Episode 14

Sepeninggalan Bu Asri, Jana kembali menarik sesuatu yang sempat ia sembunyikan tadi. Sebuah kotak persegi panjang dengan ukiran aneh pada bagian tutupnya. Jana tidak begitu mengerti makna ukiran tersebut, yang jelas hal itu persis seperti sebuah tulisan dari bahasa lain.

Sebelum membuka tutup kotak itu, sejenak Jana menarik kelopak matanya--menutup. Ia juga sempat menghela napas panjang, mempersiapkan diri untuk melihat kejutan apa yang tersembunyi di kotak aneh itu. Dengan gerakan ragu, ujung jemarinya menarik penutup kotak, lalu menggesernya dengan perlahan.

Dan ....

Mulut serta kedua bola mata Jana membulat secara bersamaan. Untung saja, air liurnya tidak ikut bercucuran. Ia terkejut sekaligus tak percaya. Ya, antara percaya dan tidak percaya. Namun, itulah kenyataannya.

Beberapa bongkah emas batangan tersusun rapi di dalam kotak itu. Sampai-sampai cahaya yang dipantulkannya membuat seluruh wajah Jana glowing seketika. Gadis itu masih belum bisa berekspresi dengan benar. Seluruh tubuhnya terasa beku sekaligus tegang. Ia masih bergeming--menatap lurus harta karun yang dalam beberapa hari ini tidak ia pedulikan.

"OMG ... i-ini beneran e-emas?" Tangannya refleks terulur mengusap permukaan si emas dengan perlahan bak mengusap pipi sang kesayangan. "Mimpi apa aku semalam?" tanyanya pada diri sendiri.

Siapa pun yang berada dalam posisi Jana, pastinya tidak akan percaya begitu saja akan pemandangan yang tak biasa ini. Ia mulai mengeluarkan bongkahan kuning berukuran tiga kali enam centimeter itu satu persatu dari dalam tempatnya. Menyusunnya di atas kasur dan menghitung jumlahnya.

...🌀🌀🌀...

Langkahnya terayun cepat melewati orang-orang yang saat ini sedang heboh akan penampakannya. Bisik-bisik tetangga yang biasa di dengarnya dalam syair lagu itu, kini mulai terdengar nyata di telinganya.

"Eh ... itu siapa?"

"Wah, cantik banget."

"Ah, pasti warga baru."

"Tapi ... tadi aku lihat dia keluar dari rumah Bu Asri."

"Oh, ya? Apa dia keluarganya Bu Asri?"

"Ih, tapi kok mirip seseorang ya? Tapi, siapa?"

Begitulah ocehan warga yang tertangkap oleh indera pendengaran Jana. Ya, sejak mengetahui fakta bahwa kuburannya sudah berdiri, Jana memutuskan untuk merubah sedikit penampilannya. Walaupun tidak feminim sangat, tapi aura tomboi itu sudah mulai berkurang.

Namun, Jana tetaplah Jana. Ia tidak peduli dengan komentar orang di sekitarnya. Seraya terus menapak langkah, ia mulai kembali percaya diri. Keputusan sudah diambil, dan tidak bisa ditarik mundur lagi.

Dengan mengenakan celana jeans dan kemeja panjang--dilinting sampai lengan. Rambut terkuncir lurus dengan sebuah kacamata bergagang bulat bertengger di hidung bangirnya, Jana hendak melanjutkan kembali perjalanan hidup yang sempat tertunda. Ya, ia ingin kembali ke kampus. Meneruskan tugas akhirnya, dan meraih gelar sarjana yang sudah semestinya ia dapatkan.

Gadis itu sengaja tidak memberitahu siapa pun tentang berita kepulangannya--tak terkecuali Julian. Jadi, hari ini ia memutuskan untuk menunggu bus di halte depan. Ia ingin memulai hari ini dengan cerita baru.

Tak lama kemudian, bus yang Jana tunggu-tunggu pun akhirnya tiba di persinggahan. Ia dan beberapa orang di sana langsung naik dan mencari tempat duduk masing-masing. Selama dalam perjalanan, tak banyak yang bisa ia lakukan. Sesekali melirik arlogi karet di pergelangan tangan, memastikan diri agar tak terlambat dari janji yang sudah ia buat.

Sesampainya di kampus, Jana berjalan melewati lorong yang membawanya menuju ruang dosen. Ia membuat janji untuk bertemu dengan dosen pembimbingnya hari ini. Ya, awalnya sang dosen shock karena menerima pesan dari nomor ponsel orang yang sudah meninggal, namun Jana menjelaskan kronologi bagaimana ia bisa selamat dari maut. Namun, dengan versi yang berbeda. Akhirnya, sang dosen bisa menerima kenyataan, dan di sinilah mereka sekarang. Duduk berhadapan di ruang ketua prodi.

"Jana ... ini beneran kamu?" tanya si dosen pembimbing yang berjenis kelamin laki-laki. Namanya Pak Urai Salam. Beliau adalah lulusan S3 di Australia dan berhasil mengambil gelar PhD-nya di sana.

Menanggapi pertanyaan konyol sang dosen, Jana hanya mengangguk sambil tersenyum. Pria yang berusia empat puluh tahun dengan rambut sulah itu tampak sedikit heran dengan alasan Jana merubah penampilannya. Namun, ia rasa itu semua di luar konsep dirinya sebagai dosen pembimbing.

Pak Urai sontak menarik map yang Jana serahkan, kemudian membacanya sekilas. Lelaki itu tampak meraup wajahnya sekali, kemudian menatap lurus ke arah Jana. "Apa kamu sudah membaca beberapa artikel yang berkaitan dengan judul penelitianmu ini?" tanyanya kemudian.

Jana kembali mengangguk tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Lalu, Pak Urai menarik laptopnya dan tampak mengetik sesuatu di sana. Setelah itu, ia menyebutkan beberapa judul artikel dan menanyakannya pada Jana--apakah gadis itu sudah membacanya atau belum. Cukup banyak judul artikel yang disebutkan oleh Pak Urai, namun sebanyak itu pula Jana menganggukkan kepala.

Pak Urai tampak takjub dengan kegigihan Jana, setelah mengecek daftar pustaka yang terlampir di halaman akhir. Berarti gadis itu tidak berbohong. Kemudian, dosen pembimbing sekaligus ketua prodi Jana itu mencoret beberapa kalimat yang harus diganti, lalu membubuhkan tanda tangannya pada lembar pengesahan. Hal itu membuktikan bahwa ia sudah memberikan tiket kepada Jana untuk menggelar seminar outline-nya.

"Silahkan kamu urus tahap selanjutnya!" titah Pak Urai.

"Terima kasih banyak, Pak. Bapak memang yang terbaik," ungkap Jana haru seraya mencium punggung tangan sang dosen. Setelah itu, ia pamit undur diri.

Pak Urai hanya bisa tercengang menatap kepergian gadis itu, karena selama berada di dalam ruangan, hanya itulah kalimat pertama dan terakhir yang Jana ucapkan.

"Anak itu benar-benar aneh! Jangan-jangan? Ah, sudahlah. Buktinya ia menginjak lantai," gumamnya seraya menggeleng pelan, lalu melanjutkan pekerjaan. Mungkin Pak Urai sempat berpikir bahwa itu adalah arwah Jana yang mungkin gentayangan karena mati penasaran.

🌀🌀🌀

"Janaaa!" pekik Jelita yang tak sengaja berpapasan dengan gadis itu di lorong menuju perpustakaan. Walaupun sedikit merubah penampilan, namun Jelita tidak bisa diakali.

"Kamu Jana, 'kan?" desaknya seraya memegangi kedua bahu gadis yang berdiri mematung di hadapannya. Kedua bola mata Jelita yang sudah memanas, sontak mengeluarkan kristal bening dari pelupuknya ketika lawan bicaranya mengangguk sekaligus tersenyum.

Gadis cantik berbadan tinggi semampai itu langsung menarik tubuh mungil Jana ke dalam dekapannya. Ia menangis sejadi-jadinya saking bahagianya. Sahabat yang sudah lama tak menemani hari-harinya itu, kini kembali dengan penampilan baru bak seorang gadis lugu.

Jana pun tak jauh berbeda. Rasa rindu karena sudah lama tak bertemu, membuat genangan air di pelupuk matanya pun luruh. Dibalasnya pelukan Jelita dengan erat, seraya menggumamkan kata maaf. Sebenarnya Jana sudah melihat Jelita dari kejauhan, namun ia sengaja tak menegur gadis itu terlebih dahulu, dengan alasan ingin mengetes kepekaan Jelita. Sesuai dengan perkiraannya, sahabatnya itu masih tetap mengenalinya walaupun sudah mengubah sampul diri yang selama ini terkenal tomboi dan awut-awutan.

"Apa kamu sudah memberitahu Julian?" tanya Jelita kemudian, seraya menarik tubuhnya dari Jana. Ia juga menyeka air mata yang masih tersisa di pipinya.

Jana hanya menggeleng, membuat Jelita memutar kedua bola matanya malas.

"Huuh, oke, lupakan soal Julian! Sekarang ikut aku ke kantin, kamu harus menceritakan semuanya!" titahnya sembari menarik lengan Jana tanpa menunggu jawaban gadis itu terlebih dahulu.

Terpopuler

Comments

Ichi

Ichi

lanjot bab berikut 💃

2022-10-23

1

Ichi

Ichi

saatnya bertemu dengan manusia sesungguhnya 😌

2022-10-23

1

Ichi

Ichi

dosen aje kaget 🤣🤣🤣

2022-10-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!