Gwen membereskan tumpukan kertas yang ada di mejanya, lalu menyapukan saput bedak di wajahnya, memoles bibirnya dengan lipstik nude yang ia temukan di meja rias Laura. Kemudian mematikan layar monitor komputer miliknya. Tepat di jam pulang kantor. Winda yang masih memencet keyboardnya, menatap kelakuan temannya di seberang. Ia heran, tumben Laura pulang secepat itu.
"Tumben Lo? Ada janji kencan ya?" Tanya Winda heran.
Gwen baru sadar, jika masih ada Winda di ruangan itu. Ia tertawa mendengar pertanyaan Winda.
"Gue mau balik cepat, keburu macet nanti."
"Dengan berdandan?"
"Emang dandan sepulang kerja ga boleh ya?" Gwen dengan santai masih menyapu bedak.
Winda tersenyum mendengar jawaban temannya itu.
Sejak pulang dari rumah sakit, banyak terjadi perubahan pada Laura. Ia sangat hapal kebiasaan Laura selama ini, sangat cuek, bahkan gila kerja. Laura bisa lembur hingga malam, bahkan menyelesaikan pekerjaan untuk kantor cabang.
Bu Sisil sering memberi pekerjaan di luar pekerjaannya ini, itulah mengapa kadang Laura bisa lembur. Tapi kompensasinya lumayan, Laura tetap mendapat upah tambahan dari pekerjaannya itu. Kadang Winda sedikit iri dengan Laura, namun Laura itu baik, saat ia dapat uang tambahan, ia selalu mentraktir Winda dan Alan.
Laura juga anti gosip, dia akan bersikap datar dan biasa saja menanggapi gosip mengenai orang kantor, berbeda dengan yang tadi pagi, saat Winda bercerita tentang Katrin, Laura dengan ekspresif mendengar bahkan mengomentarinya.
Gwen menatap mobil yang sering ia lihat di jalanan, Honda Brio berwarna hitam milik Laura. Ia menghela napas, masuk ke mobil, lalu mengendarainya. Menembus jalanan yang mulai macet, menuju kantor pengacara tempat Ben bekerja.
Gwen sering ke kantor Ben, bukan cuma sekedar ingin bertemu kekasihnya, namun juga urusan beberapa pekerjaan. Beberapa perjanjian kontrak kerja dipercayakan pada Ben.
Sore itu parkiran tampak sepi, Gwen mendapat tempat tepat di depan kantor Ben. Ia turun dari mobil, dan menaiki anak tangga menuju ruang resepsionis. Biasanya ia akan langsung menuju ruangan Ben, namun kini ia sebagai Laura, tidak mungkin ia dapat dengan mudah lenggang kangkung masuk ke ruangan Ben.
Seorang perempuan cantik menyambut kedatangan Gwen di meja resepsionis.
"Selamat sore, bisa saya bantu Bu?" Sapa ya.
"Saya mau bertemu dengan Ben?" Jawab Gwen.
"Maaf Bu, Pak Ben sedang cuti saat ini. Ada yang pesan yang ingin disampaikan?"
"Oh.." Gwen sedikit kecewa, tergambar jelas di raut wajahnya. Resepsionis itu sepertinya mengetahui Gwen tampak kecewa.
"Pak Ben sedang mengurus pemakaman tunangannya, artis Gwen itu. Jika penting Ibu dapat menghubunginya langsung, biasanya selalu dibalas kok Bu. Ini kartu nama Pak Ben." Resepsionis tadi menyerahkan selembar kartu nama pada Gwen. Gwen menerimanya " Terima kasih."
"Sama sama Bu."
Gwen melangkah keluar dari gedung itu, menuju mobilnya. Menghempaskan pantatnya di belakang kemudi sambil menghela napas.
Ia mengarahkan mobil ke rumah Laura. Jalanan sudah macet, namun masih bisa jalan. Gwen menyalakan radio untuk menemaninya sepanjang perjalanan menembus kemacetan.
Sesampainya di rumah, ia memarkir mobil, lalu menuju kamar mandi, ia merasa lelah sekali. Ia mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Terasa sangat segar, rasa perihnya sedikit hilang.
Ia berdiri di depan lemari pakaian Laura, mengambil daster batik, lalu menyisir rambutnya.
Gwen menuju dapur, ia baru sadar jika dia sendiri saat ini. Lisa belum pulang.
Gwen membuka kulkas, entah secara refleks ia mengambil sepotong daging, wortel, kol, cabe, telur, daun bawang, beberapa butir bakso, dan bawang merah putih. Tangannya dengan lincah mengambil beras, lalu memasukkan ke magic com.
