Chapter 14

Luna sedang menunggui Rania yang mengerjakan tugasnya. Rania mengerjakan PR bersama Rashi, sementara Ravi hanya menonton dan menyalin apapun yang ditulis oleh Rania. Berulang kali Luna menegur sikap Ravi, namun anak lelakinya itu beralasan dia melihat cara Rania mengerjakan dan menurutnya itu benar, sesuai dengan opininya. Alasan itu tentu membuat Luna menyerah.

"Kamu kalau ngerjain tugas atau PR boleh nyontek. Iya, diskusi maksud mama. Tapi kalau lagi ulangan atau ujian, kamu harus ngerjain sendiri, kamu gak boleh nyontek, apapun hasilnya, itu harus dari usaha kamu sendiri," ujar Luna menasehati Ravi. Luna khawatir dengan masa depan pendidikan anaknya yang satu itu, anak itu terlihat santai dan tak memikirkan pendidikan sama sekali.

"Kan Ravi udah ada usahanya Ma, Ravi usaha buat lihat jawaban teman Ravi, benar kan?" tanya Ravi yang membuat Luna memandangnya, bukan pandangan yang menyeramkan, namun Ravi tahu itu adalah ancaman secara tak langsung yang diberikan oleh mamanya. Dia memang tak pernah dimarahi, namun dia tahu kapan Luna 'marah' padanya.

"Kak Ravi gak pernah nyontek kok Ma, kemarin ulangan kak Ravi Cuma ngerjain sebentar tersu tidur. Bahkan Rania sama bang Rashi belum selesai, tapi kak Ravi udah nyenyak tidurnya," ujar Rania yang berhenti menuli, membuat kedua anak lelaki itu juga berhenti menulis. Luna memindahkan pandangannya ke Ravi untuk meminta penjelasan.

"Kan Ravi gak nyontek. Ravi Cuma mengerjakan yang menurut Ravi benar, semua juga Cuma mengulang, gak susah," ujar Ravi seperti anak kecil, memang dia masih kecil sih. Mungkin karna Luna dan Darrel mendidik anak – anak itu untuk menjadi dewasa, tingkah mereka malah jauh lebih dewasa dari seharusnya. Entah Luna harus bangga atau takut akan hal itu.

"Ya udah, ya udah, yang penting kalian semua jujur waktu ujian. Mama gak akan marah kalau memang kalian tidak bisa dan mendapat nilai jelek atau bahkan harus mengulang. Selama itu masih hasil maksimal yang kalian berikan, Mama tetap bangga sama kalian," ujar Luna yang mengelus kepala ketiganya dan beranjak dari sana untuk mengambil camilan.

"Mama, Mama, Ma ada tamu." Luna yang baru saja selesai memototng pudding langsung keluar dari dapur dan menghampiri anak – anaknya. Luna elihat seorang wanita dewasa tersenyum sambil membawa bingkisan untuknya. Luna langsung meletakkan pudding yang dia bawa ke meja dan menyambut tamu itu.

"Selamat siang, maaf kalau kedatangan saya mengganggu. Saya baru aja pindah dari rumah sebelah. Saya mau berkenalan dengan tetangga – tegangga yang ada di sini," ujar wanita itu yang membuat Luna tersenyum dan menyambut tangan yang terulur itu. Luna sedikit canggung dengan kedatangan orang itu.

"Padahal di lingkungan sini saya juga gak kenal siapa – siapa loh, soalnya orang di sini memang individu lepas individu. Saya senang ada tetangga yan gmau komunikasi seperti ini, saya jadi ada temannya," ujar Luna sambil tertawa, orang yang ada di hadapannya juga terkekeh mendengar hal itu.

"Yang saya takutkan juga seperti itu Bu, saya takut kalau tetangganya gak menerima saya dengan baik. Untungnya saya ke rumah Ibu yang ramah ini, terima kasih sudah menyambut saya sebagai tamu," ujar orang itu yang masih terdengar canggung, Luna sendiri tak mempermasalahkan kedatangannya dan malah senang, apalagi Luna melihat seorang anak lelaki yang 'berisi' bersama orang itu.

