"Kamu kenapa ada di situ? Kenapa kamu ngelihatin rumah itu terus? Kamu menyesal ya waktu itu udah jahat sama Dia?" Ravi tak henti hentinya menyerbu adik kembarnya dengan pertanyaan yang menurut Rania tidak mutu. Kakaknya itu cerdas, tampan, dan berbakat, namun sangat menyebalkan, dia bisa menyimpulkan itu meski usianya masih belia.
"Kakak gak usah ganggu Rania, Kakak sana pergi, nanti Aku lapor ke Mama biar kakak dimarahin sama Mama!" ancam Rania yang membuat Ravi memasang wajah yang takut. Meski dia ingin tetap menggoda Rania sampai menangis, dia merasa tak tega juga karna adiknya itu benar benar merasa sedih dan bersalah karna menganggap tetangga mereka pindah untuk urusan bisnis.
"Rania, Ravi, ayo makan dulu. Kalian ngapain sih ada di luar siang siang? Kebakar matahari loh." Rania menoleh ke sumber suara dan berlari dari sana, meninggalkan kakaknya dan langsung membantu Mamanya untuk menggerakkan kursi roda. Luna tersenyum karna Rania sangat pengertian dan tidak mau dia kesusahan.
"Kamu masih kepikiran tentang anak itu? Dia pindah bukan karena kamu kok, dia pindah karna bapak ibunya ada urusan bisnis ke luar negeri, dia gak mungkin ditinggal sendiri," ujar Luna seolah tahu apa yang dikhawatirkan oleh Rania, sontak anak itu langsung fokus dengan apa yang Luna katakan.
"Dia ke luar negeri? Tapi sekolahnya bagaimana? Terus les renangnya bagaimana?" tanya Rania yang tak bisa lagi menyembunyikan rasa penasarannya. Luna kembali tersenyum dan mengelus tangan Rania yang ada di pegangan kursi rodanya. Rania masih terdiam dan menunggu Luna untuk menjelaskan padanya, dia merasa kasihan jika anak itu tidak bisa berlatih lagi untuk hal yang dia suka.
"Dia memang udah lama latihan renang, tapi dia pindah pindah latihannya. Kalau sekolah, mama gak tahu, kemungkinan besar ya dia sekolah privat atau sekolah di rumah, karna dia akan kesusahan kalau harus pindah sekolah terus," ujar Luna yang diangguki oleh Rania. Tanpa terasa mereka sudah sampai di meja makan.
Rania duduk di sebelah Rashi yang sudah menunggu cukup lama, sementara di hadapan mereka ada Luna yang duduk di sebelah Ravi. Mereka makan dengan tenang dan menghabiskan semua yang disajikan oleh Chef di rumah mereka, sampai akhirnya mereka kembali ke dalam kamar dan Luna kembali ke ruang TV.
Berhari -hari setelahnya, Luna sudah mulai bisa berjalan meski masih sedikit kaku, Luna mengikuti semua saran, perintah dan pantangan dari dokter hingga tak butuh waktu lama baginya untuk kembali pulih. Apalagi di setiap terapi yang menyakitkan itu, Darrel tak pernah absen untuk menemaninya, dia jadi semakin semangat untuk sembuh.
"Aku senang kamu udah sehat, Aku bahagia kamu udah bisa jalan lagi. Aku udah sempat frustasi loh tahu kamu kambuh. Pokoknya mulai sekarang aku mau lebih protektif sama kamu biar gak kejadian kayak gini lagi," ujar Darrel saat mereka berdua sedang santai di ruang keluarga, sementara Ravi dan Rashi sedang berduel memainkan video game.
"Kalian itu mainnya game digital terus, nilainya harus tetap naik loh ya, mama mau lihat pembuktian kalian, atau Video game ini bakal mama sita," ujar Luna yang hanya dijawab acungan jempol kompak dari mereka berdua. Luna langsung menggelengkan kepalanya melihat respon itu.
