggak lama kamu beliin motor gede, abis itu mobil," lanjutnya, kemudian duduk di atas kursi, perutnya yang membesar membuatnya cepat lelah untuk berdiri berlama-lama.
Justin berlutut di hadapan sang istri mengusap perut wanita itu, "nggak apa-apa, kan buat kamu juga. Nanti kalo ada apa-apa enak ada mobil, Ardi juga kan bisa bawanya."
"Prediksi dari dokter dua minggu lagi loh, Mas, itu bisa lebih cepet, kamu beneran mau ke luar kota?"
"Cuma sebentar, abis itu beneran aku langsung pulang," ucap Justin, kemudian kembali menoleh pada dua remaja yang sudah berada di dalam mobil, tampak seru menyalakan lagu dan bernyanyi-nyanyi dengan pintu yang terbuka.
"Melihat itu, Nena ikut bahagia."
***
Suara ketukan di pintu membuat Ardi yang hendak menuang air ke dalam gelas jadi menoleh.
"Bu ada tamu," serunya pada sang ibu yang menonton tv di ruang keluarga.
"Kamu aja, sinetronnya bentar lagi tayang, iklannya tinggal dikit lagi nih."
Ardi berdecak, kemudian beranjak ke arah pintu dan membukanya.
"Malem, Bang," sapa anak muda berkulit putih yang membuat Ardi mengerutkan dahi.
"Maaf, siapa ya?" Tanya Ardi.
"Temen kelas Karin, Bang. Mau ngajakin kerja kelompok, sekalian makan malem, sama anak-anak yang lain juga kok," ucap pemuda itu dengan tersenyum canggung.
"Besok kan minggu, emangnya nggak bisa besok?"
"Kalo besok anak-anak yang lain banyakan yang nggak bisa, jadi–"
Ucapan pemuda itu terpotong dengan kemunculan Karin yang sudah tampak rapi, "ayo Jun, berangkat." Karin melewati abangnya begitu saja.
"Heh, lo mau kemana?" Ardi menarik kerah baju gadis itu.
"Ih abang kebiasaan banget, emangnya Karin kucing ditarik begini." Gadis itu menepis tangan abangnya. "Karin udah izin sama Bang Justin, Mbak Nena, sama ibu juga, terus boleh kok."
"Sama gue nggak minta izin."
"Idih, emang abang siapa?"
"Gue." Ardi memberi jeda, bingung mau berkata apa, "abang lo lah," lanjutnya, melirik pada anak muda yang tampak menunggu di depan pintu.
Karin menghela napas, jengkel. "Yaudah iya, Abang Karin yang ganteng, yang udah rapi mau ngapelin pacarnya. Karin mau malem mingguan dulu sekalian kerja kelompok," ucapnya setengah mengomel. "Udah kan?"
"Bentar dulu." Ardi menarik lengan Karin yang hendak melangkah, kemudian menutup pintu dan sedikit menjauh dari benda itu.
"Lo mau kemana?"
"Kerja kelompok."
"Iya kerja kelompoknya di mana?"
"Di rumah temen Karin, ih kenapa sih, Bang, lagian abang juga mau pergi kan sama Mbak Nadia."
"Lo ikut gue aja."
Karin tertawa sumbang, "dan cuman jadi pedagang asongan di antara kalian yang mesra-mesraan, monmaap nggak jual kacang," sindirnya yang membuat pemuda di hadapannya itu berdecak sebal.
"Jangan pergi, gue juga nggak bakalan pergi, kalo lo nggak suka."
"Karin nggak suka pun bisa apa? Karin juga nggak peduli abang mau pergi atau nggak, sabar itu emang sebagian dari Iman ya, Bang. Tapi inget, cuman sebagian, sebagiannya lagi makan ati. Udah lah, Karin udah di tungguin," tukas gadis itu, kemudian beranjak pergi.
Ardi tau saat deru mesin motor di depan rumahnya itu membawa keduanya ke jalan raya, dan dia tidak pernah merasa sekesal ini sebelumnya." Anak setan. "
***bonus***
Author: Lanjut ke episode selanjutnya ya, tapi jangan lupa tinggalin jejak. Kalo kaga ntar gue selepet lu yang minta up nya banyak-banyak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Ney Maniez
sukurrrrrrrrrr...
sebagainya gak relaaaaa
gk relaaaa bagi2...
kyk kmu abang,, gk relaaa akuu😂😂😂
2024-12-24
0
*k🎧ki€*
kalo sampe tuh panci ngejawab auto kabur lo pasti Di 🤣🤣🤣🤣
2025-03-12
0
putri bungsu 28
boleh boleh boleh 🤣🤣🤣🤣
2024-01-31
0