"Gak usah panggil Bu, panggil saya Luna aja. Saya juga masih muda kok, emang langsung melahirkn anak tiga aja jadi kelihatan tua," ujar Luna yang membuat orang itu terkejut. Orang itu memandang ketiga anak yang sedang mengerjakan tugas masing – masing, dia kira ketiga anak itu kakak adik, ternyata saudara kembar.

"Wah, pantas aja wajahnya mirip ya, saya kira Cuma kakak adik aja. Wah, Dicky ada temannya banyak. Sana kamu kenalan sama teman baru kamu," ujar orang itu yang meminta anaknya untuk mendatangi ketiga anak itu. Anak yang bernama Dicky itu menurut dan langsung menghampiri ketiga anak Luna.

"Loh, kamu kan anak cantik yang jadi teman latihan renang aku. Wah, ternyata kita tetangga, kita bisa sering ketemu dan aku bakal jagain kamu. Aku suka sama kamu." Rania langsung mendongak dan memandang kaget anak itu, namun sesaat kemudian Rania menjadi takut melihat anak itu.

"Kamu siapa? Kamu kenal sama adik aku?" tanya Rashi dengan tatapan aneh dan curiga, Ravi juga menatap orang itu dengan tatapan sinis dan marah. Seberapa cueknya Ravi dengan abang dan adiknya, dia juga akan merasa tak nyaman jika orang lain mengusik adiknya. Kan hanya dia yang boleh membuat adiknya menangis.

"Namaku Kiky, aku teman les renangnya Rania. Dia cantik, aku suka cewek yang cantik. Aku bakal jadi teman Rania dan aku mau jaga dia." Luna melongo melihat pernyataan anak kecil yang tak sesuai dengan dugaannya. Baru pertama kali Luna melihat anakSD menyatakan rasa sukanya kepada lawan jenis dengan begitu santai dan gentle.

"Rania gak mau temenan sama kamu. Rania gak mau punya teman kayak kamu," ujar Ravi yang langsung berdiri dan menarik tanagn Rania, melihat respon tak sopan itu, Luna langsung memangil Ravi dan Rania agar mereka tidak pergi dari tempat itu. Ravi pun menatap Luna dengan tatapan kesal sekaligus memelas dalam waktu yang bersamaan.

"Mama gak pernah ajarin kamu buat bersikap kayak gitu ya kak. Kakak gak boleh kayak gitu ah sama temannya, sini kenalan dulu, Dicky itu anak baik kok," ujar Luna yang membuat Rashi berdiri dan tersenyum pada Dicky lalu meminta anak itu belajar bersama dia sebentar.

"Wah, ternyata kamu anak yang pintar. Aku suka teman yang pintar. Aku mau jadi teman kamu." Luna langsung menggaruk pelipisnya melihat tingkah Ravi yang membuatnya malu di hadapan Ibu Dicky. Ibu Dicky sendiri memaklumi hal itu dan membairkan mereka bermain sementara dia mengobrol dengan Luna. Rashi melihar Rania yang tak nyaman sejak kedatangan orang itu.

"Kamu gak suka sama dia? Dia nakal sama kamu?" tanya Rashi yang diajwab gelengan kepala oleh gadis kecil itu. Rania langsung diam saat Prnya sudah selesai sementara Ravi yang tadi tidak menyukai Dicky malah sekanrang dengan bahagia bermain dengan anak itu. Ravi memang seperti itu, mencari teman yang menguntungkannya.

"ck ck ck, bahkan jiwa bisnisnya sudah tampak saat usianya amsih semuda ini. Darah papanya memamng mengalir deras di DNA anak itu," ujar Luna pelan dan menggelengkan kepalanya. Ibu Dicky sendiri hanya terkekeh dan menonton anak – anak sedang ribut sendiri. Lebih tepatnya Ravi yang heboh bermain dengan Dicky.

"Dicky, ayo pulang, bentar lagi sore," ujar Mama Dicky namun tidak digubris oleh anaknya karna mereka masih sibuk bermain, entah apa yang mereka mainkan. Luna hanya memainkan boneka di masa kecilnya, dia tak tahu mainan anak – anak yang seperti itu, itu pun karna Darrel yang membelikan mereka.