"Mereka emang kembar, kembar identik, tapi gimana bisa coba tengilnya sama? Keturunan bapaknya nih pasti, tengil banget," ujar Luna yang menatap Darrel dengan sedikit sinis. Darrel terkekeh dan mengangguk, seolah mengakui itu semua sebagai salahnya. Dia merasa Ravi dan Rashi memang sangat mirip dengannya, terutama dalam sikap.
"Ah, aku tuh kepikiran sesuatu, kan kalau sikap manjanya Rania karna kamu, sikap tengil mereka dari aku dan sikap dingin Rashi dari aku sama Kamu. Nah kalau suka musik, itu keturunan siapa ya? Kamu sama aku gak ada yang bisa main musik loh," ujar Darrel yang tentu membuat Luna juga berpikir. Dia pun tahu Jordan dan Papanya tidak bisa bermain alat musik.
"Ah, sayang, kita harus ke rumahku. Aku mau cek sesuatu di sana. Ayo kita ke sana," ujar Luna yang langsung berdiri dan menarik tangan Darrel. Tentu Darrel menolak karna hari libur adalah waktu mereka bersama anak - anak, kenapa Luna mengajaknya untuk pergi ke rumahnya?
"Gak papa, cuma sebentar aja. Aku mau lihat sesuatu, ya? ya? please," ujar Luna yang terus mengusik dan memaksa lelaki itu sampai dia menyerah dan mengikuti Luna yang menyeretnya untuk berganti pakaian. Darrel mengambil kunci mobil dan membantu Luna berjalan ke arah ketiga anak mereka yang masih pada fokusnya.
"Mama sama Papa mau pergi dulu, kalian di rumah aja. Kalian gak boleh aneh -aneh, gak boleh nakal dan gak boleh bertengkar. Mama pergi dulu ya," ujar Luna pada mereka. Mereka kembali mengacungkan jari mereka dan mencium tangan Luna Darrel sebelum orang tua mereka benar benar pergi dari rumah itu.
Di perjalanan, Luna terdiam dan mencoba untuk mengingat sesuatu. Suatu hal yang pernah dikatakan oleh papanya. Hal yang dia perlukan jika dia ingin masuk ke ruang rahasia yang ada di rumahnya itu. Darrel yang tak tahu isi pikiran Luna tak mau menganggu istrinya dan fokus agar mereka bisa cepat sampai dan pulang kembali.
Luna langsung turun dari mobil dan berjalan sedikit pincang masuk ke rumahnya. Dia disambut banyak pengawal dan mereka mengantarLuna sampai ke depan pintu. Luna berjalan ke arah lemari yang ada di sudut ruangan. Darrel ingat lemari itu, lemari yang menghubungkan ruangan ini ke ruangan rahasia, kala itu dia diajak oleh papa Luna.
"Aku tahu ada sesuatu di sekitar sini, tapi aku gak bisa buka kuncinya. Kamu pasti tahu kan prosedurnya? Kamu yang buka gih buruan," ujar Luna mendorong Darrel. Lelaki itu ragu mengingat jika dia salah memasukkan sandi atau identitasnya tidak terdaftar, dia akan kehilangan nyawanya.
"Sayang, aku pernah dibilangin papa kamu kalau cuma beliau yang bisa buka ruangan ini. Banyak trap di dalam sana dan kalaupun kita bisa masuk ke ruang pertama, kita bisa kepotong - potong karna kena laser di ruangan kedua loh, aku gak mau ah," ujar Darrel yang tak membuat Luna puas.
"Aku yakin papa udah daftarin identitas kamu. Waktu itu papa ngasih tahu aku, tapi aku gak ngerti. Ayo dicoba dulu, Aku bener bener pengen ke sini," ujar Luna yang membuat Darrel menyerah. Jika Luna sudah merengek, Darrel bahkan siap untuk menyerahkan nyawanya. Lelaki itu memasukkan sandi yang dia ingat dan ruangan pertama terbuka.
