Pagi ini sinar mentari tak begitu tampak di pelupuk mata. Kabut tebal yang menyelimuti kota itu sungguh pekat hingga menenggelamkan sebagian dari badannya. Burung-burung yang biasanya terbang dan bernyanyi di langit pun kini tak begitu ramai seperti biasanya.
Jana ... gadis itu sontak mengedipkan kelopak matanya ketika menangkap sebaris pelangi yang tiba-tiba melintas tepat di depan jendela--dimana ia berdiri. Dikuceknya berkali-kali dua bola mata kecoklatan miliknya itu untuk meyakinkan diri bahwa ia tidaklah sedang bermimpi.
Ya, sudah satu minggu Jana berada di tempat ini. Tempat yang dia sendiri pun tak tahu pasti. Pria yang sempat mengajaknya makan malam terakhir kali, kini tak pernah lagi tampak di sekitar. Kemanakah dia pergi?
Berkali-kali pula Jana bertanya kepada para pelayan di sana tentang dimana keberadaannya, namun berkali-kali pula ia menelan kekecewaan. Pelayan di tempat ini seperti halnya robot rakitan yang hanya patuh kepada tuannya seorang. Sebesar apa pun sogokan yang Jana berikan, mereka tetap saja bungkam.
"Nona, sarapan Anda sudah siap," tutur Winar--pelayan cantik yang biasa melayani Jana selama di tempat ini. Seperti biasa, gadis muda itu selalu mengantarkan makanan untuknya sejak raibnya sosok Shara.
"Aku tidak lapar, Winar. Kamu bawa saja makanan itu kembali," tutur Jana tanpa mengalihkan pandangannya.
Winar tampak ragu untuk angkat bicara, namun sesuai titah tuannya, dia harus memastikan bahwa Jana akan selalu menghabiskan makanan di setiap sesinya. "Tapi, Nona ... Pangeran Shara pasti-"
"Cukup, Winar!" erang Jana. Bersamaan dengan itu kepala gadis itu pun berotasi ke arah lawan bicaranya. "Jika dia begitu peduli padaku kenapa dia mengurungku di tempat tidak jelas ini?" teriaknya lagi dengan dada naik-turun. Tampaknya ia sudah tak bisa lagi memendam kerisauan dan kesepiannya selama berada di tempat ini. Emosinya tersulut dan ia pun menjadi berang. Apalagi setelah mendengar nama orang yang sudah merenggut kebebasannya.
"Ta-tapi, Nona sa-" Winar tak lagi bisa melanjutkan kalimatnya setelah melihat telapak tangan Jana yang terangkat dan mengarah padanya. Itulah bahasa kode dimana dia tak diperkenankan untuk bicara lagi.
Setelah dipastikannya tak ada kalimat susulan dari Jana, Winar pun mulai memutar badannya.
Ia tak ingin membuat gadis itu kembali murka jika dirinya terus memaksa. Namun, baru saja ingin melangkah keluar, pelayan cantik dan muda itu sontak tersentak lantaran pandangannya menangkap sosok tuannya--berdiri tepat di mulut pintu.
Siapa lagi kalau bukan Shara. Pria itu meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya, sebagai isyarat agar Winar tak mengeluarkan suara. Winar pun mengangguk patuh.
Untuk sesaat, Shara melempar pandangannya pada gadis yang sedang berdiri di depan jendela. Kemudian menarik sebelah sudut bibirnya. Dia lantas mendekati Winar, lalu mengambil alih baki yang tadi berada di dalam timangan pelayan itu. Setelah mendapat perintah untuk pergi, Winar pun undur diri.
Shara tampak menarik napas pelan dan mengembuskannya. Langkah tegapnya pun terayun mendekati jendela, lalu meletakkan baki tersebut di atas meja yang berada di sampingnya.
"Sudah kukatakan tadi, aku tidak lapar, Wi-" Suara Jana tercekat. Pasalnya bukanlah Winar yang saat ini sedang berdiri di dekatnya, melainkan pria yang sudah satu minggu ini tak menampakkan batang hidungnya.
"Kamu harus makan!" tegasnya seraya mengulurkan satu sendok makanan ke mulut Jana. Gadis itu terpana, bak terhipnotis oleh sebuah sihir dia langsung membuka mulutnya begitu saja. Membuat Shara tersenyum tipis dan terus melanjutkan suapan demi suapan hingga makanan di dalam mangkuk itu tandas.
Setelah meminum jus jeruknya, Jana langsung tertunduk dan berkata, "Dimana aku?" tanyanya kemudian. Sepertinya ini sudah saatnya berkomunikasi dengan baik. Jana tak ingin terus-menerus berasumsi tanpa kejelasan yang pasti.
Shara terdengar menghela napas. Tampaknya ia mulai menangkap kejenuhan di wajah gadis yang sudah diselamatkannya itu. Walaupun baru mengenal Jana, namun hatinya merasa gadis itu sudah lama bersamanya.