"Dicky masih senang banget tuh mainnya, biar dia main di sini dulu aja," ujar Luna yang membuat tetangga barunya itu merasa tak enak, namun Luna mengatakan itu bukan masalah hingga akhirnya tetangganya itu meninggalkan Dicky untuk bermain sementara dia kembali ke rumah karna masih banyak hal yang harus dikerjakan sebelum suaminya pulang.

"Rania, ayo kita main, ayo kita main," ujar Dicky yang menarik tangan Rania, namun tarikan itu tidak memaksa dan tidak membuat Rnaia kesakitan, namun Rania merasa takut dan risih dengan apa yang dilakukan oleh Dicky, sementara Ravi dan Rashi hanya memandang keduanya saja, mereka tahu Dicky anak baik, jadi membiaarkan saja orang itu mendekati Rania.

"Gak mau, Rania gak suka main sama anak cowok," ujar Rania yang membuaar Dicky menjadi bingung.

"Tapi kamu main sama mereka, mereka berdua kan cowok," ujar Dicky yang tak bisa dibantah oleh Rania. Dicky memang cerdas, dia bahkan tak menyerah untuk mendapatkan perhatian Rania.

"Gak mau, kamu jelek, kamu gendut, mereka gak gendut. Aku gak suka main sama cowok gendut," ujar Rania yang langsung berdiri meninggalkan mereka semua. Tampak sekali wajah terlukaa yang ditunjukkan oleh anak kecil itu. Anak kecil itu terdiam dan melihat perutnya yang bulat, namun kemudian dia tertawa saat Ravi dan Rashi menatapnya kasihan.

"Maaf ya, Rania kasar sama kamu. Dia gak bermaksdu kok, dia emang gak pernah main sama anak cowok selain kakak – kakaknya. Gak usah dipikirin ya," ujar Luna mengelus kepala anak kecil itu. anak kecil itu terkekeh dan menganggukan kepalanya. Bahkan wajahnya tampak bodoh di hadapan Rashi. Jika Rashi tak melihat anak itu membantunya mengerjakan PR, dia pasti sudah memanggilnya 'bodoh'.

"Kamu bisa main basket? Ayo kita main basket aja," ujar Ravi yang langsung merangkul anak itu, namun anak itu menggelengkan kepalanya, membuat Ravi menjadi cemberut dan menatap ke arah Rashi, Rashi yang mengerti pun langsung berdiri dan menghampiri keduanya.

"Kamu bisa main musik? Ayo kita main musik, kalau kamu mau, aku bisa ajarin kamu semisal kamu gak bisa," ujar Rashi sambil tersenyum tipis, Luna tersentuh dengan kedua anaknya yang sangat baik dengan anak itu, mereka tahu anak itu masih sedih karna Rania mengatainya dengan kasar.

"Aku Cuma bisa matematika dan renang. Aku suka renang, kalian bisa berenang?" tanya anak itu dengan wajah yang sumringah. Namun Ravi dan Rashi menggelengkan kepalanya, mereka sama sekali tak bisa berenang, bahkan mereka merasa phobia dengan air kolam renang. Namun mereka tak bisa membiarkan anak itu kembali kecewa, mereka pun menganggukkan kepalanya.

"Aku tidak bisa berenang, tapi aku suka melihat orang berenang. Ayo, aku akan temani kamu berenang, kami punya kolam renang di rumah ini," ujar Ravi yang diangguki oleh Rashi. Mereka pergi dari tempat itu menuju kamar Ravi untuk berganti pakaian dan langsung berlari menuju kolam renang yang ada di halaman samping.

"Hei, kau mau kemana? Di situ dalam sekali, kalau kamu tenggelam, aku tidak akan kuat mengangkatmu dengan jaring," ujar Ravi saat anak itu berjalan menuju kolam renang yang memiliki kedalaman dua meter. Namun anak itu tertawa dan langsung menceburkan dirinya ke kolam itu. Anak itu langsung mengambang dan tentu membuat Ravi dan Rashi kagum.

"Wah, ternyata kamu benar – benar pintar berenang ya? Kalau begitu ayo ajari aku bair aku juga bisa berenang," ujar Ravi yang diangguki juga oleh Rashi, mereka memang satu pikiran, namun Ravi adalah wakil untuk mengutarakan apa yang mereka pikirkan, hingga terkesan Ravi anak yang aktif dan Rashi anak yang pendiam.

"Boleh, tapi kalian harus pakai pelampung jika belum bisa. Aku dulu juga seperti itu, saat aku sudah bisa, aku baru boleh melepaskan pelampungku," ujar anak itu yang dituruti oleh keduanya. Darrel sudah menyiapkan peralatan lengkap di tempat ini, mereka hany perlu mengambil dan mengembalikan ke tempat semula.

Sementara itu di tempat lain, seorang gadis kecil sedang mengamati mereka semua dari ruang kamarnya. Dia menyesal mengatakan hal yang jahat pada anak itu, namun dia juga tak mau dekat dengan lelaki selain kakaknya. Dia tidak suka ada anak lelaki yang suka padanya. Dia melakukan itu agar Dicky berhenti menyukainya.

"Wah, senang sekali mainnya. Ini mama bawakan es sama makanan ringan, kalau kalian lapar kalian makan dulu ya. Hati – hati juga berenangnya, kamu juga ya nak, jangan sampai kenapa – napa. Kalau ada sesuatu panggil Mama aja ya," ujar Luna yang meletakkan nampan di meja dan kembali masuk.

Luna duduk di sofa yang berbatasan langsung dengan kolam untuk mengawasi mereka, Luna hanya tak mau kulitnya terbakar matahari yang menyengat ini. untung saja Darrel mendesain ruangan ini berbatasan kaca dengan kolam renang, sehingga memudahkan dirinya.

"Kamu ngapain di situ? Aku nyari kamu di kamar sama di dapur gak ada, ternyata malah di sini." Luna mendongakkan kepalanya dan tersenyum saat Darrel sudah mendekatkan wajahnya dan langsung mencium Luna, sebuah kebiasaan yang mereka lakukan.

"Itu, ada tetangga baru pindah terus anaknya main ke sini. Tuh mereka lagi renang baareng," ujar Luna yang membuat Darrel antusias.

"Anaknya pintar berenang? Bagus dong, Rania bisa cepat belajarnya."

"Itu dia masalahnya, Rania malah masuk kamar dan gak suka sama anak itu, aku juga gak tahu kenapa."

"Lah? Kok bisa? Rania gak pernah gitu sama orang kan?" Darrel tentu tak paham, yang dia tahu anak – anaknya akan memperlakukan orang lain dengan baik, tidak bertindak kasar apalagi meninggalkan teman yang sedang bermain.

"Anak itu tuh datang – datang langsung bilang suka sama Rania, katanya sih mereka satu les renang, kamu gak pernah lihat dia? Terus Rania risih mungkin, jadi dia gak mau main sama tuh anak."

"Lah? Pantas aja anak kamu nangis kemarin habis selesai les, ternyata ini toh. Hahaha, lucu banget kisah cinta anak SD," ujar Darrel yang tak dipahami oleh Luna.

"Gak usah dipikirin. Nanti aku aja yang urus, aku mandi dulu, gerah banget seharian ketemu klien cantik," ujar Darrel yang sengaja membuat Luna marah. Luna melempar bantal sofa yang ada di dekatnya dan bantal itu tepat mengenai kepala Darrel.

Darrel yang nyaris terjungkal hanya tertawa sambil memegangi kepalanya, tanpa berniat berbalik dan melihat wajah kesal istrinya.

Terpopuler

Comments

🍀ʀaʀa

🍀ʀaʀa

lanjut thorrrr....

2020-06-08

1

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ➣⃗𝐩𝐎𝐨ӀӀ̶꒷≛ °ㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ➣⃗𝐩𝐎𝐨ӀӀ̶꒷≛ °ㅤ

hhhhhhhhhhhhh.

2020-06-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!