Chapter 19

"Rayshiva Elvano Atmaja, bagi yang merasa namanya Rayshiva Elvano Atmaja, segera menemui Bu Heni yang ada di sebelah sana itu ya, silakan yang namnay Rayshiva bisa berdiri." Rashi yang dipanggil pun merasa bingung, namun karna dia yakin tak melakukan kesalahan, dia akhirnya bangit dari duduknya dan keluar dari barisan untuk menemui guru itu.

"Adlan Dicky Firmansyah, yang namanya Adlan Dicky Firmansyah bisa menemui Bu Heni juga." Rania masih terfokus dengan Abangnya yang dipanggil, namun gadis itu langsung menoleh cepat saat anak yang ada di sebelah Rania berdiri. Rania tidak tahu mengapa anak itu berdiri karna Rania tak memperhatkan OSIS itu lagi setelah abangnya berjalan menemui guru yang dimaksud.

"Wah, ternyata namanya Rashi? Gila, namanya unik banget, gak nyangka Gue namanya bisa keren gitu, kayak orangnya." Rania bisa mendengar bisik – bisik itu, namun dia memilih untuk mengabaikan mereka, toh yang mereka tahu Rashi sudah memiliki kekasih, jadi abangnya itu akan aman dari kejaran 'kebun cabai' yang ada di sini.

Rania bisa melihat Rashi dan anak itu pergi dari sana sementara dirinya kembali melanjutkan acara. Ternyata Rashi tidak kembali sampai MOS hari terakhir itu selesai dan dia harus menunggu Abangnya itu di gerbang bersama dengan supir yang menjemput mereka. Rania sangat bosan karna Rashi tak kunjung keluar, bahkan ponselnya tak bisa dhubungi sama sekali.

Sampai akhirnya Rania melihat sosok Rashi yang berjalan tenang dari dalam sekolah, Rania melihat sosok itu setelah dua jam lamanya menunggu. Rania merupakan adik yang sabar bukan? Dia bahkan tidak mengumpat atau marah pada kakaknya, dia hanya menghabiskan waktu mnonton film yang ada di ponselnya.

"Disuruh apa sama guru tadi? Kok Muka Abang gitu banget sih?" tanya Rania karna wajah Rashi sangat kecut. Namun lelaki itu sama seklai tak menjawab Rania, malah meminta Rania untuk diam dengan gesturnya. Rashi dan Rania akhirnya pergi dari sana dengan hening, tanpa pembicaraan sama sekali di antara mereka.

"Weeeitsss. Ini Dia dua kembaran Gue yang cakepnya jauh di bawah Gue. Kalian apa kabar di sekolah kalian? Kok wajahnya kayak gitu? MOS diperpanjang sampai tahun depan?" baru saja mereka melangkah hendak masuk ke dalam rumah, sebuah motor berhenti di hadapan mereka dan menyapa mereka dengan ceria. Rania bahkan sampai memasang wajah paniknya saat ini.

"Berisik." Rashi langsung masuk ke dalam rumah setelah mengatakan hal itu. Ravi yang dimarahi tanpa sebab tentu menjadi bingung. Dia menaikkan alisnya, bertanya pada Rania, yang dijawab gelengan kepala oleh Rania. Ravia sendiri sampai bergidik melihat kembarannya yang menyeramkan itu. padahaal mereka satu perut, dan dilahirkan di waktu yang nyaris bersamaan. Namun sikap dan sifat mereka jauh berbeda.

"Yah, tetap ganteng, baik, manis, imut dan moodmaker Gue sih daripada Abang Lo itu." itulah yang selalu dikatakan oleh Ravi di hadapan Rania jika mereka membahas masalah kembar. Rania sendiri memilih idak berdebat dengan kakak kembarnya itu atau dia sendiri yang akan merasa pusing.

*

*

"Lo tuh kenapa sih? Dari tadi siang kayak kalah Lotre aja mukanya, gak asik banget dilihat." Akhirnya Ravi merasa kesal melihat wajah dingin Rashi. Mereka sedang duduk di ruang TV, namun wajah Rashi seperti seorang tahanan perang yang ingin segera pergi dari sana. Ravi lupa di sana ada mamanya yang juga senang menonton TV

"Harus berapa kali mama Bilang sih? Kamu gak boleh Lo- Gue an sama Rashi. Dia kakak kamu loh, kamu yang sopan, mama gak pernah ajarin kamu gitu loh," ujar Luna dengan nada tegas yang dibuat – buat. Ravi pun menyengir dan mengelus lutut Luna agar Mamanya itu tidak cemberut lagi.

"Apa kamu pegang – pegang Mama? Mau Mama aduin Papa?" Ancam Luna yang membuat Ravi langsung melepaskan tangannya dan memasanh wajah lucu seakan dia sedang diintimidasi. Rania yang sudah biasa dengan pemandangan itupun hanya cuek dan tidak menoleh sama sekali.