Ia mengiris bawang dan aneka bahan makanan tadi dengan lincah, menumis ya, entah bagaimana dia dapat melakukan itu semua. Kebiasaan dan ingatan Laura masih tertanam di otaknya, ia bersyukur dapat memasak.
Aroma masakan tercium ke segala penjuru, membuat perut Gwen meronta-ronta.
Ia mencicipi masakan itu, dan takjub dengan apa yang dibuatnya. Jika Gwen yang memasak, pasti rasanya akan berbeda dengan yang ini.
Ia meletakkan ca daging otak arik ke mangkuk, meletakkan di meja makan. Ia membuka kulkas kembali, dan melihat ada dimsum Frozen, lalu memasukkan ke dalam kukusan sembari menunggu nasinya matang.
Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah, Gwen menuju ruang tamu, mengintip dari balik tirai jendela. Terlihat Lisa mengeluarkan koper dan kotak dari bagasi mobil itu.
Gwen membukakan pintu menyambut kedatangan Lisa. Mereka masukkan bawaan Lisa ke dalam rumah.
"Gwen, sepulang dari makam, gue dan Anita beres beres di apartemen Lo. Kata Madam, gue dan Anita boleh ambil make up dan pakaian Lo. Jadi gue ambil aja make up dan beberapa syal milik Lo, sama jaket yang jarang Lo pake, yang kata Lo 'Bukan diri gue banget'. Sama ini, gue rasa ini akan mempercantik tampilan rumah ini." Lisa memberikan sebuah pot anggrek berwarna hitam dan biru pemberian Ben.
"Wow... Akhirnya, aku juga sempat khawatir mereka akan mati kekeringan di sana." Gwen memeluk pot anggrek kesayangannya. Ia meletakkan di meja dapur, di dekat wastafel.
"Ayo makan dulu, gue masak loh!" Gwen menarik lengan Lisa, dan menyuruhnya duduk di kursi makan.
Lisa bengong melihat di meja makan, sudah ada nasi, semangkok sayur, dan dimsum plus sambalnya.
"Ini Lo ya masak? Gue ga percaya! Pasti Lo pesan online kan?" Lisa menggeleng kepalanya.
"Tuh liat, panci bekas masak masih di wastafel, belom gue cuci!" Gwen menunjuk ke tumpukan panci kotor di wastafel.
Lisa mencomot dimsum dan mencocolnya ke sambal, "Hmm... Enak!!" Lisa mengambil piring, menyendok nasi dan sayur, langsung menyantapnya. Suapan pertama matanya langsung melotot pada Gwen seolah tak percaya.
"Ini beneran Lo bukan sih? Yang gue tau, Gwen itu masak air aja bisa gosong, lah ini dia masak begitu enaknya serasa buatan chef di restoran!" Lisa masih tak percaya.
"Gue juga ga yakin, tapi entah kenapa, saat di dapur otak dan tangan gue refleks langsung bekerja. Mungkin ini kebiasaan Laura." Gwen menghela napas.
"Ya. Oya, Gwen, bisakah aku tinggal di sini sementara, sebelum gue dapat kost baru." Tanya Lisa hati hati.
"Woi... Tinggal aja di sini bareng gue, gak perlu kost. Lagian masih ada satu kamar kosong nganggur, gue ngeri kalo tinggal sendirian."
"Jujur, saat gue beresin barang barang gue tadi, ga tau mau ke mana, balik ke rumah bokap ga mungkin, cari kost baru, musti cek n ricek, yang ada di kepala gue ya ke sini."
"Nah itu dia, hati Lo aja sudah di sini, ngapain cari tempat lain?"
"Dari dulu gue selalu merepotkan Lo, saat gue ada masalah pasti Lo selalu bantu gue. Saat gue di bully, Lo selalu pasang badan bela gue. Sekarang secara teknis Lo sudah ninggal, gue masih merepotkan Lo."
"Badan gue memang sudah masuk tanah, jujur saat melihat peti dimasukkan ke liang kubur, hati gue berontak, rasanya gue pingin teriak, bilang jangan.. gue masih hidup! Gue ga rela. Tapi, setelah gue merenungkan, Tuhan itu baik, masih memberi kesempatan buat gue untuk melakukan banyak hal, meskipun dengan tubuh orang lain." Gwen menatap Lisa.
"Kita buat penghormatan buat Lo malam ini. Penghormatan buat kematian dan kelahiran Lo kembali." Ucap Lisa bersemangat.
"Penghormatan juga buat Laura!"
Mereka mengangguk bersama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments