Episode 4

"Jelita!" seru Julian ketika tiba di kampus Jana. Dia memang sengaja singgah ke tempat itu sebelum berangkat ke kantor. Gadis yang tadi disebut namanya pun menoleh ke arah sumber suara. Seperti yang ia yakini, wajah familiar yang selalu di pujanya dalam diam itu memang tampak nyata di pelupuk mata.

"Ju-Julian!" serunya balik dengan senyuman merekah setengah gugup. Sejak awal melihat pria itu, pesona Julian memang tidak pernah bisa dia nafikan.

"Bagaimana? Sudah ada kabar terbaru tentang Jana?" tanya Julian ketika tubuh tegap dan tingginya berdiri tepat di depan gadis cantik itu. Jelita semakin gerogi, namun setelah mendengar pertanyaan Julian, senyuman gadis itu pun tiba-tiba surut. Ia sudah tahu bahwa kedatangan Julian bukanlah untuk dirinya, melainkan untuk menanyakan kabar tentang sahabatnya. Salahnya, ia sendiri tak pernah bisa menjinakkan hati ketika rasanya mulai bermain peran.

Tanpa bisa menjawab dengan kata-kata, Jelita hanya menggeleng lesu. "Jika begitu, aku akan mencarinya sendiri. Kita tidak bisa hanya berharap pada hasil kerja orang lain," tutur Julian geram, lalu kembali menuju mobilnya tanpa tahu seperti apa ekspresi wajah gadis yang sudah ia tinggalkan.

Membeku!

Ya, untuk ke sekian kalinya Jelita melihat cinta yang begitu besar di mata Julian, dan itu bukanlah untuk dirinya. Terkadang ia berpikir--apa yang kurang dari dirinya sehingga Julian tak sedikit pun menaruh hati? Apa karena ia tak seperti Jana? Jana yang kuat, Jana yang cerdas, dan Jana yang mandiri.

Aaaarrrgggh!

Jelita tampak menepuk kepalanya berkali-kali karena sudah berpikiran yang tidak-tidak. Di saat kekhawatiran dan kekelabuan menyelimuti mereka, ia malah sempat-sempatnya memikirkan soal cinta.

...🌀🌀🌀...

Satu minggu berlalu begitu saja, namun tak ada kabar terbaru dari Jana. Bu Asri yang sudah kehabisan stok air mata pun, kini hanya bisa termenung di depan pintu, berharap putri sulungnya tiba-tiba pulang dan memeluknya erat karena saking rindunya.

"Bu ... ibu gak boleh begini terus. Kak Jana pasti gak bakalan suka kalau melihat ibu seperti ini," tutur lembut Jogi--putra tunggal Bu Asri yang ia dapatkan dari pernikahan sebelumnya. Kedua tangan remaja yang sedang duduk di bangku SMA itu memeluk pundak ibunya dari samping.

"Ibu yakin kakakmu pasti kembali, Jo. Yakin banget, hiks ... hiks ...." Ada semacam pukulan hebat yang menghantam dadanya ketika mengatakan hal tersebut. Ia tahu bukanlah mudah untuk selamat dari terkaman binatang buas atau pun terjalnya jurang yang mungkin sudah merenggut nyawa putrinya.

Jogi masih mendengarkan ibunya dengan baik, seraya terus mengelus pundak wanita itu. "Kakakmu gak mungkin meninggalkan kita begitu saja tanpa pamit," lanjutnya seraya menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Terselip kegetiran yang tiba-tiba mencuat di hati Jogi, saat melihat ibunya seberduka ini. Ia benar-benar tidak menyangka jika sosok Jana yang notabennya hanya seorang anak tiri, namun begitu berharga bagi sang ibu.

"Iya, kita do'akan kakak baik-baik saja di luar sana dan bisa segera berkumpul lagi bersama kita." Dikecupnya dalam puncak kepala wanita yang sudah melahirkannya itu, lalu memeluknya dengan ketat. Seolah memberikan sejuta dukungan agar suasana hati ibunya bisa sedikit tenang.

Ya, sejak dinyatakan menghilang di hari pertama pendakian, tim Mapala Kampus langsung melakukan pencarian terhadap raibnya sosok Jana. Sebagian dari mereka ada yang putar balik dan memberitahu keluarga jika Jana tak kembali ke perkemahan setelah memutuskan untuk pergi ke sungai.

Hanya ada satu kemungkinan yang mereka yakini, gadis itu hanyut di bawa arus sungai ketika sedang mandi. Namun, hingga jarak dua kilometer ke arah selatan dan utara, tim pencarian belum bisa menemukan tubuhnya. Seperti yang sudah ditemui Jana sebelumnya, mereka hanya melihat dua buah tenda yang kondisinya sudah tak lagi beraturan. Hingga timbullah perkiraan baru; kemungkinan besar tubuh Jana sudah menjadi santapan binatang buas bersama dengan pemilik tenda-tenda tersebut.

...🌀🌀🌀...

"Bu, kami turut berduka atas meninggalnya putri ibu."

Ungkapan yang sama dihaturkan oleh para pelayat yang datang bergantian ke rumah duka. Entah darimana datangnya, deretan manusia itu tampak begitu ramai memenuhi halaman rumah Bu Asri, tak terkecuali Jelita dan Julian.

Tak ada lagi asa yang bisa membuat si ibu kembali berharap saat ini. Sejak tibanya seonggok daging tak beraturan yang diyakini adalah tubuh putrinya, wanita paruh baya itu hanya bisa pasrah.

Tadi pagi, tim pencarian mengonfirmasi bahwa sudah menemukan jasad Jana yang dinyatakan menghilang dua pekan terakhir. Jasad tersebut diidentifikasi sebagai jasad Jana Riani, walaupun tak lagi berbentuk manusia seutuhnya. Berdasarkan bukti ditemukannya sebuah ransel yang tergeletak di samping jasad itu--yang sudah jelas adalah kepunyaan si tomboi.

Malangnya nasib tak lagi bisa dihindari keluarga Bu Asri. Berita kehilangan yang sudah sering menekan batinnya belakangan ini, kembali membentur separuh jiwanya dengan berita yang jauh lebih menyakitkan.

Menurutnya, sudah cukup bermuram durja dengan rembesan air mata. Kini, ia benar-benar harus menerima pahitnya takdir yang memang sudah digariskan. Ditepispun tidak bisa. Akhirnya, berlapang dada adalah cara bijak satu-satunya.

"Bu ... kita pulang sekarang?" Jogi bertanya, ketika sang ibu tak juga bangkit dari peraduan. Sejak bubarnya para pengantar jenazah, Bu Asri masih saja memeluk tiang nisan yang berukirkan nama putri sulungnya itu. Ternyata ... ikhlas itu tak semudah seperti apa yang sudah ia tanamkan di dalam hati. Air pilu tanda kehilangan itu kembali menitik dari pelupuk matanya saat hendak bangkit dari posisi awal.

"Sekarang ... kamu pasti lebih bahagia ya, Nak. Akhirnya kamu bisa berkumpul bersama ayah dan ibu kandungmu," rintihnya sebelum akhirnya jatuh di pelukan sang putra. Jogi yang sedari tadi juga menyeka air dukanya, mencoba menguatkan diri demi sang ibu. Ia harus tegar agar wanita yang sedang direngkuhnya saat ini tidak kehilangan semangat hidup seperti halnya sosok yang sudah terpendam di dalam sana.

Setelah beberapa saat berdiam diri, akhirnya langkah gontai kedua orang itu pun terayun meninggalkan area pemakaman.

...***...

Aaarrrgggh!"

Julian mengguyur tubuhnya dengan shower ketika pulang dari pemakaman. Sedari tadi ia hanya bisa memendam kesedihannya karena terlalu banyak pasang mata yang menyaksikan. Tak ingin terlihat rapuh di hadapan orang lain, akhirnya ia melepaskan belenggu duka yang begitu menyesakkan dadanya itu di kamar mandi. Bertekuk lutut dengan punggung membentur dinding keramik. Bermandikan lara yang mungkin takkan bisa ia lupakan seumur hidup.

Terbentang rasa sesal di ruang hatinya karena tak berhasil menyelamatkan Jana. Ia terus merutuki diri karena sudah gagal menjaga amanah dari almarhum ayah si gadis. Lebih parahnya lagi, ia juga sudah berkhianat kepada diri sendiri, karena sudah mengingkari janji pribadi.

Pria yang terkenal introvert ini, sangat jarang membagi keluh-kesahnya dengan orang lain. Selama ini tempatnya berlabuh hanyalah Jana. Sosok yang saat ini sudah tak bisa lagi ia pandang rupanya, apalagi ia sentuh wujudnya. Kemustahilan itu sudah menjadi nyata bagi Julian sekarang. Ia harus melanjutkan hidup tanpa sosok yang ia cinta--tanpa sempat menyatakan rasa.

Terpopuler

Comments

Ichi

Ichi

lanjut eps lainnya 🛵🛵

2022-10-19

0

Ichi

Ichi

yg sabar ya Julian 😁

2022-10-19

0

Ichi

Ichi

tuh anak kandungnya aja bisa ngerasain kek gitu, apelagi yg baca 🤣🤣

2022-10-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!