Kehidupan ini dimulai dengan terbitnya mentari pagi yang cahayanya begitu memanjakan mata hingga hati siapa pun yang menyaksikannya. Namun, tidak untuk seorang gadis manis nan tomboi satu ini. Baginya pagi adalah saatnya memejamkan mata dan bergelung dengan selimut tebalnya.
Oh, tidak!
Apakah itu sebuah kebiasaan baik bagi seorang gadis?
Eh, jangan cepat mengambil kesimpulan terlebih dahulu! Ada alasan di balik semua itu, karena ia harus melakukan semua aktifitasnya di malam hari. Ya, dia adalah seorang konten creator--yang pekerjaannya mengharuskan ia bekerja di malam hari. Sejak ayahnya meninggal dunia, dia harus mengusahakan semuanya sendiri--karena ia adalah tulang punggung keluarga. Sebagai seorang mahasiswi jurusan teknik, dia juga harus mencari uang untuk membiayai kuliah serta pendidikan adik tirinya.
Ya, dia adalah Jana Riani. Seorang yatim piatu dari kedua orang tua kandungnya sendiri, namun masih memiliki seorang ibu sambung yang baik hati. Takdir pahit dalam kehidupannya sedikit termaniskan dengan hadirnya seorang sosok wanita paruh baya yang begitu menyayanginya, walaupun ia bukanlah darah daging wanita tersebut.
Setelah mengetahui bahwa ibu kandungnya meninggal dunia, almarhum ayah Jana kembali menikahi seorang janda beranak satu. Niat hati ingin memberikan sosok ibu untuk putrinya, namun takdir hidupnya harus dicukupkan ketika itu juga. Beliau meninggal dunia saat Jana masih duduk di bangku sekolah dasar.
"Nduk ... bangun loh, ada yang nyariin kamu itu di depan," tutur lembut Bu Asri--ibu tiri Jana--seraya mengetuk pintu kamar sang putri.
Sementara di dalam kamar, Jana hanya menggeliatkan tubuhnya sekali. Hal seperti ini jarang sekali terjadi. Bu Asri sangat memahami putrinya tersebut, maka dari itu ia tidak pernah mengganggu waktu istirahat Jana, kecuali ada sesuatu yang penting seperti saat ini.
"Nduk ...!" Lagi-lagi, suara lembut itu menyerukan panggilan sayang untuk putri sulungnya. Namun, tetap saja, tidak ada jawaban dari dalam. "Julian sudah menunggu dari tadi loh, Nduk. Kasian dia."
Apa? Julian?
Setelah mendengar nama Julian, Jana langsung melanting dari kasurnya. Membuka pintu dan berlari ke ruang depan tanpa memperhatikan lagi penampilannya. "Aku udah siap kok, Jul." Dengan menyampir tas ransel kesayangannya, Jana tampak sibuk mengikat tali sepatu seraya duduk di sofa ruang tamu. Entah darimana sepatu itu ia dapatkan, yang jelas ukurannya berbeda sebelah.
Bu Asri hanya bisa menggelengkan kepala seraya menepuk keningnya, melihat tingkah semrawut sang putri yang tak pernah peduli dengan yang namanya penampilan. Sejak menjadi ibu sambung Jana, Bu Asri sudah paham betul dengan perangai dan karakter anak sambungnya itu.
"Nak Julian, tehnya diminum dulu, ya. Biarkan Jana mandi, dan bersiap-siap dengan benar," ucap Bu Asri seraya mengelus pundak Jana dan membawanya berdiri. Gadis itu tampak tak membantah. Ia mengikuti langkah sang ibu yang membawanya kembali masuk ke dalam kamar. Sepertinya kesadaran Jana belum kembali sempurna, karena efek bangun tidur. Sedangkan Julian, dia hanya bisa mengulas senyuman seraya menyesap manisnya teh hangat yang sudah disediakan oleh Bu Asri.
...🌀🌀🌀...
"Kamu udah kerjain outline-nya?" tanya Julian saat mereka tiba di depan gerbang kampus.
"Udah dong, Jul. Kamu pikir aku kesiangan kayak begini karena nonton drama telenoveli?" sungut Jana sembari membuka pintu mobil sahabat kecilnya itu. Julian hanya menggeleng pelan sebagai tanggapan. Dia memang kerapkali menjemput Jana jika hendak berangkat ke kampus, lalu mengantarnya pulang ketika gadis itu selesai kuliah.
"Jul, nanti kamu tidak perlu menjemputku!" tegas Jana ketika bibir Julian hampir saja menanyakan jam kepulangannya. Seolah paham dengan ekspresi tanya yang terlukis di wajah sahabatnya itu, Jana langsung memperjelas kalimatnya. "Mau ngerjain revisian sama temen di perpustakaan daerah." Setelah mengatakan hal itu, Jana langsung turun dari mobil dan menutup kembali pintunya.