"Ikut aku!" Shara mengamit telapak tangan Jana dan membawanya keluar.
"Kita mau kemana?" tanya Jana di sela-sela kesulitannya mengimbangi langkah lebar pria itu.
Shara tak menjawab, ia terus melangkah hingga akhirnya mereka tiba di taman belakang bangunan itu. Jana tampak takjub. Ia tak menyangka bahwa bangunan yang sudah mengurungnya selama ini berdiri tepat di atas sebuah bukit. Sehingga ia bisa melihat hamparan kota indah yang terbentang luas di bawah bukit itu.
"Ini bukit Pelangi. Dan kamu sekarang ada di kota kami ... dunia kami," tutur Shara tanpa menatap gadis yang masih berdiri di belakangnya itu. Jana masih mendengarkan dengan seksama, tanpa ingin menginterupsi. Walaupun ada rasa panik yang seketika menjalar di ruang dadanya, ia masih tetap berusaha untuk terlihat tenang.
"Apa tidak ada yang ingin kamu tanyakan?" Pria berbola mata biru itu menoleh seketika, setelah menyadari bahwa gadis di belakangnya hanya bergeming saja. Sembari menautkan kedua alisnya, Shara semakin mengikis jarak di antara mereka.
"A-apa maksudmu de-dengan 'dunia kami'?" Akhirnya Jana mengeluarkan suara, walaupun terdengar terbata-bata. Agaknya rasa geroginya kembali mencuat. Shara tersenyum menggoda, ketika kedua manik mata mereka bertemu. Ia baru menyadari bahwa gadis di hadapannya itu memiliki manik mata hazel--kesukaannya.
"Apa menurutmu kamu sudah mati?" bisiknya di telinga Jana. Bukannya menjawab, Shara malah menggoda Jana. Gadis itu sedikit mengangkat bahunya karena efek geli yang ditimbulkan oleh embusan napas hangat lawan bicaranya.
"Bi-bisakah kamu sedikit menjauh?" Jana mendorong dada Shara dengan jari telunjuknya. Pria itu menjatuhkan pandangan, lalu kembali menatap wajah gadis yang sudah ia rindukan selama satu minggu ini.
Begini lebih baik," ucap Shara tanpa ingin menjauh sedikit pun. Entah mengapa, Shara merasa bahwa ada sebuah energi magnet yang terus menariknya untuk berada di dekat gadis itu. Tubuh kekarnya yang berbalut jubah biru tak membuat pesona maskulinnya tertutupi. Bahkan keintiman yang selalu Shara tunjukkan, selalu sukses membuat Jana tak bisa berkutik.
"Tolong ... aku butuh penjelasan." Jana terus menuntun pikirannya untuk tetap waras. Ia tidak ingin tergoda oleh kegilaan seorang pangeran seperti Shara. Tentunya, Jana sudah tahu, jika seorang pangeran pasti memiliki banyak wanita untuk dijadikan istri bahkan selir. Dan ia sadar bahwa pria itu hanya sedang menggodanya saja.
Shara pun tahu bahwa gadis di depannya ini bukanlah sosok yang mudah untuk ditaklukkan. Ia menghela napas pelan, lalu berbalik badan dan berkacak pinggang.
"Kamu sedang berada di kota Saranjana. Sebuah kota tersembunyi di balik lereng gunung Paralayang," ucap pria itu melanjutkan penjelasan. "Tidak ada yang bisa memasuki kota ini, tanpa izin dari penguasanya." Shara terdiam sejenak, membuat Jana semakin tidak sabar untuk mendengarkan informasi selanjutnya.
"Ja-jadi, benar kalau a-ku belum mati?" Pertanyaan tolol itu seketika menempati dialognya. Shara hampir tergelak mendengarnya, namun ia masih mempunyai wibawa yang tinggi untuk tidak mudah menunjukkan barisan giginya.
"Tentu saja, belum, Nona. Dunia kita bersebelahan," jawab Shara, kemudian menambah langkah untuk meninggalkan gadis itu.
Jana mulai merasakan bahwa seluruh rambut di tubuhnya meremang. Ia sudah pernah mendengar cerita tentang sebuah kota tak terlihat itu. Namun, ia tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan menginjakkan kaki di sana. Seketika ketakutan mulai merayap di sekujur tubuhnya. Ia berpikir bahwa pria yang sedang bersamanya tadi adalah sebangsa iblis atau pun jin.
"Aku ingin pulang," gumam Jana dengan nada gemetar, namun masih bisa terdengar di telinga Shara. Pria itu lantas menghentikan langkahnya.
"Tidak bisa!" tegasnya tanpa bisa diprotes lagi oleh Jana karena secepat kilat, bayangan pria itu pun tak lagi tampak di pelupuk mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Ichi
lanjut bab kuyyy 💃💃
2022-10-20
0
Ichi
kenapa tidak bisa Shara? 😤
2022-10-20
0
Ichi
Shara naksir ma Jana 🧐
2022-10-20
0