Episode 3

"Jana gak ada di rumah, Nak Julian. Dia sedang mendaki gunung Paralayang bersama teman-temannya," tutur Bu Asri ketika Julian berkunjung ke rumahnya.

Dengan wajah kecewa, Julian mendudukkan tubuhnya di atas sofa. "Dia gak ada bilang sama saya, Bu."

"Mungkin tidak sempat." Bu Asri berusaha menjelaskan--mewakili putrinya. "Bagaimana kondisi omamu?" tanyanya untuk mengurai kekecewaan di hati Julian.

"Oma masih di rawat di rumah sakit, dan beliau sangat ingin bertemu dengan Jana." Julian masih berusaha tersenyum di depan Bu Asri, walaupun sebenarnya ada sebuah kegelisahan yang tiba-tiba merayap di seluruh dadanya.

🌀🌀🌀

Jauh dari keramaian kota, Jana dan teman-teman dari Organisasi Mapala tengah bertualang ria. Menjejakkan langkah demi langkah mereka untuk mencapai puncak tertinggi dari gunung Paralayang--gunung tertinggi di kotanya. Deretan pohon pinus menjulang tinggi di sepanjang setapak yang mereka lewati. Pohon-pohon durian dan garu juga turut menambah ramainya flora di sekitar. Tak ketinggalan juga suara-suara merdu para burung yang beterbangan hilir-mudik, seakan menjadi soundtrack dalam perjalanan mereka.

Seperti yang sudah ia niatkan pada hari sebelumnya, Jana tidak ingin ketinggalan apalagi kehilangan kesempatan untuk kembali memicu adrenalin sekaligus meraup keuntungan dari perjalanan ini. Tidak ada yang lebih menyenangkan dalam hidup selain melakukan hobi yang dibayar. Berpetualang adalah hal terindah di dalam hidupnya. Tak jarang ia juga mengajak Julian untuk menyelami hobi yang sama. Namun, karena kesibukannya mengurus perusahaan, Julian tidak bisa setiap saat menemaninya dalam hal ini.

"Teman-teman, kita bangun tenda di sini. Sebentar lagi langit bakalan gelap, kita lanjutkan perjalanannya besok pagi ...!" instruksi Ketua Mapala.

Tentu saja, Jana dan teman-temannya langsung bergegas melaksanakan apa yang sudah dititahkan oleh pimpinan mereka. Selain untuk menghindari kecelakaan saat mendaki, rehat juga sangat baik untuk mengistirahatkan tubuh para pendaki. Dengan begitu, mereka juga akan mendapatkan energi baru ketika mentari mulai menampakkan diri.

Setelah membangun tenda dan menyiapkan unggun untuk menghangatkan tubuh di malam hari, semua anggota mulai sibuk membersihkan diri, tak terkecuali Jana. Gadis itu tampak berdiri di depan tenda dan mengekori sekitar, karena indera pendengarannya sempat mendengar suara arus air yang mengalir. Sepertinya ada sungai di sekitar sana.

"Ji, aku ke sana bentar ya, kayaknya ada sungai deh. Mau ambil air buat persediaan besok. Kamu mau ikut gak?" Jana pamit sekaligus bertanya pada Puji--teman satu tendanya. Loh, kemana si cantik Jelita? Nah, gadis itu tidak cocok jika berada dalam situasi seperti ini. Lagi pula, mendaki bukanlah sesuatu yang disukainya. Jadi, dia tidak pernah terlibat dalam kegiatan-kegiatan Jana yang berhubungan dengan petualangan.

"Gak ah, Jan. Kamu aja, aku mau beresin barang-barang kita," sahut Puji tanpa mengalihkan perhatiannya dari apa yang sedang ia lakukan saat ini. Jana mengangguk, kemudian berlalu dari sana.

Tempat mereka berkemah saat ini tampak cukup luas. Terdapat hamparan rumput hijau yang dikelilingi oleh tumbuhan bambu kecil. Persis seperti bukit teletubies. Hanya saja, tidak ada kincir angin kecil di sekitar mereka. Agaknya bukit ini memang sering dijadikan spot berkemah oleh para pendaki lainnya.

Setelah meninggalkan kelompoknya, Jana mulai menapaki jalan tikus yang mengarah ke barat dengan sebuah kamera kecil dalam genggamannya. Benar seperti yang sudah ia dengar, ada sebuah sungai berbatu yang terbentang di ujung setapak itu. Saat tiba di pinggiran sungai, Jana sempat bertemu dengan teman-temannya yang baru saja selesai mandi.