Darrel meminta Luna untuk menunggu di depan agar Luna tidak celaka. Namun ternyata dia bisa membuka pintu itu dengan sidik jarinya. Luna tersenyum dan masuk ke ruangan itu sampai akhirnya mereka masuk ke ruangan inti. Luna sendiri langsung berkaca kaca melihat isi ruangan itu.
"Pantas aja Luna cantik. Ternyata Mama Luna secantik ini. Bang Jordan beruntung banget bisa lihat dan kenal mama secara langsung. Seandainya Mama masih ada, pasti Luna bakal lebih bahagia lagi."
"Kamu ngomong apa? gak usah ngomong yang aneh aneh dulu. Aku ngerasa gak enak ninggal anak anak. Kamu sebenarnya mau apa ke sini? Katanya mau cek sesuatu?" tanya Darrel yang diangguki oleh Luna.
"Ini, Bakat Rashiva dari sini. Bakatnya nurun dari neneknya, Mama Aku. Mama Aku suka banget main musik dan bahkan papa masih simpan semua alat musik peninggalan Mama." Darrel melihat banyak alat musik yang ditunjuk Luna.
Di tempat itu terdapat lemari kaca berisi gitar, biola dan piano yang semuanya tampak menempel di dinding lemari. Darrel langsung terkagum dan membayangkan betapa cantik dan anggunnya Mama Luna saat memainkan itu semua.
Luna bernostalgia di tempat itu sebentar sampai akhirnya Darrel kembali ingat mereka meninggalkan anak - anak di rumah. Luna sampai risih dan kesal karna suaminya berlebihan.
"Sayang, mereka itu udah besar, toh mereka cuma main di rumah, gak akan ada apa- apa,kamu jangan panik gitu dong, yang ada malah kita yang kenapa napa kalau kamu nyetirnya gak bener nanti." Darrel tak menjawab Omelan Luna dan membantu istrinya itu untuk keluar dari sana.
Luna dan Darrel segera kembali ke rumah karna Darrel terus merasa tak tenang dan dia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Mungkin karna dia hanya memiliki sedikit waktu dengan anak - anaknya hingga dia merasa bersalah dan khawatir harus meninggalkan mereka di hari Minggu.
"Giovan Darrel Atmaja, kamu kalau nyetir hati hati, nanti malah kamu nyelakain orang lain ih. Kamu percaya sama Aku, anak - anak pasti baik- baik aja." Darrel ingin percaya akan hal itu, namun reflek tangannya berkata lain, dia malah menambah kecepatan dan membuat Luna menyerah.
Sesampainya di rumah, Darrel menanyai security dan mereka memastikan rumah ini aman. Hal itu tentu membuat Darrel merasa lega sedangkan Luna merasa kesal karna mereka harus bertaruh nyawa untuk hal yang tidak perlu.
"Rashi? Ravi? Rania? Kalian Dimana?" tanya Darrel sedikit berteriak karna dia mendapati ruang keluarga kosong, bahkan kamar Ravi Rashi juga kosong. Darrel menatap Luna dengan tatapan tanya, namun Luna hanya menggelengkan kepalanya.
Darrel langsung melangkahkan kaki ke arah tangga, mungkin saja mereka bermain di kamar Rania. Namun baru saja kakinya melangkah, dia bisa mendengar suara Rania berteriak dari arah samping.
Darrel memelototkan matanya dan langsung berlari dari hadapan Luna, sedangkan Luna harus berjalan pelan untuk sampai ke halaman samping, tempat dimana kolam renang berada.
Suami Luna langsung terkejut saat melihat salah dua anaknya ada di dalam kolam renang yang sangat dalam itu, namun posisi mereka cukup berjauhan. Salah satu di antara mereka memakai pelampung, namun yang lain tidak dan bahkan sudah berteriak minta tolong karna tenggelam.
Dengan sigap Darrel langsung melompat ke dalam air dan menolong anaknya yang sudah sepenuhnya tenggelam dan tak sadarkan diri. Lelaki itu membawa anaknya ke tepian dan berusaha membuat anaknya itu sadar, namun karna tak kunjung membuka mata, Darrel segera menggendong anak itu pergi dari sana.