"Kalau Papa yang gitu aja, Mama senyum –senyum cantik kayak bidadari, kalau aku yang gitu kok wajahnya malah jadi…" Ravi tak berani melanjutkan kalimatnya saat Luna menatapnya dengan Intens bahkan tak berkedip. Lelaki itu langsung menyengir dan meminta damai pada Luna, lalu fokusnya kembali lagi pada Rashi yang masih sama seperti tadi.

"Kamu ada apa? Ada masalah di sekolah? Gak betah? Mau pindah aja? Kalau mau pindah nanti Mama yang ngomong ke Papa kamu," ujar Luna yang malah membuat Ravi berbinar. Lelaki itu langsung duduk di sebelah Luna ( yang tadinya dia duduk di karpet yang ada di lantai.

"Ravi Ma, Ravi mau pindah. Di STM anaknya gak ada yang cantik. Ravi sampai suntuk banget Ma lihatnya. Padahal ekspetasi Ravi tuh kalau di STM ketemu cewek yang cantik kayak mama terus nanti ceritanya sweet kayak mama papa gitu, aku udah baca semua episode di season satu loh."

"Kamu tuh ngomong apa sih? Kok daritadi ngaco banget? Mama lagi ngomong sama Rashi, kamu diam dulu, nanti kalau mama gemas kamu malah mama kunciin di kulkas loh. Mau kamu jadi daging beku?" ancam Luna dengan nada bercanda. Ravi kembali cemberut dan memerosotkan diri ke karpet lalu menyenderkan dirinya ke sofa tanpa berkomentar lagi.

"Niatnya Rashi mau masuk ke SMA itu biar Ravi gak menonjol. Ravi mau jadi anak yang biasa – biasa aja, lulus dengan biasa – biasa aja, tapi ternyata malah Rashi diminta langsung sama Guru buat ikut kelas olimpiade matematika dan sains sekaligus jadi peserta tetapnya. Rashi kesal."

Luna cukup terkejut dengan Rashi yang berbicara panjang saat kesal. Biasanya anak itu memilih tidak bercerita atau hanya meneritakan secara inti. Rania dan Ravi pun menoleh bersamaan dan memastikan apa yang dikatakan oleh Rashi bukanlah gurauan. Ikut di kelas sains merupakan kebanggaan tersendiri, mengapa Rashi malah merasa enggan?

"Tapi Rashi udah terlanjur menyanggupi guru itu kanra Guru itu sampai mohon – mohon, gak ada perwakilan buat bagian sains, dan guru itu lihat di nilai ujian nasional sama ujian sekolah Rashi, Rashi kan dapat nilai 100 di pengetahuan, tahu gitu Rashi salah – salahin aja biar gak kelihatan pintar." Ravi berdecak dan menggelengkan kepalanya, takjub dengan abangnya yang tak waras jika kesal.

"Bahkan Rania pengen punya otak sepintar Bang Rashi. Apalah Rania kalau bukan bahsa Indonesia sama Bahasa Inggrisnya 100 pasti gak bisa masuk ke SMA Sanjaya. Buat apa nilai IPA Matematika Cuma 60?" Ravi langsung bangkit berdiri dari sana setelah Rania selesai bicara.

"Terus! Terus - terusin aja kalian semua pamer ada yang dpaat nilai seratus. Sana pamer – pamerin juga ke Masjid komplek biar satu perumahan ini tahu." Ravi langsung pergi dari sana dengan kesal. Bahkan dia menghiraukan panggilan Luna yang memintanya kembali. Ravi memang sangat sensitif mengenai nilai, dan akan kesal jika mereka membahas nilai ujian nasional mereka.

"Padahal di antara kita bertiga, nilai total yang paling tinggi itu dia loh. Itu pun dia sengaja kan jawab pertanyaanya disalahin biar nilainya gak seratus dan gak usah ikut acara penghargaan waktu wisuda?" tanya Rania saat mengingat kembali kejadian itu.

Rashi mendapat nilai 100 di mata pelajaran IPA, namun mata pelajaran lain dia cukup buruk dan hanya mendapat 70-80. Begitu juga Rania yang sangat buruk di materi angka. Namun Ravi, lelaki itu mendapat nilai semua mata pelajaran 90-95. Dia bahkan tahu total nilainya sebelum pengumuman kelulusan. Ravi itu paling cerdas di antara mereka, namun dia yang paling malas dan seenaknya sendiri.

"Yah, kalau dia tahu yang nilainya 100 dapat hadiah dari papa kalian, pasti dia bikin nilainya sempurna tuh. Makanya dia kesal sampai sekarang kalau bahas itu, Cuma dia yang gak dapat hadiah dari papa kalian," sahut Luna yang juga merasa geli sekaligus kasihan pada Ravi, bahkan saat itu Darrel sanagat tega tidak memberi Ravi hadiah sebagai hukuman Ravi main – main dengan ujiannya.

