Episode 13

Suara mesin motor matic berderu di depan rumah Bu Asri. Ia yang saat ini sedang mencuci sayur yang hendak disulapnya menjadi santapan lezat pun terpaksa berhenti sejenak dan mengintip keluar. Tak biasanya Jogi pulang dari sekolah sepagi ini, begitu pikirnya.

Wanita paruh baya itu terus menyeret langkahnya keluar demi mengobati rasa penasaran yang mengetuk relung hati. Ketika tiba di muka pintu, kening Bu Asri tampak berkerut dalam saat melihat seorang gadis berambut ikal terurai dan mengenakan gaun bak seorang putri kerajaan turun dari boncengan. Ia belum bisa melihat wajah itu karena si empunya berada pada posisi membelakanginya.

"Ini bayarannya, Pak. Terima kasih banyak," ucap gadis itu dengan masih memunggungi Bu Asri. Tukang ojek itu pun mengucapkan terima kasih, kemudian pamit undur diri.

Setelah itu si gadis membalik badannya dengan cepat, ia sudah tidak sabar lagi ingin bertemu dengan sang ibu yang sudah lama ia rindukan. Namun, langkah yang hampir saja terayun itu sontak tertunda karena menangkap sosok terkasih yang sudah berlinang air mata--mematung di mulut pintu.

Bu Asri ... ia tak mampu lagi berkata-kata. Putri yang sejak satu bulan ini ia anggap meninggal dunia, kini telah kembali membawa sejuta asa. Saking bahagianya, ia hanya bisa berekspresi dengan linangan air suka. Sungguh, hari yang sudah ia anggap sebagai mimpi itu akhirnya berubah menjadi nyata. Jana ... putri sulungnya, kini berdiri di depan rumah dengan air muka ceria.

"Ibu ...!" gumam Jana pelan, kedua bola matanya mulai memanas. Genangan air kerinduan yang bersarang di pelupuk mata itu sepertinya tidak akan bertahan lama.

"Jana putriku ...!" seru Bu Asri, yang sudah bisa memastikan bahwa sosok yang berdiri di depannya itu bukanlah sebuah bayangan semu.

Jana langsung berlari dan membenturkan tubuhnya pada Bu Asri. Dipeluknya wanita yang sudah membesarkannya dengan penuh kasih sayang itu dengan ketat. Menyalurkan rasa rindu yang sudah lama terpendam dalam.

Tak jauh berbeda dengan Jana, Bu Asri juga semakin sesegukan setelah merasakan sentuhan nyata dari sang putri. Dielusnya berkali-kali punggung Jana yang tertutup rambut panjangnya seraya mengucapkan kalimat syukur berulang kali.

"Ibu sangat yakin kalau kamu pasti kembali, Nak." Penuturan bernada pilu itu tak bisa lagi ia tahan. "Mereka bilang bahwa kamu sudah meninggal dunia, tapi buktinya Tuhan sudah membawamu pulang, Jana!" lanjutnya dengan air mata yang semakin berderai-derai. Sementara Jana, sudah tak bisa lagi berkata-kata.

Ya, kadang-kadang orang lebih memilih untuk menangisi momen haru ketimbang harus menanggapinya dengan tawa ria. Dengan begitu akan lebih terasa, jika sesuatu atau pun seseorang yang telah pergi itu ... nilainya sangatlah berharga.

Dua pasang ibu dan anak tersebut terpaksa harus melerai pelukannya, ketika suara deru mesin motor kembali berhenti tepat di halaman rumah mereka. Jana yang sudah lama tak memandang wajah tampan itu, sontak menarik kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan. Kedua tangannya langsung terbentang ketika tubuh Jogi hendak memeluknya.

"Syukurlah kakak baik-baik saja, bahkan sekarang kakak tampak sangat cantik," goda remaja itu setelah melepaskan diri dari sang kakak yang sempat menjitak manja keningnya.

"Maksudmu ... selama ini aku tidak cantik, begitu?" tanya Jana dengan mata memicing, sementara sebelah tangannya berkacak pinggang.

Jogi yang merasa salah bicara, seketika menapakkan langkah satu persatu melewati punggung ibunya, dan langsung berlari ke dalam rumah saat sang kakak akan menangkapnya.

"Jogi ...! Awas kamu, ya!"

"Ampun, Bang Jago."

"Apa katamu?"

"Eh, ampun, Kak."

Mereka berdua pun sontak berlarian ke sana kemari layaknya dua orang anak kecil yang sedang memperebutkan sebuah mainan.

"Jana ...! Jogi ...!" tegur Bu Asri. Keributan kembali mengisi ruang dengarnya, ia lantas menggeleng pelan dan tersenyum penuh rasa syukur. Akhirnya, kebahagiaan itu kembali menghampiri keluarga kecilnya. Ia pun turut mengayunkan langkah menyusul putra dan putrinya.

🌀🌀🌀

"Kak, kata teman-temanku, ada kemungkinan kalau selama menghilang kakak sudah disembunyikan oleh makhluk halus. Apa itu benar?" Pertanyaan polos dari mulut Jogi langsung membuat Jana tersedak.

Mereka bertiga sedang menikmati makan malam bersama. Ini sudah hari keempat setelah kepulangan Jana, namun ia sengaja belum melakukan aktifitas apa pun di luar rumah.

"Apa aku salah bicara?" tanya Jogi kembali karena Jana tak juga menjawab pertanyaannya. Gadis itu kembali meletakkan gelas minumnya di atas meja.

"Kamu percaya?" Bukannya menjawab, Jana malah balik bertanya.

"Ya ... tergantung. Kalau kakak menjawab iya, maka aku percaya. Tapi, jika kakak menjawab tidak, aku malah semakin percaya," tutur remaja tampan itu asal. Bu Asri tampak menahan tawanya. Ia hanya mendengarkan percakapan kedua kakak beradik itu tanpa mau mengambil peran.

"Hahaha ... prinsip macam apa itu, Jogi?" Jana dibuat tergelak oleh penuturan sang adik. Bukan hanya Jana, Bu Asri pun kini sudah menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangan.

"Kenapa kalian berdua malah tertawa? Aku serius bertanya, Kak." Kening Jogi tampak berkerut sangat dalam. Ia tak habis pikir jika ibu dan kakaknya malah merasa terhibur dengan pertanyaan yang dia ajukan.

Melihat keseriusan yang terlukis di seluruh titik wajah adiknya, Jana langsung menghentikan tawanya. Begitu pun dengan Bu Asri. Beliau kembali menikmati makanannya yang masih tersisa di piring.

"Ehem ... ehem!" Jana berdeham dengan ekspresi sungguh-sungguh. Jogi tampak semakin serius menatap ke arah kakaknya. Kemungkinan sang kakak akan menceritakan kisah sesungguhnya, begitu pikirnya.

"Ya, selama ini kakak disembunyikan oleh makhluk halus," tutur Jana kemudian. Jogi tampak menelan saliva. Sementara Bu Asri, beliau kembali menahan tawanya. Ia tahu bahwa putrinya itu kembali mengerjai sang adik.

"Tapi boong!" teriak Jana dengan menjulurkan lidahnya ke arah Jogi. Membuat remaja itu refleks berdiri dan mengejar sang kakak yang sudah terlebih dahulu berlari.

Ya, seperti itulah hubungan saudara harmonis versi Jana dan Jogi. Selalu ribut dan saling mengejek satu sama lain, namun di balik semua itu, terselip rasa sayang yang begitu besar.

Hal itulah yang membuat Bu Asri sangat menyayangi Jana. Gadis itu sudah memperlakukan Jogi seperti adik kandungnya sendiri.

...🌀🌀🌀...

"Nduk ... kamu belum tidur?" tanya Bu Asri ketika ia memasuki kamar Jana.

"Belum, Bu. Ibu kok belum tidur?" tanya Jana balik. Aktifitas yang hendak dilakukannya tadi, langsung ia urungkan setelah mendengar suara sang ibu.

"Belum. Eh, apa itu, Nduk?" Bu Asri sempat melihat bahwa Jana sedang menyembunyikan sesuatu di balik tubuhnya.

"Itu ... buku, Bu." Jana terpaksa berbohong. Walaupun sudah terhitung lama berada di rumah, namun ia tidak menceritakan apa pun kepada Bu Asri tentang apa yang sudah terjadi padanya selama tidak berada di rumah.

Bu Asri yang tak begitu mempermasalahkan hal tersebut, langsung mendekati Jana. "Ini ranselmu, Nduk. Ibu tidak pernah membukanya. Kamu periksa sendiri isinya," tutur Bu Asri lembut seraya menyerahkan ransel kesayangan Jana.

Kedua mata gadis itu tampak berbinar. "Bagaimana ibu bisa menemukan ransel ini?" tanyanya balik sembari menerima barang tersebut.

"Pihak kepolisian yang sudah menemukannya, mereka juga menemukan potongan daging tak beraturan yang dicurigai adalah jasadmu, Nak." Bu Asri menceritakan kronologi kejadian setelah Jana dinyatakan menghilang.

Jana tampak melongo. Ia tak tahu, jika kuburan atas nama dirinya sudah berdiri di muka bumi. Bahkan ia juga baru mengetahui bahwa semua orang sudah mengecapnya sebagai orang mati.

JLEB

Terpopuler

Comments

Ichi

Ichi

kuy lanjut lagi 🛵🛵💃

2022-10-23

0

Ichi

Ichi

Jana, klo di dunia kamu sudah tiada 🤣🤣🤣

2022-10-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!