Darrel melewati Luna begitu saja dan berlari ke arah pintu utama. Luna melanjutkan langkahnya untuk melihat ke dua anaknya yang ada di sana. Luna segera meminta Rania untuk menepi dan menarik tangan Ravi agar mereka menyusul Darrel memakai mobil lain.
Di rumah sakit, Darrel tak hentinya menggigit jari karna merasa panik, sementara Ravi tampak bergetar takut, membuat Luna merasa aneh dengan tingkahnya.
"Ravi, Ravi yang udah buat Abang masuk ke kolam. Ravi lempar bola ke Abang keras, terus Abang kecebur di air. Ravi gak sengaja Ma." mendengar pengakuan itu, Darrel langsung menghampiri anaknya, namun Luna mencegah lelaki itu.
"Kamu emosi, jangan ngomong apapun ke dia. Biar aku aja, kamu sana dulu." Darrel menarik napasnya dan mengikuti apa mau Luna. Luna sendiri langsung menanyai detailnya dan menghibur Ravi agar anak itu tidak menjadi trauma.
Tak lama dokter keluar dari sana dan melepas masker yang dia pakai.
"Keadaan pasien sudah tidak gawat, kami sudah menyedot semua air yang masuk dan sebentar lagi pasien juga sadar. Kalian tidak usah khawatir. Tidak ada sesuatu yang buruk karna dia segera dibawa ke rumah sakit sehingga ditangani dengan cepat.".
Semua yang ada di situ merasa lega dan masuk ke ruangan itu untuk melihat Rashi. Wajah anak itu pucat, namun tak mengurangi ketampanannya.
"Mama, Papa, jangan marahin Ravi ya? Dia gak sengaja. Rashi juga salah karna berdiri di pinggir. kolam dan gak bisa nangkap bola yang dilempar Ravi, jadinya Rashi jatuh ke kolam. Bukan salah Ravi, Mama sama Papa jangan marahin Ravi."
Luna menatap ke arah Darrel yang tampak menyesal karna tadi dia emosi dengan Ravi dan nyaris memarahi anak itu dengan kasar.
"Mama tahu, Mama gak marah sama kalian berdua. Lain kali kalian kalau main hati hati, jangan seperti itu lagi. Bahaya buat kalian. Mama salut kalian saling melindungi bukan saling menyalahkan."
Darrel mengangguk dan berjalan ke arah Ravi, anak itu bahkan takut pada Darrel.
"Maafin Papa ya, tadi Papa nyaris marah sama kamu. Tapi papa peringatkan ke kalian berdua, ini terakhir kali papa lihat kejadian seperti ini. Kalian boleh main, tapi main pada tempatnya. Kalian main basket di dekat kolam renang, itu bahaya. Kalian mengerti maksud papa kan?"
Mereka berdua mengangguk paham dan meminta maaf serta berjanji tidak mengulanginya lagi. Hal itu sudah cukup bagi Darrel dan Luna untuk tidak memperpanjang masalah ini.
Masalah diselesaikan dengan kepala dingin, tidak dengan kemarahan atau kekerasan. Selain masalah dapat diselesaikan dengan baik, hal itu tidak akan menimbulkan luka batin dan trauma bagi orang lain.
*
*
*
*
Jangan Lupa Like, Comments, dan Masukkan ke daftar Favorit kalian. Bantu Author untuk mendapat 1000 like:):)
Terima Kasih^_^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Anastasia
maaf kak baru bisa mampir sekarang 🙏
aku juga udah like ketinggalannya kok 😊
mampir lagi kak ke karyaku 😇
semangat buat up kak 😉
ditunggu kelanjutan ceritanya 🤗
2020-06-15
2
Aurora
ayooo semangat kak...
2020-06-15
2
Mrs.faiq
lnjt
2020-06-15
2