"Eh, yang masalah tadi. Kalau kamu mau dengar saran Mama, kamu jalani aja dulu, semisal kamu benar – benar gak cocok atau gak betah, ya kamu mundur. Setidaknya kan mereka lega kamu udah mau nerima mereka, walau akhirnya keluar karna gak cocok," ujar Luna yang membuat Ravi terdiam dan berpikir.

"Iya sih ma, ya udah deh Rashi ambil dulu aja, tapi kalau nanti akhirnya Rashi keluar, Mama sama Papa jangan kecewa sama Rashi ya?" tanya anak itu yang membuat Luna tertawa, mengapa anaknya emmiliki pikiran seperti itu?

"Mana mungkin Mama kecewa sama anak – anak mama yang super ini. kalian semua cerdas dan berbakat dibidang yang berbeda. Sejak dulu kan mama sama papa juga udah bebasin kalian mau kemana, mau ambil apa. Asal kalian bertanggung jawab sama keputusan kalian, Mama sama Papa akan selalu dukung dan bangga sama kalian."

Mereka tersenyum dalam suasana haru. Namun barus aja suasana itu tercipta beberapa menit. Suara possel yang cukup keras membuat perhatian mereka teralihkan. Ternyata anak yang tadi pergi kini sudah kembali, dengan wajah melas sekaligus kesal sampil membawa benda elektronik yang berbunyi itu.

" Mama, Mama cantik baik kayak Ibu peri. Bantuin Ravi ya Ma, Ravi udah pusing banget ini daritadi ponselnya bunyi terus." Luna yang masih belum paham maksud anak itu hanya diam sambil memandangi ponsel anaknya yang terdapat nama 'Kirana'.

"Kamu udah punya pacar? Kamu masih masuk beberapa hari itu udah punya pacar lagi? Astaga nak, kamu itu, jangan tiru ibumu ini nak, sekolah dulu yang bener paling gak satu semester, baru deh tuh mikirin pacar." Ravi mengelengkan kepalanya dan melambaikan tangan, tidak membenarkan pernyataan Luna. Lelaki itu memberikan ponselnya pada Luna dan membuat Ibunya itu menjadi bingung harus melakukan apa.

"Tadi siang itu ada Kakak Kelas yang datangin Ravi, terus dia ngajakin kenalan, ya Ravi mau aja karna ditraktir batagor sama dia, sebagai gantinya Ravi kasih nomor Ravi. Sekarang Ravi pusing karna dia nelpon terus Ma, tolongin Ravi."

"Ini Mama harus tolong apa? Mama kan juga gak tahu."

"Ya Mama bilang gitu kalau Ravi udah dikutuk jaadi batu, atau Ravi udah dijodohin sama orang, satu minggu lagi nikah. Jadi tuh anak gak usah gangguin Ravi lagi. Ya Ma? Ya?" bujuk Ravi yang tak disetujui oleh Luna. Luna membiarkan nomor itu berhenti menelpon dan memasukkan nomor itu ke daftar blokir. Untung dia pengalaman dibidang ini saat dulu masih sekolah dan banyak yang menerornya.

"Lagian kamu jual nomor cuma demi batagor. Emang uang yang dikasih Papa kamu kurang?" tanya Luna sambil meengulurkan kembali ponselnya ke arah Ravi.

"Ya enggak Ma, tapi kan kalau dibeliin lebih enak, terus juga uang Ravi utuh, ya Ravi mah he'em aja waktu dia minta tukar nomor. Gak nyangka ternyata dia gila dan nelponin Ravi terus. Mending Ravi bayar batagor segerobaknya deh tadi."

Luna menggelengkan kepalanya dan memijit pelipisnya dengan pelan. Entah anak siapa Ravi itu, bahkan Dia dan Darrel tak pernah 'semurah' itu dulu, terlebih Darrel yang memiliki nomor privasi khusus, berbeda dengan Ravi yang membiarkan nomor tersebar demi satu porsi batagor, sangat tidak masuk akal.

"Mama, mama jangan jantungan. Kalau mama jantungan nanti saipa yang puji Ravi dan bilang Ravi paling ganteng? Kan Rashi sama Rania gak mau ngaku."

"Ah tauk ah, terserah kamu. Pusing Mama punya anak ajaib kayak kamu. Ngidam apa coba dulu kok keluarnya begini?" tanya Luna dengan nada bercanda, dan mampu membuat mereka tertawa melihat wajah frustasi Luna memiliki anak seramai dan semenakjubkan Ravi.

Terpopuler

Comments

lala

lala

apalah dayaku yg dapet nilai UN nya pas pas an

2020-07-13

2

Hanin

Hanin

lanjuuuut,seru abis.good job thor, semangat nulisnya ya

2020-06-19

1

Anastasia

Anastasia

mampir lagi kak 😁
semangat buat up 😉
ditunggu kelanjutan ceritanya 😊

2020-06-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!