"Air gunung memang menyegarkan, coba deh nyebur, Jan! Siapa tahu kamu berubah jadi cewek cantik," teriak salah satu teman pria yang baru saja berpapasan dengan langkahnya.

"Berisik tau!" cetus Jana seraya menyipitkan matanya sedikit lebih tajam, lalu melengos. Si pria hanya tergelak hebat seraya maklum dengan sifat acuh si tomboi. Niat hati hanya ingin bercanda, namun apalah daya setelah mendapat tatapan tajam dari Jana. Anak-anak Mapala sudah mengenal baik seperti apa karakter gadis yang satu ini. Benar-benar berbeda dengan gadis pada umumnya. Tampak buas di luar, namun memiliki inner beauty tersembunyi bagi yang sudah mengenal baik dirinya.

Sepeninggalan teman-temannya, Jana hanya sendirian di sana. Ditekuknya kedua lutut di atas batu besar yang bertengger di tepian sungai. Wajah gadis itu tertunduk lurus ke arah air yang super jernih di bawahnya.

Berkaca!

Ia sedang menatap pantulan dirinya seolah di depan cermin besar.

Untuk beberapa saat ia tampak termenung. Tanpa sadar tangannya bergerak menyentuh sebelah pipinya. Tampak begitu kusam dan berantakan. Ah, apa yang sedang ia pikirkan?

Tak ingin terpengaruh dengan cibiran orang-orang terhadap penampilannya, gadis itu menggeleng cepat dan meraup air di depannya untuk mencuci wajah dan kedua tangan. Ada kesegaran tersendiri yang ia rasakan--masuk melalui pori-pori kulitnya yang kuning langsat. Kesegaran tersebut menciptakan rasa ringan seolah terlepas dari beban berat yang selama ini dia tanggung. Jana mulai memejamkan kedua mata, merentangkan kedua tangan, dan berteriak sekencang-kencangnya. Inilah cara terbaiknya melepaskan diri dari belenggu masalah.

Ya, berbaur dengan alam sudah menjadi terapi alami bagi dirinya. Hal yang tidak pernah ia rasakan jika ia sedang berada di dalam keramaian. Menjalani kehidupan di kota dengan segala hingar-bingarnya, terkadang membuat dirinya suntuk dan merindukan suasana sunyi seperti sekarang ini.

Namun, di sela-sela aktifitas batinnya itu, daun telinganya berhasil menangkap gelombang suara seperti geraman seekor hewan buas disertai suara teriakan seorang wanita yang saat itu meminta pertolongan.

Oh, tidak.

Jana terperanjat. Ia langsung mengamit ransel dan kamera yang sempat ia geletakkan di atas batu tadi tanpa sempat mengisi botol minumnya dengan air. Ia sontak berdiri dan memasang pendengaran dengan tajam. Ternyata suara itu terdengar dari arah selatan. Jana langsung mengambil langkah cepat setengah berlari. Langit yang hampir temaram tak menghalangi niatnya untuk menolong sesama.

Ia berlari dan terus berlari mengikuti sumber suara, hingga akhirnya ia tiba pada sebuah tempat perkemahan kelompok lain. Terdapat dua buah tenda yang berdiri di sana. Dua tenda itu tampak sobek dimana-mana dengan posisi berdiri yang tak lagi tegak.

Jana mulai panik. Diraupnya wajah dengan kasar. Dadanya pun tampak naik-turun karena gelisah. Gelisah akan bagaimana caranya ia menolong wanita yang masih berteriak itu. Namun, seorang diri tidak membuat ia putus semangat. Kembali diikutinya sumber suara itu, dan berlari menabrak semak belukar. Di tangannya terdapat sebuah pisau yang sempat ia temukan di area kemah tadi.

"Dimana wanita itu?" Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri. Deru napas yang mengembus dari hidungnya terdengar semakin cepat dan kasar. Dia kembali panik, ketika mendengar suara hewan itu seolah sedang berada di belakangnya.

Keringat dingin sebesar biji kacang mulai membanjiri keningnya. Debaran jantung yang semakin kencang pun tak bisa lagi dihindarinya. Mau tidak mau, dia harus membalikkan badan.

Dan ....

Terpopuler

Comments

Ichi

Ichi

lanjut eps berikut 💃🚀

2022-10-19

0

Ichi

Ichi

dicabik² binatang apa tuh? 🧐🙄

2022-10-19

0

Ichi

Ichi

cinta banget keknye si Jul

2022-10-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!