Wajah Julian tampak sedikit kecewa, pasalnya Jana sudah melupakan satu hal. Namun, ekspresinya langsung berotasi seratus delapan puluh derajat, ketika gadis itu kembali berlari dan mengetuk pintu mobilnya. Pria tampan berkulit putih itu pun langsung menurunkan kaca mobilnya.
"Terima kasih Pangeran Kecilku yang baik hati." Setelah mencubit gemas kedua pipi Julian, Jana kembali berlari memasuki gerbang. Julian tersenyum senang.
"Selamat berjuang Kupu-kupu Kecilku, semoga semua mimpimu lekas menjadi nyata. Aku yakin tak lama lagi toga itu pasti akan bertengger di puncak kepalamu," lirih Julian sebelum akhirnya menginjak pedal dan melajukan mobil menuju ke kantornya dengan senyuman bangga.
Bagaimana tidak? Julian adalah sosok tunggal dan terdekat yang sudah menyaksikan sendiri bagaimana kegigihan Jana dalam menjalani berbagai ujian dalam kehidupannya. Selain jarang sekali mengeluh, gadis itu juga selalu saja terlihat ceria, walaupun sebenarnya ada banyak beban yang bertengger di kedua pundaknya.
Seringkali pria itu menawarkan bantuannya untuk mencukupi kebutuhan financial Jana, namun selalu saja ditolak. Jana tak ingin hidup dari belas kasihan orang lain. Sebagai manusia normal dan tidak cacat, dia masih mampu bekerja walaupun harus menukar waktu siang dan malamnya.
Namun, sebagai seorang sahabat, Julian juga tak ingin lepas tangan begitu saja. Berbagai cara ia lakukan untuk terus memantau kehidupan gadis itu agar senantiasa aman dan tidak kekurangan, walaupun harus menggunakan tangan orang lain. Pastinya, tanpa sepengetahuan Jana. Bukan niat untuk menjatuhkan mentalnya, namun lebih kepada peduli kepadanya. Selain memegang amanah dari almarhum ayah Jana, Julian juga sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan selalu ada untuk gadis yang dijulukinya sebagai Kupu-kupu Kecil itu.
...🌀🌀🌀...
"Selamat pagi, Pak."
Sapaan rutin itu selalu diberikan kepada Julian oleh sekretaris pribadinya. "Pagi, Bari." Julian menyahuti, lalu masuk ke dalam ruangannya--diekori oleh Bari.
"Apa jadwal hari ini begitu padat?" tanya sang atasan setelah mendudukkan diri di atas kursi kebesarannya. Sebagai seorang Direktur Utama di perusahaannya, Julian tidak ingin kewajibannya menjaga Jana terabaikan karena pekerjaan.
Sebegitu berhargakah seorang Jana untuk Julian?
"Tidak, Pak. Hanya ada makan siang bersama perwakilan dari Perusahaan Adidaya, sekaligus penandatanganan kontrak kerjasama," papar Bari seraya memegang tablet pintar dalam genggamannya.
"Baik, kalau begitu, nanti siang kamu temani saya!" titah Julian, lalu meminta Bari kembali ke mejanya.
Sepeninggalan Bari, Julian langsung fokus pada beberapa berkas yang sudah tersusun rapi di atas mejanya. Seperti biasa, Bari sudah menyiapkan semua itu sebelum dirinya tiba di kantor. Berkas-berkas penting yang memerlukan tanda tangan seorang pimpinan itu, dibaca Julian dengan teliti sebelum membubuhkan tinta hitam sebagai tanda persetujuan darinya.
Di saat sedang berkonsentrasi dengan pekerjaannya, tiba-tiba ponsel Julian berdering menandakan ada panggilan masuk. Diraihnya benda pipih yang sempat ia letakkan di atas meja tadi, lalu menggeser tombol hijaunya ke atas.
"Ada apa, Ma?" Dengan nada panik Julian bertanya. Pasalnya sang mama hanya terisak di saat pertama kali Julian menerima panggilan.
"Ma, halo?" Julian mulai berdiri dan terbawa suasana. Jantungnya langsung berdetak tak beraturan, karena wanita yang sudah melahirkannya itu tak juga mengatakan sepatah kata pun.
"Jul, sebaiknya kamu langsung ke rumah sakit sekarang! Penyakit oma kumat lagi," tutur papa Julian setelah berhasil mengambil alih ponsel istrinya.
"Oma? Baik, Pa. Aku langsung ke sana sekarang."
Dengan gerak cepat Julian langsung meninggalkan ruangannya, setelah memberitahu Bari duduk perkaranya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Ichi
bagus ceritanya 😍
lanjut baca 💃💃
2022-10-19
0
Ichi
beruntung ya dapat ibu tiri yg baik 🙄😍
2022-10-19
0
Ichi
semangat Jana 💪🏿💃
2022-10-19
0